Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Gabriel Batistuta tentang Cinta Abadinya yang Bernama Fiorentina

29 Maret 2023   10:50 Diperbarui: 29 Maret 2023   10:54 1330 3
Piala Dunia 1978 bergema di Argentina. Mandat sebagai tuan rumah yang diterima oleh pemimpin setempat, memunculkan tarian Tango sebagai pemegang panggung utama. Terlepas dari segala kontroversi dan permasalahan yang ada, Daniel Passarella dan kolega sukses menggondol trofi dunia pertama sepanjang sejarah.

Dari depan layar televisi yang terletak di ruang keluarga, seorang bocah bernama Gabriel Omar Batistuta menjadi salah satu saksi hebatnya. Jiwa petarung yang dimiliki pria kelahiran Santa Fe ini sejatinya telah ditumpahkan ke olahraga basket. Namun ketika melihat kisah kepahlawanan Mario Kempes dan kawan-kawan, hasratnya langsung tertuju pada olahraga sepak bola.

Batistuta yang usianya ketika itu belum genap sepuluh tahun, berikrar, bahwa sepak bola akan dijadikannya sebagai tujuan hidup. Dia akan melakukannya secara profesional, meski nantinya ia enggan bersentuhan dengan benda berbentuk bulat itu ketika berada di luar lapangan.

Memompa Semangat di Negeri Kelahiran

Sekitar sepuluh tahun setelah Argentina menjadi juara dunia, Batistuta baru menekuni olahraga sepak bola. Tepat pada 1987, dia menjadikan akademi Newell's Old Boys sebagai pijakan pertamanya. Akademi kelahiran dewa sepak bola bernama Lionel Messi itu menampung bakat sepak bola Batistuta selama dua tahun. Lantas, dia diterbangkan ke tim utama karena dinilai punya kemampuan luar biasa.

Tak butuh waktu lama bagi Batistuta untuk melahirkan namanya sendiri sebagai calon bintang besar. Sebab, pada tahun 1989, raksasa River Plate memboyongnya ke Stadion el Monumental. Setahun berseragam klub berjuluk La Banda, Batistuta lantas melanjutkan perjalanan karir ke raksasa lainnya, yakni Boca Juniors.

Disana, namanya kian agung dengan torehan 13 gol. Tak ada alasan untuk tidak mencintai Batistuta. Bintang muda dengan rambut panjang khasnya itu telah menyihir seluruh penggemar sepak bola di Argentina untuk terus mendukungnya.

Tepat di tahun 1991, dalam turnamen besar yang diperuntukkan bagi negara-negara di selatan Amerika, Batistuta muncul sebagai penyerang andalan. Di Chile yang bertindak sebagai tuan rumah, dia berhasil keluar sebagai pencetak gol terbanyak turnamen, mengungguli penyerang tajam lainnya, yakni Ivan Zamorano.

Tak hanya duduk sebagai pemuncak top skor, Batistuta juga sekaligus membawa negaranya juara. Sebuah mimpi besar yang diraih olehnya itu pun memunculkan banyak pencari bakat di stadion-stadion yang menggelar ajang Copa America.

Ketika itu, Batistuta tampak lebih seksi dari siapapun di atas lapangan. Rambut panjang yang terlihat rapi dengan ikat kepala, kaki langsing yang memiliki tenaga besar, serta gocekan maut yang memporak-porandakan lini pertahanan lawan, menjadi pemandangan indah yang disaksikan oleh para penonton yang hadir langsung di lapangan.

Dari sudut tribun yang disinari oleh hangatnya matahari Chile, seseorang bernama Vittorio Cecchi Gori telah bersiap dengan sebuah pena beserta kertas kontraknya. Dia yang merupakan Wakil Presiden Fiorentina, terkesima dengan laju lari Batistuta yang seperti tertiup angin. Gol-gol menakutkan yang diciptakan kaki sang pemain juga membuatnya enggan untuk segera beranjak.

Dalam waktu yang relatif singkat, Vittorio Cecchi Gori segera menyadari bila apa yang diceritakan oleh seseorang kepercayaannya tentang pemain bernama Gabriel Batistuta adalah benar.

Seusai perayaan gelar juara yang memperlihatkan Batistuta menggenggam piala dengan begitu erat, Cecchi Gori tak membuang-buang waktunya. Ditandai dengan tenggelamnya matahari di bawah langit ibukota setempat, tanda tangan Batistuta berhasil didapat. Dengan girang hati, Vittorio Cecchi Gori bergegas memberitahu publik Firenze bahwa mereka akan segera kedatangan pemain muda berbakat asal Argentina.

Juliet Batistuta Bernama Fiorentina

Ketika William Shakespeare memilih kota Verona sebagai latar belakang drama romantis nan tragis paling terkenal sepanjang masa, Batistuta resmi memilih kota Florence sebagai juliet dalam kehidupan sepak bolanya. Baru berusia 22 tahun, Batistuta dipandang sebagai pemuda harapan Fiorentina. Pun dengan Fiorentina itu sendiri yang dipandang Batistuta sebagai cinta pada pandangan pertama.

Adegan pembuka kedua simbol sepak bola itu terjadi pada tahun 1991. Dengan penampilan khas, mata berbinar, serta senyum yang merekah, Batistuta memasuki panggung sepak bola Italia.

Di awal musim, perjalanan sang permata tersembunyi yang ditemukan Fiorentina sedikit temui ganjalan. Batistuta butuh waktu untuk menumbuhkan cintanya di atas lapangan dalam balutan jersey Fiorentina. Namun begitu, terkaman berbahaya nya yang memang sudah mendarah daging sejak lama, tetap menempatkannya dalam daftar penyerang tajam Serie A dengan catatan 13 gol.

Batistuta sukses menunjukkan kelasnya sebagai predator andal di dalam kotak penalti lawan. Ketika pelatih memutuskan untuk memberi nya keleluasaan di atas lapangan, maka itu sama saja dengan mengundang predator ganas yang siap menerkam mangsanya dengan sekali gigit. Melalui kaki-kaki kuatnya yang tampak bertaring, sepakan mematikan selalu menghantui kiper yang dihadapi.

Namun di tengah kegemilangan Gabriel Batistuta yang kerap menjebol gawang lawan, kesetiaan nya tiba-tiba diuji bak kisah cinta yang dialami remaja masa kini. Fiorentina terdegradasi. Mereka gagal tampil baik dan hanya finish di tempat ke-15 klasemen akhir. Para penggemar pun mulai menangisi realita ini. Terlebih ketajaman Batistuta dianggap memberi kekhawatiran tersendiri.

Benar saja, tim raksasa yang coba memanfaatkan keadaan mulai berdatangan. AC Milan hingga Real Madrid silih berganti mengirimkan surat penawaran. Namun ternyata, tumpukan uang dan jaminan tetap bermain di level teratas tak dihiraukan Batistuta. Ia tetap mendampingi cinta pertamanya. Meski level kedua liga jadi tempat yang kini dipakainya untuk memadu cinta, Batistuta enggan menunjukkan sikap tak suka.

Ia memilih berjuang untuk kembali membawa Fiorentina ke panggung Serie A. Ajaib! Cuma semusim bertahan di Serie B, catatan 16 gol yang diciptakan Batistuta mampu memulangkan La Viola ke kompetisi tertinggi Italia. Malahan, performa Fiorentina selepas kembali ke Serie A kian menawan.

Bahu membahu bersama dengan nama Sandro Cois, Stefano Pioli, Anselmo Robbiati, Manuel Rui Costa, dan Francesco Toldo, Batistuta resmi menempatkan nama Fiorentina ke dalam persaingan tim-tim terbaik Italia. Klub yang bermarkas di Artemio Franchi itu didapuk sebagai anggota il Sette Magnifico alias tujuh klub terbaik Serie A di pertengahan sampai akhir 1990-an.

Tak hanya menempatkan Fiorentina di barisan tim terbaik Italia saja, Batistuta dan kolega juga sekaligus mempersembahkan gelar Coppa Italia pada tahun 1996 dan Piala Super Italia di tahun yang sama.

Khusus Batistuta, penampilannya jadi kian garang. Dalam tiga musim terakhirnya di Serie A bersama Fiorentina, dia bahkan sukses mengemas lebih dari 20 gol tiap musimnya.

Menurut statistik yang dilansir transfermarkt, catatan gol Batistuta untuk Fiorentina mencapai 203 biji dari 330 penampilan yang dilakoni. Dia didapuk sebagai legenda sekaligus dimasukkan ke dalam daftar FIFA 100 oleh legenda sepak bola, Pele.

Tak ketinggalan, sebuah karya seni patung dibuat pada 1996 sebagai penghormatan atas loyalitas Batistuta pada La Viola, yang tetap bertahan meski klubnya terdegradasi ke kasta kedua.

Tangis Batistuta dalam Satu Trofi Scudetto

Di tengah tepukan meriah yang terus diberikan oleh penggemar Fiorentina, Batistuta menyimpan ambisi yang belum terlaksana. Adalah memenuhi trofi piala nya dengan gelar scudetto. Maka, dengan berat hati, Batistuta menerima tawaran Fabio Capello yang saat itu tengah bekerja untuk AS Roma.

Dipilihnya AS Roma adalah karena Batistuta menganggap bila klub tersebut tengah berada dalam trend bagus untuk memenangkan gelar juara. Benar saja, hanya semusim berseragam Tim Serigala, Batistuta sudah mampu mengangkat trofi Liga Italia.

Berjuang dengan nama Francesco Antonioli, Vincenzo Montella, Hidetoshi Nakata, Walter Samuel, dan Francesco Totti, piala yang diidam-idamkan itu mampir ke dalam genggaman. Lebih manisnya lagi, dia keluar sebagai top skor liga dengan catatan 20 gol

Batistuta merasa puas dan lega. Ia seperti telah menyelesaikan misinya sebagai seorang pesepakbola. Akan tetapi, butuh sebuah momen yang tak ternilai harganya untuk membayar itu semua.

Adalah ketika dalam sebuah kesempatan melawan juliet kesayangannya, Batistuta mencetak sebuah gol melalui sepakan keras.

Tepat pada 26 November 2000, AS Roma sangat membutuhkan tiga poin guna mempertahankan takhta di puncak klasemen sementara Serie A. Pertandingan melawan Fiorentina yang berlangsung ketat itu melahirkan gol pada menit ke-83. Sial sekaligus beruntung, yang mencetak gol buat tim Serigala adalah Gabriel Batistuta. Ketika kegembiraan dirasakan oleh publik ibukota, hal berbeda justru menimpa Batistuta.

Saat rekan-rekan setimnya berkumpul untuk merayakan gol yang dicetaknya, Batistuta hanya terdiam. Dia memejamkan mata dan seperti tidak tahu tentang apa yang baru saja dilakukan. Puncaknya, ia bersedih hingga air mata tak lagi mampu ditahan.

Total dalam lima pertemuan melawan Fiorentina di berbagai ajang, Gabriel Batistuta hanya mencetak satu gol saja. Jadi gol pada 26 November 2000 itu menjadi yang pertama sekaligus terakhir baginya.

Masih bersama AS Roma, Batistuta melanjutkan karir sepak bola nya di Serie A. Sempat dipinjamkan ke Inter Milan, ia lalu putuskan akhiri cerita di Negeri Pizza pada 2003.

Sampai akhirnya, Batistuta memutuskan terbang ke Timur Tengah guna bergabung dengan klub asal Qatar, Al Arabi. Di klub ini pula lah, Batistuta resmi mengakhiri karir profesionalnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun