Tapak-tapak kaki kecilnya berhenti di ujung teras marmer merah. Dipasangnya wajah memelas malas di hadapanku. Cemberut memagut, mengerutkan wajah imutnya. Rupanya Jaimar sudah bosan menunggu gilirannya mengutak-atik laptopku, benda metalik persegi panjang yang tak pernah diizinkan menarik nafas kemerdekaan setiap kali kuboyong pulang ke rumah ibu. Padahal anggukan kepalaku, tanda dia boleh bermain game favoritnya sudah diperoleh sejak tadi.
“Kakak G..Pierre tidak mau bergantian..”
“Sebentar, ya? Aku akan bilang dia..”
Oh iya..sekadar informasi. Sebelum genap berusia setahun, Jaimar, anak tetangga itu sudah sering bermain ke rumahku dan dia diperlakukan layaknya anggota keluarga kami. Makan, mandi, bermain hingga tidur pun sudah merupakan ritual biasa yang dilakukannya, walaupun frekuensinya agak berkurang karena kini dia sudah terdaftar sebagai salah satu siswa TK Xaverius Ambon. Dia memang cukup dekat denganku, tapi lebih dekat dengan Pierre, adik sepupuku yang sering sekali mengerjainya akibat gemas.
Kembali ke cerita. Setelah lebih dari sekali melemparkan hardikan, akhirnya aku berhasil mengkudeta Pierre dari “singgasana” yang sedari tadi sudah diidam-idamkan Jaimar. Lihatlah binar-binar bahagia yang terpancar dari sepasang bola mata hitamnya. He he he..
“Aku tidak mau main Counter Strike (CS) lagi. Yang lain..” seru Jaimar di depan monitor 13,3 inci itu.
“Hah! Kamu ini banyak maunya! Macam-macam!” bentak Pierre, mengerjai si kecil.
“Sudahlah, Pierre..turuti saja maunya. Jarang-jarang kan dia main di sini..” bujukan kugemakan dari atas ranjang agar menyenangkan hati si raja kecil.
Alhasil, kira-kira setengah jam lebih, Jaimar sudah terlena dengan rupa-rupa permainan, mulai dari CS yang sarat perang-perangan hingga perjuangan kodok hijau jagoan dalam Froggycastle. Bola matanya berpindah kesana-kemari selincah tangan kirinya mengendarai mouse biru-putih itu sambil sesekali mulutnya komat-kamit sendiri.
“Jai, sekarang kita makan sama-sama, ya? Sudah jam sembilan malam sekarang. Nanti main lagi setelah makan,” rayuku.
Tanpa banyak cincong, dia segera parkir di depan TV yang sebelumnya sudah kusetel dengan film kartun anak, menungguku menyajikan makan malam kita berdua.
“Nah, sekarang berdoa dulu sebelum makan,” ucapku sambil memegang piring berisi makanannya.
“Tuhan Yesus, berkati kakak yang bernama Kakak G ini, karena tadi dia sudah mengizinkanku main game di laptopnya. Dan sekarang Tuhan Yesus kiranya memberkati makanan ini sebelum Jaimar makan. Amin!”
“Ha ha ha..syukurlah kalau ada aku dalam doamu. ‘ma kasih, Jai. Kau sudah makin pandai berdoa sekarang,” kataku dengan campuran ekspresi lucu maupun bangga karena merasa baru pernah didoakan dan mendengar doa seunik itu.
Senyumku sudah terlanjur bermetamorfosis menjadi tawa renyah ketika menceritakan kembali doa tadi kepada Kanjeng Mami – ibunya Pierre - dan ibunya Jaimar yang baru saja datang untuk menjemput putranya.
“Jaimar sekarang memang begitu. Bahkan sebelum ke sekolah, dia berdoa cukup panjang,”
“Ha ha ha..”
(✿)
Apakah doa kita sudah sepolos dan setulus Jaimar? Hanya Tuhan dan kita yang tahu.. (。◕‿◕。)
˚°º † º°˚
Selamat berhari Minggu
.
lihat juga: