sebelumnya :
Setelah Juno, kami masih menuju belasan rumah lainnya yang masuk dalam rute kunjungan Opa Sinterklas dan antek-anteknya pada hari ini. Beruntung hampir semua rumah bocah-bocah menggemaskan itu terletak pada satu pemukiman. Jadilah Topan yang mendapatkan sepatu baru karena menjadi juara kelas pada kenaikan kelas tahun ini; Ika yang mendapatkan boneka Barbie setelah berjanji tidak akan menjambak rambut adiknya lagi; Marsel yang tersenyum senang mendapatkan mobil-mobilan usai dibentak para Pit Hitam akibat kemalasannya ke Sekolah Minggu; belum lagi Alang, Romana, Jingga, Coin, Bowo, G, si kembar Asael dan Misael dll..
Rute yang paling akhir, bergerak ke arah timur, seirama jarum pendek jam mungil di atas dashboard mobil jeep itu beku di hadapanku tepat pada angka lima.
“Kita akan menuju luar kota,” kata Aditya yang berkonsentrasi di belakang kemudi.
“Kemana, sayang?” tanyaku bin menoleh ke arah Lewi-ku yang sibuk membetulkan posisi kacamatanya disangga hidung mancungnya.
“Tuh, lihat saja di daftar..”
“Tidak ada. Nomor urut 27..Daveena kan sudah tadi?”
“Aku juga tidak tahu..tanyakan saja kepada pak sopir kita. He he he..”
“Sama..aku hanya mengikuti kemana kemudi ini membawaku..”
Pecahlah tawa dari pintu bibir enam orang penghuni jeep itu - tidak termasuk aku. Cemberutku makin membengkak karena Lewi belum mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Apa dia lupa? Atau pura-pura lupa? Uuuh! Entahlah..makin kucari jawabnya, makin berkutat kejengkelan di dalam sini. Apalagi tadi tanpa sengaja kulihat.......
*Epifania*
» Tunggu. Sebentar lagi aku ke situ.
------
06/12/2011
05:00:52 AM
Pelebaran pupilku berusaha kukendalikan bersamaan dengan detak jantungku. Mana mungkin aku lupa nama itu. Epifania! Ingin sekali kutanyakan kepadanya dengan intonasi putri keraton..tapi aku tak sanggup. Jadi lebih baik kupinjam dulu seulas senyum lebar Barbie demi menjaga kebersamaan kami semua.
Seakan menendang aku dari dunianya, - padahal tadi kami sedang mesra-mesranya - sekarang Lewi memilih duduk di bagian belakang dan kembali melepas tawa dengan topik lain dengan bersama tiga jejaka kentalnya. Namun wajahnya menekuk serius sesekali ketika bertatap dengan ponsel berdimensi 106×43x13 mm itu. Aneh! Apakah dia sedang ber-sms-ria dengan Epifania? Siapa itu Epifania? Istrinya? Mantap pacarnya? Pacar gelapnya? Lalu aku? Pacar terangnya? Atau mungkin perempuan itu yang pacar terangnya dan aku pacar gelapnya.. Tapi kami selalu berpacaran di tempat terang. Lagipula secara terang-terangan, masing-masing keluarga kami tahu kami berpacaran. Duh! Makin rumit saja bila aku ingin mengikuti jejak detektif Conan. Duh! Mengapa ini terjadi di hari ulang tahunku? Aku juga tak berharap ini terjadi pada hari lainnya dalam lembar kehidupanku, ya Tuhan!
45 menit berselang
“Sudah sampai!” seru Aditya dari balik kemudi.
Rumah sederhana berbahan papan itu memamerkan perspektif klasik dengan hamparan rerumputan luas membelakangi pantai yang tak memberi pilihan lain kepada sepasang indera penglihatan ini untuk larut dalam pukau. Dijagai pula sepasang nyiur pada kedua sisinya yang melambaikan ucapan selamat datang, diiringi paduan suara ombak menabrakkan diri ke karang-karang bisu. Inginku juga ikut menabrakkan diri daripada harus menerima kenyataan yang kutakutkan sebentar lagi.
Akh! Jantungku makin berdegup kala Lewi berjalan menuju rumah itu..tanpa aku, tanpa menunggu aku berjalan di sampingnya.
Pintu sudah terbuka, seakan tahu gerangan yang ditunggu.. Febrio dan Teo terpogoh-pogoh membawa kado raksasa itu.
“Tidak ikut masuk ke dalam?” sergah Aditya yang lagi-lagi masih setia di belakang kemudi. Jari-jemarinya lalu berpindah dari tombol sirene ke DVD player yang siap menyabung hits Natal favorit dengan deburan ombak.
Baru saja aku mau memuntahkan kata “malas”, Lewi sudah berkacak pinggang di depanku..
“Siniiiiii..Sedang apa kamu dengan Aditya disitu? Pacaran? Mau selingkuh di belakangku? Ha ha ha..”
“Huh! Tidak lucu! Bukannya itu kamu?” balasku dalam hati berbalutkan senyum palsu.
Aku diboyongnya ke dalam sambil terus melemparkan tawa ke arah lelaki bermata sipit tadi.
Kami melewati ruang tamu, terus ke sebuah kamar.
“Masuk saja..sudah bangun..”
Suara itu kukenal. Itu Diana, adik Lewi yang bungsu.
Pintu dibukanya....bertepatan dengan terbukanya sepasang mata presbiopi di atas pembaringan itu.
“Siapa?”
(bersambung)