Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Hanya Karena Dia Bukan Cina

23 Januari 2012   14:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:32 406 2

Kepalanya menoleh cukup lama ke belakang, berlawanan dengan laju vespa tua berwarna biru kusam yang menghantar dua raga berjiwa itu menyetrika jalanan. Terhampar biru segarnya aroma teluk di sisi kiri.

“Siapa, Mel?”

“Sepertinya Koko Anton..”

“Dia melihat kita?”

“Lebih tepatnya saling tatap denganku.”

“Kencangkan penutup kepala jaketmu. Kencangkan pula pelukmu di pinggangku kalau kau tak mau jatuh.”

“Dasar!” sahut Melinda patuh, didahului sebuah cubitan ringan di pinggang lelaki berhelm.

***

“Plak!”

Untungnya tamparan full power oleh lelaki bertelapak tangan lebar itu hanya mampu membuat Melinda kehilangan keseimbangan sejenak tanpa harus terbentur dinding bisu maupun lemari kayu jati.

“Kau sudah berani berbohong.”

“Tidak! Tadi kuliahku padat. Ada sedikit perubahan mendadak sehingga dosennya mengajar lagi hari ini untuk mengejar materi.”

“Oh ya? Jadi siapa yang tadi dilihat Anton? Kembaranmu? Jangan sampai aku yang menangkap basahmu dengan mataku sendiri. Akibatnya akan lebih dari ini!”

Dito, kakak tertua Melinda meninggalkannya dalam tangis. Dan yang bisa diperbuatnya sekarang hanyalah menyumpahi Anton, sepupu bermulut ember sekaligus mata-mata keluarga. Sepeninggal orangtuanya, Dito berkuasa penuh atasnya, termasuk segala tindak-tanduk Melinda. Dan tentu saja itu berlaku pula untuk urusan cinta gadis sipit manis. Apalagi sudah menjadi tradisi dalam keluarga mereka untuk hanya menikah dengan lelaki/perempuan yang sama..Cina!

Dan 10 jemarinya mungkin tak cukup untuk menghitung para lelaki pribumi yang akhirnya ditolak karena tak mau terlibat masalah maupun melibatkan mereka dalam masalah. Selain faktor utama tadi, saat itu Melinda memang masih membenamkan diri di bangku SMP dan SMA. Tapi sekarang? Usianya sudah beranjak dari  angka 20. Haruskah dia tunduk pada tradisi yang tidak masuk akal itu?

“Bukankah di mata Tuhan semua manusia adalah sama, tanpa pandang bulu, etnis, warna kulit, tinggi-pendek, tua-muda, kurus-gemuk, botak-berambut? Ah! Toh, darah yang mengalir sama merahnya.”

Hmm..sulit baginya untuk memahami doktrin permanen yang diturunkan leluhurnya. Padahal Dito yang dikenalnya begitu mengakrabi kumpulan ayat-ayat Kitab Suci dan hampir tak pernah alpa ke gereja setiap Minggu.

Dan haruskah Melinda mengabaikan Alfred, lelaki pribumi yang berambut ikal, berkulit hitam legam yang seringkali membuat mereka berdua dijuluki pasangan yang bak lalat dengan santan itu ditolaknya?

***

“Pinjam kalkulator, ya?

“.......”

“Kau masih marah karena kubuat menangis kemarin?”

“......”

“Iya, iya..maaf. Kutraktir makan bakso ya?”

“......”

“Mau ya?”

“Iya..”

“Nanti kubantu menerangkan Mekanika Teknik itu untukmu.”

“Nggg..apa tak merepotkan?”

“Tak apa bila kau yang merepotkanku.”

Langkah akhirnya diayunkannya disamping Alfred yang buru-buru menyandang tabung gambarnya. Kejengkelan seminggu sebelumnya terganti jua dengan tumbuhnya benih cinta terlarang.

Memoar pasca OSPEK mahasiswa baru di Fakultas Teknik itu cukup meringankan pedihnya, bersamaan dengan getar Nokia 6600 yang hanya mampu berteriak lemah di stadium satu.

“Mel..kenapa tidak balas sms-ku?”

“Sebaiknya kita putus saja..”

“Kau gila?”

“Mungkin.”

“Jangan gila dulu sampai kita ketemu besok. Usai kuliahku jam pertama, kutunggu kau di depan ruanganmu.”

“Iya.”

“Ingat, aku cinta kamu dan aku takkan menyerah meski harus menyogok Tuhan.”

“Hush. Berdosa!”

“Mungkin Tuhan yang berdosa!”

“Heh! Jangan yang aneh-aneh.”

“Buktinya, Dia tak mau menolong kita.”

