Pagi akhirnya merayap perlahan-lahan melalui detakan jarum jam yang tak terdengar dari meja kecil bertaplak plastik itu. Lebih jelasnya, mematri pukul 06.46 AM pada jam digital dari sebuah ponsel berjubah hitam tersebut, hadiah ultahku tiga tahun silam dari seorang wanita tua yang terlalu berjasa dalam kehidupanku.
Dan aku terjaga sebelum memulai rutinitas kehidupan sebagaimana biasanya. Kuakui beberapa hari yang mungkin sesuai perhitungan matematis sudah memasuki minggu berlalu dengan sedikit perubahan..ya sejak kau proklamirkan rasamu dari puncak Sinai, walaupun saat itu sudah lewat dari hari kemerdekaan Nusantara. Pergeseran waktu yang cukup mempengaruhi frekuensi yang tertumpah lewat suara-suara hmm maupun hei hingga aksara-aksara bisu usai yang masih sanggup menggelitiki rasaku dengan senyum.
Sudah lama pula ujung pena ataupun pensil Kenko 0,5 mm tidak menggores isi hati dan kepalaku pada kertas-kertas buram itu; bahkan jemari ini memilih rehat sebentar meninggalkan tariannya pada keypad hpku yang biasanya disemayamkan pada notepad-nya. Karena apakah yang mampu kutuliskan lagi? Semuanya sudah jelas.
Tapi pagi ini rasaku mau bicara..menjawab kembali tantangan yang sudah kau gariskan pada belasan hari lalu. Ah mungkin dua bulan lalu. Cinta? Aku memang berharap itu..merangkak dari sekepal rasa yang mungkin baru setitik suka. Ya, tak perlu kusangkal terang-terangan atau malu dengan rasaku kepadamu walaupun aku wanita.
Aku memang tak pandai merangkai kata seperti dirimu yang dengan mudahnya menyambar si Nimbus tampan dari aras ketinggian cakrawala yang dengan santainya menonton pertengkaranangin musson dan pasat; atau menyimpan sisa bau nektar yang dibawa angin semalam saat cuaca berganti dengan anehnya tanpa izin. Ah, mereka tak sendiri..masih ada pula kumpulan Flamboyan, Anemon liar hingga gundukan marchantia yang kau seret dari eksistensinya, sekadar menemanimu menumpahkan rasa kepadaku. Tanpa tanya, tanpa persetujuan, kau seret mereka untuk menempel pada kata dan frasamu, demi kepentinganmu. Ah! Seandainya mereka punya mulut dan perasaan, maka kuyakin gelombang kritik pasti akan kau tuai. Ha ha ha..
Bila kau tanyakan, kejamkah? Oh, tentu saja! Aku wanita yang kental dengan persentasi perasaan berbanding logika. Tentu saja berbeda dengan yang dijejali Pelukis Agung kepadamu dan kaummu sejak Adam dilegalkan menjadi nenek moyang kita. Tapi jangan kuatir. Aku tidak akan apa-apa dengan semua itu. Dan kupastikan bahwa aku tidak mengemis cinta kepadamu. Aku hanya menawarkan ruang dalam retorika sederet percakapan filosofis, teologis, psikologis, sosiologis, dan biologis serta segala jenis orientasi epistemologis yang berakhiran “is” itu.
Aku tidak secepat itu menuntut kekentalan rasa dalam gelombang frekuensi tanpa tatap fisikalis. Kuakui memang kadang rindu berakar dan mencoba mencuat. Tapi aku masih sanggup memangkasnya. Jadi mungkin lebih tepatnya kau layangkan saja hujatanmu kepada puluhan Soledad-soledadmu yang lain. Bukan aku.. Aku tidak segila itu untuk mengoyakkan kerah baju Yesus yang duduk tersenyum di hadapanku untuk memaksa-Nya memberikan hatimu dan dirimu untukku.
Kau ingin mendaki Sinai? Silahkan..aku tidak pernah melarangmu. Bahkan bila kau ingin meratakan Sinai pun aku tak berhak melarangmu. Dan sesungguhnya eksplanasimu tidaklah absurd bagiku. Aku mendukungmu untuk segala langkah yang kau ambil. Aku masih disini dengan jubah dan senyum seorang sahabat.
----------------------------------------------
- hanya goresan yang tertinggal-
Piru, 2011
♥-♥-♥-♥-♥-♥-♥-♥-♥-♥-♥-♥-♥-♥-♥-♥
✿ ada kait-mengkait di bawah sini:
Maaf, Belum Bisa Ku Mencintaimu
Setitik Harap untuk Sekepal Rasa tak Bernama (1)
Setitik Harap untuk Sekepal Rasa tak Bernama (2)
Setitik Harap untuk Sekepal Rasa tak Bernama (3)
Dear Soledad di Balik Frekuensi