Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

[KCV] Biarkan Aku Menjadi Mataharimu

14 Februari 2012   02:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41 200 1

Kolaborasi by: Garaduz & Adit [No.81]

“Halo, Abi..”

“Halo..ada apa, Rio?”

“Sudah bikin tugas Bahasa Inggris?”

“Belum. Kenapa?”

“Catatanku tadi jatuh di selokan ketika aku melompat.”

“Mengapa bisa begitu?”

“Resleting tasku terbuka tanpa sepengetahuanku.”

“Ha ha ha..kenapa tidak sekalian saja kau yang jatuh?” “Kau suka kalau aku jatuh?”

“Iya, kalau kau jatuh cinta kepada....”

“Apa?”

“Maaf, tidak ada siaran ulang untuk orang tuli.”

“Ha ha ha..”

“Nanti kau pinjam saja punyaku.”

“Pinjam hatimu?”

“Yee..pinjam catatanku!”

“He he he..eh, kau sudah punya pasangan dialog untuk tugas itu?”

“Rencananya dengan Dio. Tapi aku belum bilang kepadanya.”

“Bagaimana kalau kita berdua saja?”

“Mengapa tidak?”

“Kita buat saja segera.”

“Sore ini?”

“Sore tahun depan.”

“Ha ha..di rumahmu?”

“Bukan ide buruk.”

“Jam lima?”

“Oke.”

“Dado..”

“Dado..”

Tuuuut.. pembicaraan usai. Ternyata hanya tiga dari 15 kalimat tanya yang terpakai. Sisanya muncrat begitu saja sebagai hasil kolaborasi otak, hati dan mulut. Lipatan kertas itu kusisipkan kembali diantara lembaran-lembaran sejenisnya yang masih bersatu dengan sampul. Hmm..saatnya raga menempuh 15 menit perjalanan kaki hingga akhirnya dibuai pukau gadis berambut keriting yang tengah memanjakan Igel, kakatua hijaunya.

“Masuk, Rio..”

“Tanpa kau persilahkan pun pasti aku akan masuk.”

“Mau latihan jadi perampok, ya?”

˚°ºº°˚

Titik itu kububuhkan sebagai penutup atas 15 pertanyaan ringan namun tak terkesan bodoh. Kalimat-kalimat tanya yang terukir dari sebuah tulisan tangan cakar ayam, senada dengan bagian kiri kertas penuh gerigi tak beraturan bagai gigi-geligi dinosaurus kelaparan. Mirip tulisan dokter karena memang si empunya tulisan sudah lama memimpikan profesi mulia itu. Hehehe.. Akhirnya selembar kertas bergaris halus yang memasrahkan dirinya dipisahkan dari induk buku tulis murahan itu menerima takdir selanjutnya untuk dievakuasi ke saku belakangku.

Lima keping uang logam kuadu. Kubuat si wayang kadang-kadang bertabrakan dengan si rumah gadang, bergemerincing di dalam saku kumal. Sedang sibuk berbusa berulang kali mengucap kalimat-kalimat tak berdosa itu sehalus mungkin, sambil mengkontraksikan pupil bekerja sempurna memonitor jalan kecil yang bertetangga dengan gundukan putri malu dan alang-alang, agar tak terjadi insiden tabrakan dinding bisu..saksi aneka ilmu dibarter dengan rupiah.

Jantungku berdetak melebihi detak detik jarum jam. Gagang oranye itu menantangku agar tak diletakkan kembali untuk ketiga kalinya. Hingga dua sisi wayang-rumah gadang yang pertama tersangkut sempurna di dalam kotak berwarna serupa seukuran tas ransel itu. 354713..

“Cepatlah sedikit..kita juga mau menelepon. Antriannya panjang..”

“Maaf..”

Jika bisa berkemah di depan telepon umum itu, aku mungkin sudah melakukannya sejak dua bulan silam..sejak kedatangan gadis pemilik senyum beku itu menambah panjangnya daftar siswa di SMU swasta tersebut. Walau kami tak pernah duduk sebangku, tapi dalam radius sentimeter, aku sudah bisa menangkap pesona yang mungkin telah disebarkan secara tidak sengaja oleh si gadis. Pesona yang kini dibalas dengan signal-signal yang belum terdeteksi BTS Telkomsel saat itu.

˚°ºº°˚

Kupilin rindu yang belum pantas disebut ada

Kupastikan ini tak mengada-ada

Walau tak seindah jalinan nada

Setidaknya tak menyesakkan dada

Kuberikan hanya kepada....