***

Sejak aksi Anton itu, Melinda dan Alfred mulai lebih berhati-hati dalam merapatkan barisan cinta. Jadwal kuliah palsu yang sudah diserahkan ke  Dito telah terbongkar. Pun telepon rumah sebaiknya tak digunakan karena fungsi paralelnya akan memudahkan si buas itu untuk menyergap hubungan keduanya. Untuk itulah dua sejoli itu lebih memilih berkontak-ria via hp saja. Itu pun kebanyakan sms.

Semua itu begitu kontras dengan keluarga Alfred begitu menyayangi Melinda sebagai tanda penerimaan mereka terhadapnya, merestui cinta keduanya yang bermula dari hubungan kakak-adik tingkat di kampus alternatif di kota kecil itu. Baginya, Alfred bukan lelaki pribumi biasa. Selama ini, si jangkung  begitu baik, rendah hati, bertanggung jawab, pandai dan tidak bergantung kepada orang tua. Dia mampu membiayai kuliahnya dengan kecerdasan les privat yang dibukanya. Apakah itu masih tidak sepadan dengan kriteria etnis yang keluarga Melinda agung-agungkan?

Semuanya terasa makin rumit menjelang peringatan hari ulang tahun pacaran mereka yang ke-3 yang bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek yang ke-2563 nanti.

“Pas Imlek kau kemana?”

“Kita tidak bisa ketemu. Waktu kita hanya saat ada hari kuliah.”

“Aku tanya, pas Imlek kau kemana?”

“Tidak kemana-mana. Di rumah saja. Mungkin sore baru ke rumah para kerabat.”

“Syukurlah..”

“Maksudmu?”

***

Walaupun keluarga Melinda tak lagi membakar hio dan pergi ke kelenteng, namun barongsai tetap menjadi favoritnya. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, atraksi Singa Utara dan Selatan yang melegenda itu selalu ditarikan secara wow dengan iring-iringan gong dan tambur  di depan halaman restoran seafood, usaha utama mereka.

Sorakan Melinda begitu meriah sampai-sampai tak sadar kini dia berada di posisi depan. Apalagi ketika salah satu barongsai yang berwarna merah berhasil mengambil ang pao dari tangan kanannya dan mengibarkan secarik kain panjang bertuliskan Gong Xi Fa Cai. Tapi ada yang aneh..gerakan barongsai itu tidak seperti biasanya. Dia mulai mengitari si gadis yang kini berada di tengah tempat atraksi. Tiba-tiba.....mulutnya membuka, menyodorkan sebuah kotak merah beludru, diikuti secarik kain lainnya yang dikibarkan bertuliskan, Wo Ai Ni, Melinda!

Para tetangga bertepuk tangan, sebagian berbisik menelisik..tapi tidak dengannya. Dito maju perlahan ketika Alfred melepaskan kepala barongsai itu dan menyematkan cincin mas putih itu di manis lentik milik Melinda.

“Kau?”

“Kau terkejut, sayang?”

Melinda nyaris tak bisa menyalurkan emosi hingga muncul suara lain.

“Hei! Pikirmu dengan mampu beratraksi barongsai, kau bisa dianggap sederajat dengan kami?”

“Kuharap begitu. Apa atraksiku kurang hebat?”

“Kupikir kau akan terpukau. Bukan hanya karena atraksinya tapi karena cintaku kepada adikmu tulus.”

“Jangan kau ajari aku cinta.

“Ayolah..ini Imlek, peruntungan dan harapan akan hal baik. Jangan kau rusak damai hari ini.”

“Justru kedatanganmu membawa sial dan merusaknya permulaan tahun ini.”

Bogem mentah telak berkali-kali mengakhiri pembicaraan mereka. Melinda menangis dalam raung melihat pujaannya yang sempat terkapar, bangkit sendiri dengan bantuan rekan-rekannya..lalu pergi.

“Sudah kuperingatkan, bukan? Tapi kau masih saja mau coba-coba. Beruntung dia tidak kubuat cacat atau mati..”

***

Tragedi hari Imlek ini menjadi masalah besar. Keluarga Alfred mati-matian ingin menyelesaikannya secara hukum. Hanya saja karena cintanya kepada si putih mulus itu, Alfred menggagalkan niat itu dengan barter syarat dia tak boleh lagi berhubungan dengan Melinda. Sedangkan si gadis rela putus demi keselamatan kekasihnya itu, lelaki barongsainya yang bukan Cina itu.

“Maafkan aku, Al..”

“Tak ada yang perlu dimaafkan. Mungkin aku akan berhasil menggapaimu pada kehidupan selanjutnya.”

“Selamat tinggal..aku cinta kamu.”

******

Selamat Merayakan Tahun Baru Imlek 2563

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun