Setelah sedari tadi kelas dihujani rasa haru dan menegangkan, kini saatnya banjir gelak tawa berbagai frekuensi akibat penyampaian karangan milik Rei dan Fitria..
“Ayahku adalah seorang tukang kayu, membuat kursi, lemari, pintu, jendela dan lain-lain. Dulunya aku hanya mengamat-amatinya hingga akhirnya mau turun tangan, membantu mengambilkan beberapa perkakas yang dibutuhkan sekaligus memuaskan rasa penasaranku (biar tak mati penasaran nanti J). Tak hanya furnitur rumah tangga, tapi dia juga mampu “menyulap” potongan kayu dan embel-embelnya menjadi peti mati hanya dalam hitungan jam. Padahal mulanya aku dihinggapi rasa was-was bila ayah mengerjakan peti mati, karena menurutu, itu berhubungan dengan kematian, sesuatu yang teramat menakutkan. Aku sering berkhayal, Ayah akan ditelan peti hitam itu sehingga aku akan kehilangan dia selama-lamanya. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai tersadar dengan apa yang disebut kenyataan. Aku tidak malu dengan pekerjaan yang dilakoni Ayahku ini. Melalui pekerjaan ini, ayah mampu menyekolahkanku dan kelima kakakku. Baginya, pendidikan anak-anaknya adalah prioritas utama dalam keluarga. Hal ini begitu menyentuh batinku, menginspirasiku untuk membuka perusahaan furnitur yang sukses di kemudian hari. Walapun tangan Ayah begitu kasar akibat terlalu akrab dengan serpihan kayu dan aneka perkakas itu, namun hatinya selembut salju, menyambutku penuh cinta dalam pelukan hangatnya saat Ibu sering kali menerkamku dengan omelannya. Bahkan sampai saat ini dia menjadi teman curhatku yang belum tergantikan. Selamat hari Ayah.. Terima kasih Tuhan, karena memberi Rei pria yang kupanggil Ayah ini..”
“Mau kemana-mana tak pernah bayar. Jauh-dekat, sama saja. Penasaran, bukan? Itu karena ayahku adalah seorang tukang ojek. Mulanya ayah mengojek motor milik tetangga. Namun kerja kerasnya beberapa tahun terakhir ini akhirnya membuahkan sebuah motor bekas yang kini resmi menjadi miliknya. Ayah selalu keluar rumah usai menjalankan shalat subuh bersama kami. Setelah itu dia kembali untuk makan siang, shalat dan melanjutkan kembali aktivitasnya di jalanan hingga malam memeluk hari. Pernah karena terlalu giat bekerja, ayah sakit-sakitan. Namun setelah beristirahat selama beberapa hari serta ditunjang obat-obatan tradisional, kesehatan ayah pun pulih. Ayah selalu berpesan kepada aku dan saudara-saudaraku agar tidak mengeluh dalam berusaha. Kerja keras tanpa kata menyerah, kata dia, juga harus didukung dengan rasa syukur kepada Allah SWT supaya kelimpahan berkat selalu ada bagi kita. Terima kasih, Ayah. Kaulah panutan bagi Fitria. Selamat hari Ayah..”
·٠•★
Kelas masih ramai dengan rupa-rupa siswa lainnya yang membacakan isi karangannya. Yang belum mendapat giliran terlihat sibuk dengan buku tulis bersampul coklatnya masing-masing. Beberapa nampak berkomat-kamit sendiri di tempat duduknya, membaca ulang apa yang sudah dituliskan agar tidak grogi saat tampil nanti. Yang lain malah tak mau ambil pusing dengan lebih memilih menikmati apa yang sedang ditampilkan teman lainnya sesuai nomor undian yang diambil minggu lalu.
·٠•★
Tawa riuh, tepukan kagum maupun cemohan di kelasku masih bisa bisa ditangkap sepasang daun telinga ini dari balik pintu WC yang hanya berjarak beberapa meter dari ruangan berdinding biru langit itu. Akh! Tanpa kusadari ini ketiga kalinya aku aku bolak-balik ke WC. Bukan untuk pipis, bukan pula untuk buang air besar.. tapi karena grogi..Ternyata aku lebih grogi dari teman-teman masih berkomat-kamit bak dukun yang mengucap mantra itu.
·٠•★
Kini tiba giliranku.. Aku menghela nafas-dalam sebelum pintu mulutku membuka seperlunya, siap melontarkan kata-kata yang sedari tedi bergumul di benakku. Aku memegang buku tulis bersampul coklat itu seperti anak-anak lainnya. Tapi sebenarnya lembaran-lembaran yang ada di dalamnya tidak mengisahkan apa-apa.. Kosong.. Seperti hidupku yang hampir kosong..
Lucunya atau mungkin lebih tepatnya disebut memalukan saat seorang teman yang posisi duduknya tepat berhadapan denganku spontan berteriak, “Lihat! Bukunya terbalik!” Jadilah aku bulan-bulanan seisi kelas kira-kira selama semenit sebelum ibu guru cantik itu menyelamatkan harga diriku dengan mengomando bocah-bocah nakal itu untuk segera menutup mulut isengnya.
Akhrinya aku meletakkan buku itu di meja anak yang meneriakku tadi dan membiarkan aliran kata demi kata ini mengucur dari hati..
“Ayahku adalah seorang pengecut. Atau lebih tepatnya, aku tak punya makhluk yang disebut ayah itu.. Karena dimana Ayah saat Ibu berjuang membawaku ke dunia asing ini? Dimana Ayah saat aku pertama kali jadi penghuni jagad ini? Dimana Ayah saat sebenarnya lidahku mampu menyebut “ayah” dan mengapa hanya kata “ibu” yang diajarkan kepadaku? Dan tiada yang peduli dengan perasaanku saat aku melihat Riki, teman sepermainanku asyik bermain layang-layang bersama ayahnya; atau Mikaela yang begitu menikmati gandengan tangan ayahnya saat bersama-sama ke sekolah untuk mengambil raport kenaikan kelas; atau ciuman selamat malam yang diterima Zahra, sepupuku, dari ayahnya setiap malam ketika kami para sepupu menginap di rumahnya saat liburan. Dan yang paling tragis, aku pernah diejek karena tidak punya ayah! Aku benar-benar tak mengerti!. Bahkan saat kutanya berkali-kali tentang Ayah, Ibuku memilih diam. Kalaupun dia bicara, itu berupa ancaman untuk menyuruhku mengunci mulut kecilku yang terlalu lancing untuk bertanya. Jadi lebih baik aku yang diam dari pada Ibu yang diam. Hingga pada suatu hari aku mulai rajin ke Sekolah Minggu. Kuakui aku bukan pendengar yang baik. Macam-macam kata yang dikatakan Ibu Guru Sekolah Mingguku hanya singgah sebentar di telingaku. Bosan.. Hingga hari itu dia menyebutkan kalimat, “Yesus cinta semua anak-anak di dunia..” Lebih tepatnya bukan cuma karena perkataan itu tapi karena sebuah gambar yang ditunjukkannya kepadaku dan puluhan anak lainnya.. Selanjutnya aku tak menghiraukan lagi penjelasan lanjutan dari ibu guru berambut keriting itu. Pikiranku malah menerawang sendiri sembari tersenyum. Dan saat ibadah Sekolah Minggu itu usai, kuberanikan diri untuk meminta gambar itu darinya untukku. Beruntung gambar itu pun menjadi millikku. Padahal sebenarnya ada banyak gambar sejenis ini yang pernah kulihat sebelumnya. Hanya saja entah mengapa gambar yang satu ini benar-benar memberi ketenangan tersendiri..gambar Yesus memegang tangan seorang anak laki-laki yang sedang duduk di pangkuan ibunya.Kubayangkan aku dan ibuku ada di posisi itu. Jadi ketika aku sedang gundah atau merindukan sosok ayah yang sama sekali tak bisa kubayangkan, kutatap saja gambar itu tanpa berkata sepatah kata pun. Gambar itu telah berbicara lebih dari cukup. Damai pun menelusup.. Jadi walaupun aku tak punya ayah, aku punya Yesus, Ayah sejatiku! Selamat hari Ayah, Yesusku!”
Lega rasanya saat tepukan tangan membahana seisi ruangan. Bahkan sempat kutangkap tingkah para gadis yang sibuk menyeka air matanya karenanya. He he he.. Bukan karena bangga berlebihan tapi karena aku akhirnya bisa mengungkapkan isi hatiku tanpa rasa malu yang mulanya sangat kukhawatirkan. (*)
------------------------------------------------------------------
Didekasikan kepada para Ayah dan anak-anak
Tulisan terkait : Hari Ini Pengecut Itu Berulang Tahun