KAMU

.

Rambut keriting hitam mengkilat yang pertumbuhannya masih sebahu, berpadu-padan dengan pancaran mata bulatnya. Sayangnya agak kontras dengan senyum beku itu akibat terlalu lama bersayam di dalam freezer. Ingin rasanya kucairkan kebekuannya walaupun diriku bukanlah yang pertama berniat demikian. Sudah belasan remaja pria di sekolah ini dengan rupa-rupa triknya yang pada akhirnya pupus jua secara baik-baik maupun menerima hardikan kasar dengan alasan si gadis masih ingin fokus belajar. “Ouw! Cita dulu baru meraih cinta? Mengapa tidak sejalan saja? Toh, tak lama lagi kita akan genap berusia 17 tahun,” pikirku sembari menggigit ujung pensil mekanik Kenko-ku dan tentu saja memandang diam-diam pujaan hatiku.

Aku suka..suka kepada Abi. Tapi kurasa diriku tak bermodal untuk mendekati apalagi menyatakan cintanya kepadanya. Secara materi, aku hanyalah putra pasangan penjaga sekolah dan penjual dagangan kecil, merangkap anak sulung dari enam orang bersaudara yang hidup berdesak-desakan dalam sebuah rumah petak kecil - terletak dalam komplek sekolah. Sudah pasti aku tak sebanding dengan Abi, putri bungsu seorang pengusaha kaya yang sudah punya anak-anak cabang perusahaan di berbagai kota di Indonesia, termasuk di kota kecil ini. Aku takut ditolak lebih keras dan kasar dengan alasan ketidaksetaraan tingkat ekonomi. Itu bisa menjadi stempel hinaan abadi padaku. Tapi aku berusaha menguatkan diri. ”Modalku adalah hatiku. Aku bisa menjadi pecintamu yang tulus dan setia, Abi sayang..Abisay-ku..”

Jadi daripada hanya bergumam, akhirnya kudorong nyali sekuat bibir mengucap, “Hai, Abi..” danembel-embelnya yang berbuahkan enam digit angka nomor telepon rumahnya. Yes! Jurus pendekatan ajakan belajar bersama pun dimulai walaupun degup jantungku terkadang menghantam dada terlalu kuat. “Abisay.. jangan-jangan aku mengidap penyakit jantung sejak dekat denganmu. Apa aku perlu periksa ke dokter?”

Kertas-kertas malang itu..tumbal tak berdosa yang kuperalat untuk memuluskan ucapku kepada sang pujaan. Belum dua minggu tapi sudah dua buku tulis yang kini tinggal kulitnya saja. Yang beruntung akan tinggal di saku celana, dompet maupun laci tasku. Sisanya tergolek tak berdaya di dasar kardus sampah mini dalam keadaan teremas-remas asimetris. Ah! Mereka mungkin terengah-engah. Belum lagi cermin retak di ruangan yang sudah disulap menjadi kamar bersama itu, yang entah apa salahnya sehingga harus menjadi saksi latihan komat-kamitku. Sesekali pula wanita tua bau tungku menggeleng-gelengkan kepalanya yang bersekongkol dengan senyum mengejek, ketika memergokiku mengadu akting dengan benda bisu itu. Ah, malunya!

˚°ºº°˚

Seminggu lalu, tiga hari lalu, kemarin dulu, kemarin, hari ini..Aku dan Abi makin dekat dengan lempar-tangkap canda dan prestasi belajarku terdongkrak! Kulihat senyum bekunya mulai mencair. Akukah mataharinya? Ternyata sebelumnya dia hanya membentengi diri sedemikian rupa karena dia tidak mudah percaya begitu saja dengan orang lain. Percayakah dia kepadaku? Kini pun aku tak butuh lagi kertas-kertas berlipat itu.

“Besok kita belajar di rumahmu saja?”

“Rumahku?”

“Iya..apa pertanyaanku salah atau tulimu kumat lagi?”

“He he..itu bukan rumahku. Itu rumah milik sekolah.”

“Ha ha ha..whatever it is, aku mau ke rumah itu.”

Buku-buku diistirahatkan. Sekarang lihatlah singkong goreng berlumuran sambal belimbing itu. Mengundang desis lidah akan pedasnya, memanggil seruput dua bibir yang melekat pada masing-masing gelas teh panas. Kepulan asapnya memantrai kita. Ah! Seakan melunturkan segala beda pada sila sepasang kaki yang sesekali terjulur di bale-bale usang di ujung gang ini. Berharap belaian angin sore yang memainkan manja rambut keriting itu membisikkan rasaku kepadanya. Rambut itu baru kutarik ketika juluran lidahnya melengkapi olokan tak masuk akalnya..lalu tiba-tiba semuanya berjalan terlalu cepat..”Abiiiiii!” Dia roboh di pangkuanku..mengejang..tak sadarkan diri..

Seharusnya aku tidak mengiyakan permintaannya untuk ke rumahku apalagi mencerna suguhan murahan itu yang mungkin saja tidak higyenis. Dia terlalu memaksa dan meyakinkanku bahwa sakitnya -  yang sampai sekarang tidak kupahami – itu sudah sembuh. Apalagi kuingat ayahnya pernah memberitahuku tentang beberapa pantangan makanannya. Jadi tak aku tak perlu kaget bila ayahku berniat membunuhku jika terjadi sesuatu yang buruk kepadanya. Dan mungkin aku pun takkan bisa memaafkan diriku bila yang kutakutkan tergenapi.

˚°ºº°˚

Kuncup-kuncup t'lah mawar melayukan dirinya

patah tiada gemulai setelah lelah memulai

Masihkah adakah bulir embun di ujung pagi?

.

Kumis tipisnya tak mampu menyembunyikan kegugupannya saat kubuka buku catatanku yang baru saja dikembalikannya. Kertas-kertas berlipat itu seakan berkata, “Ambil aku! Ambil aku!”

“Apa itu?”

“Bukan apa-apa.” Tangannyaberusaha meraih kertas itu, tapi berhasil kutepis.

“Ouw! Ouw! Katanya kita teman. Kenapa harus ada yang disembunyikan?”

“Yang ini belum waktunya untuk kau ketahu, Abi!”

“O, yeah?”

Entah aku harus terhibur atau makin sedih mengingat hari-hari itu. Terutama sejak tahu makin parahnya sakitku kali ini dengan kemungkinan sembuh relatif kecil. Bila tidak meninggal aku akan cacat. Setidaknya aku tidak mau memberinya harapan palsu bila nanti masa aktifku di dunia tiba-tiba berakhir. Dan aku juga tak mau menelan pahitnya empedu kecewa bila dia memalingkan wajah selamanya atas aib ini.

“Pergi!”

“Hei, kenapa, Abi? Aku kan dat..”

“Pergi! Aku bilang pergiiii!”

Haruskah aku menuding Tuhan atas deritaku? Apa salahku Tuhan sampai ini terjadi kepadaku? Apa maksudmu, Tuhan? Jangan semakin membuatku bingung. Bila malaikat-Mu ‘kan segera menjemputku, mengapa kau biarkan secercah cahaya mentari itu terbit di dalam sini?

˚°ºº°˚

Cinta bukanlah cinta yang berubah saat menemukan perubahan – The Husband’s novel

.

1.000 kali pintu ditutup, 1.000 langkah ‘kan tetap ada. Bersemedi di depan pintu berkaca buram itu pun tak apa. Bukankah dia pun pernah sebeku es dan sekeras baja saat aku pertama kali mengenalnya? Dan aku masih tetap berharap untuk menjadi mataharinya. Mencairkan kebekuan itu, menyinari hari-harinya dengan bahagia dan..cinta. Ya, cinta. Bahkan ketika aku tahu alasan kepindahannya ke kota ini adalah untuk pemulihan penyakitnya. Akh! Kenapa dia tak pernah bilang kepadaku?

Aku kini tak butuh kertas-kertas bisu itu untuk menyampaikannya. Rasa ini sudah tak tahan lagi bersembunyi di dalam sini. Sekarang aku sudah di depan pintu hatimu, mengetuk tapi tak sampai menggedor keras. Hingga hangatnya matahari ini membuatmu pasrah dalam linangan.

“Kau tak perlu bilang apa-apa. Cukup dengarkanlah aku.Biarkan aku menjadi mataharimu. Cintaku tak bersyarat dan kupastikan tak menyayat. Apapun dirimu dan apapun yang ‘kan terjadi, aku ada..selalu..”

Selalu..hingga enam bulan yang tak mudah itu sarat pertarungan senyummu yang memucat.

“Tenanglah..aku masih di sini..untukmu, bersamamu, menjadi mataharimu..”

˚°ºº°˚

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun