Pukul 02.00 WIT..
”Halo..” aku bicara dengan mata tertutup, mencoba meresapi kehadirannya lewat gelombang suara yang dipantulkan benda hitam itu.
“Sudah tidur?”
“Sudah bangun tepatnya..”
“Maaf aku mengganggu tidurmu..”
“Ah tidak! Kalau aku merasa terganggu, tentu panggilanmu takkan kugubris..”
Mataku semakin membuka lebar, tanda kesadaran yang tidak dibuat-buat. Lenganku pun beringsut memeluk gulingku, pengganti raga yang sudah bertahun-tahun tak pernah kupeluk lagi. Detik-detik sunyi mengakrabi rinduku yang menabrak empat sisi dinding dan loteng, menyusup ventilasi, celah-celah pintu dan jendela kayu yang tak pernah bisa dikunci itu. Sisanya memilih meringkuk di bawah kolong tempat tidur dingin nan gelap atau memilih masuk di lemari berdebu itu.
Aku tak peduli para penghuni kamar sebelah akan mendengar pembicaraan kita, entah itu lelaki bermulut perempuan itu yang sering menghamburkan senyuman palsu untukku atau gerombolan perempuan lancang yang selalu mau tahu urusan orang. Hah! Mau menggosipkanku? Silahkah bergosip hingga mulut kalian berbusa. Anjing menggongong, kafilah menggigit. Ya, kan kugigit kalian dengan perilaku cuekku. Tak perlu membuang waktu untuk menjelaskan apa yang kulakukan. Aku sudah dewasa untuk memutuskan mana yang terbaik bagiku, tahu mana baik-buruknya. Aku sudah cukup umur untuk meneguk asmara dengan lelaki pilihanku, dengan caraku. Aku wanita dewasa. Aku bertanggung jawab atas diriku, tindak-tandukku, keputusanku. Lagipula suaraku tidak pecah seperti orang yang sedang berkaraoke.
Nah, masih tetap tentang lelakiku sayang...
“Kapan kau pulang?”
“Akhir pekan ini. Kenapa?”
“Aku mau itu.”
“Iya..”
“Kamu yakin mau?”
“Iya..mau berapa kali aku bilang iya?”
“Tidak apa-apa?”
“Ya tidaklah..”
“Memangnya kamu tahu apa yang kumaksudkan.”
“Lha kan cuma ketemu dan ngobrol-ngobrol saja kok dipersoalkan?”
“Hmmm...kamu tidak mengerti apa yang kumaksudkan.”
“Apa?”
“Itu..”
“Itu apa? Diperjelas, ah!”
“Aku malu mengatakannya padamu..seharusnya kau paham. Kita kan sudah sama-sama dewasa.”
“Yee, jangan bikin bingung, ah. Lama-lama jadi salah paham. Makanya bilang saja.”
Jeda......
“Aku mau..aku mau tidur denganmu, Ara (Anggarani)!”
Jeda lagi.....
Kali ini karena aku sibuk mengendalikan pelebaran pupilku, kontras mataku yang kian membelalak. Kini diameternya mungkin 5 cm. Sayang, aku lupa mengukurnya dengan penggaris plastik keponakanku gara-gara terlalu terkejut. Kalau ini siang hari, aku mungkin bisa mengekspresikannya dengan jeritan histeria! Sontak gambaran nilai-nilai kebanggaanku pada lelakiku itu merosot tajam melewati angka nol pada garis bilangan di pelajaran Matematika hingga stagnan di angka -5!
Ya Tuhan..apa aku tidak salah dengar? Kau lelakiku sayang kini lebih pantas menjadi lelakiku jalang! Padahal kupuja kau siang dan malam, menjadikanmu pembanding dengan adam-adam lainnya yang mondar mandir di pelupuk mataku maupun pintu hatiku selama beberapa tahun belakangan ini. Aku bahkan tega me-reject ribuan panggilan mereka di ponselku, tapi itu tidak berlaku bagimu, sayang. Kupuja kau melebihi para singer favorit bersuara emas sekelas Jason Mraz, Michael Bublé, Ronan Keating, Josh Groban, Robby Williams, Adam Levine, Sonu Nigam, Rio Febrian, Delon ataupun para aktor Hollywood seksi plus ganteng semisal Hugh Jackman, Kevin Costner, BradPitt, bahkan So Ji Sub-nya Coin 766hi :D Karena kau nyata untukku. Lalu kenapa kau tiba-tiba seperti ini?
Tapi terserah kau mau menilaiku sebagai Anggarani kolot, belagu, sok suci, bawa-bawa nama Tuhan..tapi sungguh aku tak bisa..
“Maaf aku tidak bisa.”
“Mengapa?”
“Aku takut!”
“Aku mengerti ketakutanmu. Takut hamil?”
“Hm..ehm..”
“Percaya padaku. Aku tahu caranya. Dan aku tak’kan pernah mungkin meninggalkanmu.”
“Tidak..tidak ada yang bisa menjamin itu.”
Kau memang tak pernah percaya padaku. Baiklah aku tidak memaksamu. Terima kasih sudah menjawab. Kau tahu, padahal aku sangat berharap kau akan mengatakan ya!”
“Aku mungkin rela melakukan apa saja. Tapi tidak untuk yang satu ini. Tidak bagimu dan juga bagi lelaki manapun sebelum dan sesudahmu. Aku sudah pernah bilang. Kita menikah saja, lalu kita bebas melakukannya, tanpa batasan, tanpa rasa takut. Karena kita resmi di hadapan manusia dan Tuhan.”
“Tapi ibumu tidak akan pernah menyukaiku. Aku hanya gembel, Ara..tak berpekerjaan, pun kuliahku tak kunjung selesai.”
“Entahlah..”
“Ayolah..ada banyak cara utuk mengungkapkan cinta, tidak perlu dengan cara seperti itu. Dan tanpa melakukannya, kau tahu perasaanku padamu selama ini.”
“Tapi aku butuh itu. Aku sudah seperti kecanduan. Dan kalau kita melakukannya, kau pasti juga akan menginginkannya lagi dan lagi..”
“Apa? Makanya aku tidak mau. Aku memang tidak munafik untuk hal ini. Siapa sih yang tidak mau seks? Tapi ini hanya soal waktu. Waktu kita belum tiba. Aku hanya mau melakukannya dengan suamiku. Aku untukknya, dia untukku. Lagipula masa kau tidak bisa mengendalikan dirimu?”
“Ya memang aku tidak bisa mengendalikan diri.
Kembali jeda..
“Oke, kuhargai keputusannmu. Dan sekarang pasti kau sudah mencapku buruk, bukan..”
“Ah, tidak..”
“Aku tahu..”
Ya memang..syukurlah kalau kau sadar itu. Kau kini lelakiku jalang walau hanya bisa kuucapkan kalimat itu dalam hatiku. Tak tega kuucapkan langsung karena serpihan sayangku masih melekat padamu, lelakiku sayang. Mudahnya kau mengatakan kecanduan karena sudah berpraktek dengan perempuan-perempuanmu yang terdahulu. Dan kini kau mendewikan aku melebihi mereka atas nama cinta. Benarkah? (*)