Dalam waktu yang relatif lama, Uruguay menjadi negara dengan kekuatan yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Namun ketika sepakbola memasuki era 1970 an, kekuatan mereka mulai dipahami dan sedikit banyak diadopsi oleh tim lain. Hasilnya, prestasi sulit diulang. Uruguay kehilangan identitas dan tak mampu lagi bersaing di level tertinggi sepakbola dunia.
Lalu di awal 1980 an, muncullah seorang hebat nan berwawasan bernama Oscar Tabarez. Tabarez pertama kali masuk ke jajaran timnas Uruguay pada 1983 ketika dia menjabat sebagai pelatih tim Uruguay U20.
Kedatangannya memberi optimisme tinggi bagi rakyat Uruguay, meski memang, Tabarez sempat beberapa kali melatih tim lain.
Kejeniusannya sebagai seorang juru taktik terbukti, ketika Penarol dibawanya meraih gelar Copa Libertadores kelima sepanjang sejarah. Dari situ, timnas Uruguay tertarik untuk membawanya ke tim senior pada tahun 1988.
Tantangan berat pertama Tabarez datang dari turnamen Copa America 1989. Pada ajang yang digelar di Brasil itu, Uruguay berhasil mencapai babak final. Dalam prosesnya, Uruguay bahkan sempat dibawa Tabarez mengalahkan Argentina yang ketika itu mengandalkan sang dewa sepakbola, Diego Maradona.
Sayangnya di partai final mereka harus menelan kekalahan tipis 1-0 dari tuan rumah Brasil.
Kegemilangan Tabarez berlanjut di ajang Piala Dunia 1990, ketika dia mampu mengantar Uruguay terbang ke Italia. Di fase grup, Uruguay berhasil menempati posisi tiga terbaik dan lolos ke babak 16 besar. Sayang pada fase tersebut, Uruguay harus mau mengakui keunggulan tim tuan rumah Italia dengan skor 2-0.
Sekembalinya dari Italia, Tabarez memilih untuk mundur dari jabatan pelatih timnas Uruguay. Dia lantas bertolak ke sejumlah klub untuk mencari pengalaman berbeda. Saat itu, tim seperti Boca Juniors, Cagliari, AC Milan, Real Oviedo, dan Velez Sarsfield, menjadi yang beruntung karena sempat mendapatkan jasanya.
Ketika Uruguay tidak dilatih oleh Oscar Tabarez, tercatat hanya Piala Dunia 2002 saja yang masuk ke dalam genggaman. Sisanya, mereka gagal unjuk gigi dan harus puas duduk sebagai penonton pertandingan.
Pada ajang yang digelar di Korea Jepang itu pun, Uruguay gagal melangkah jauh, usai di grup A mereka kalah dari Denmark dan Senegal yang mampu lolos ke babak selanjutnya.
Periode Kedua Tabarez Bersama Uruguay
Seolah masih percaya dengan tangan dingin sang pelatih, Uruguay kembali mengirim permintaan kepada Tabarez. Mereka menginginkan pria kelahiran Montevideo itu kembali ke kursi kepelatihan tim. Jadilah pada tahun 2006, Uruguay kembali menunjuk Oscar Tabarez sebagai pelatih.
Pemanggilan kembali Oscar Tabarez juga tak lepas dari kegagalan Uruguay lolos ke ajang Piala Dunia 2006, setelah dalam babak play off mereka tumbang atas Australia.
Di periode kedua, tugas Oscar Tabarez kian berat. Pasalnya, mereka tengah berada dalam masa krisis. Regenerasi Uruguay tergolong mandek. Tak ada pemain yang dianggap bisa menaikkan mental tim hingga kegagalan di sejumlah turnamen besar terus terulang.
Praktis, ketika menginjakkan kaki untuk kedua kali di kursi kepelatihan Uruguay, Oscar Tabarez langsung mempresentasikan filosofi sepak bolanya yang baru, yang diberi judul "Proceso de Institucionalizacin de Selecciones y la Formacin de sus Futbolistas", atau Proses Pelembagaan Tim Nasional dan Pertumbuhan Pemain.
Dalam sistem ini, Tabarez menyatukan timnas U-15, U-17, U-19, U-20, hingga senior dalam satu kendali agar proses pembinaan tidak terputus. Dia menerapkan skema 4-3-3 di semua kelompok umur.
Melalui cara tersebut, Tabarez berhasil memadukan pemain seperti Diego Forlan dan Diego Lugano dengan nama-nama muda seperti Diego Godin, Fernando Muslera, Edinson Cavani, hingga Luis Suarez.
Di bawah asuhannya, Uruguay berhasil berkembang sesuai rencana. Mereka mampu tampil di ajang Piala Dunia 2010, 2014, sampai yang terbaru 2018. Di ajang Piala Dunia 2010, Uruguay bahkan mampu tampil menggelegar dengan menempatkan nama Diego Forlan sebagai salah satu pemain tersubur turnamen, dengan koleksi 5 gol.
Dalam turnamen yang digelar di Afrika Selatan itu juga, Uruguay berhasil finish di posisi empat besar, usai pada babak semifinal mereka disingkirkan oleh timnas Belanda dengan skor tipis 3-2. Dalam perebutan tempat ketiga sendiri, mereka tumbang atas Jerman dengan skor yang sama.
Sebagai salah satu pelatih yang memang punya kejeniusan sempurna, Tabarez juga pernah membawa timnas Uruguay menjadi raja di Selatan Amerika. Tepat di tahun 2011, timnas Uruguay dibawanya menjadi raja setelah di partai final, anak asuhnya berhasil menumbangkan perlawanan timnas Paraguay dengan skor telak 3-0.
Lebih hebatnya lagi, Luis Suarez berhasil keluar sebagai pemain terbaik turnamen, dan nama Sebastian Coates muncul sebagai pemain muda terbaik.
Copa America 2011 lantas menjadi trofi terbaik yang pernah dipersembahkan untuk timnas Uruguay selama masa kepelatihannya.
Di bawah kendali Oscar Tabarez, timnas Uruguay dikenal sebagai tim yang mampu membaca karakteristik lawan. Mereka jadi tim yang sulit dihadapi dan mampu mengekspos kelemahan lawan. Maka tak heran bila legenda Prancis, Marcel Desailly, mendeskripsikan Oscar Tabarez sebagai pelatih dengan taktik bunglon, menyusul adaptasinya yang luar biasa terhadap permainan lawan.
Salah satu contoh yang mungkin sulit dilupa adalah ketika Luis Suarez dan kolega mampu menghajar timnas Indonesia dengan skor telak 7-1 di Senayan, meski sebelumnya Uruguay lebih dulu kebobolan lewat aksi Boaz Salossa.
Setelah mengetahui kelemahan timnas Garuda, Tabarez langsung meminta para pemainnya untuk terus menggempur pertahanan lawan dan memainkan bola-bola atas.
Menangani timnas Uruguay dalam kurun waktu yang relatif lama, kesetiaan Oscar Tabarez kian teruji ketika dalam perjalanannya, dia dinyatakan mengidap penyakit Guillain-Barre Syndrome, sebuah penyakit langka yang menyerang sistem saraf tubuh serta menyebabkan kelemahan otot pada anggota tubuh dan dada. Penyakit tersebut dianggap bisa menyebabkan kelumpuhan.
Namun meski tubuhnya bermasalah, Tabarez tetap semangat menemani anak asuhnya dari pinggir lapangan. Di ajang Piala Dunia 2018, dia tetap mendampingi para pemain dengan menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan. Terkadang, dia juga duduk kursi roda saat memimpin latihan.
Akhir dari Pengabdian Tabarez
Sayangnya, meski penyakit tidak menghalangi semangat Tabarez untuk terus membantu Uruguay terbang tinggi, performanya terhadap tim yang memang disebut telah mengalami penurunan, memaksa pihak Federasi Uruguay mengeluarkan keputusan tegas.
Oscar Tabarez, yang sudah 15 tahun menangani Uruguay, harus mendapati akhir ceritanya belum lama ini. Hal itu tidak terlepas dari jebloknya performa Uruguay di kualifikasi Piala Dunia 2022.
Dalam lima pertandingan terakhir, tidak ada satupun kemenangan yang didapat. Uruguay mengalami empat kekalahan secara beruntun setelah sebelumnya sempat bermain imbang melawan Kolombia. Saat itu, Uruguay hanya duduk di tangga ketujuh dan terancam gagal lolos ke ajang Piala Dunia 2022 yang digelar di Qatar.