Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

Bertemu Dua Pustakawan Berprestasi Terbaik Nasional 2013 dan 2014

31 Oktober 2014   00:18 Diperbarui: 24 November 2015   07:07 804 0

Beruntung, penulis dapat menjumpai dua perempuan berprestasi ini. Yang pertama adalah, Ulfah Andayani, peraih predikat Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional 2013, dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dan kedua, Yunita Riris Widawaty, dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong, Tangerang, yang meraih predikat sama untuk tahun 2014. Hebatnya, keduanya adalah Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional yang sama-sama mewakili Provinsi Banten. Dari kedua Pustakawan ini, selalu terpancar semangat untuk terus berprestasi dan memajukan dunia perpustakaan. Ulfah dijumpai penulis pada Agustus kemarin di Perpustakaan Kampus UIN Jakarta. Sementara pertemuan dengan Riris, berlangsung pagi tadi di Perpustakaan Kampus UMN.

Berikut, reportase mengenai profil keduanya yang ternyata juga sama-sama bersahabat ini.

Baru empat tahun bergabung di Perpustakaan Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Yunita Riris Widawaty S.S., M.Hum., langsung menorehkan prestasi luar biasa. Perempuan kelahiran Jakarta, 7 Juni 1973 ini berhasil meraih penghargaan sebagai Pustakawan Berprestasi Terbaik Nasional 2014. Perhelatannya sendiri dilaksanakan pada pertengahan Agustus kemarin, di Jakarta. Sungguh, sebuah rentang waktu yang cukup singkat yang mengantarkan Riris meraih predikat bergengsi tersebut. Hebatnya, sebelum menjabat sebagai Pustakawan di Kampus UMN---yang beralamat di Scientia Garden, Jalan Boulevard Gading Serpong, Tangerang, Banten---, Riris sama sekali bukan seorang Pustakawan.

“Saya baru bergabung di Perpustakaan UMN ini pada tahun 2010. Sebelumnya, selama enam tahun ke belakang, saya bekerja di newsroom stasiun televisi RCTI sebagai News Researcher, yang membantu para jurnalis untuk mencari berita, mendapatkan berita, membuat profil, melakukan investigative reporting, dan lainnya. Menurut saya, “perang” sesungguhnya atas tayangan pemberitaan televisi, bukan hanya ada di garda depan, tapi juga dalam konteks investigasi sebelum melakukan pemberitaannya. Begitulah gambarannya, sebelum menjadi Pustakawan di Kampus UMN ini, saya sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan yang namanya Perpustakaan,” tutur Riris yang baru dua tahun terakhir menjabat sebagai Kepala Perpustakaan Kampus UMN.

Meski demikian, menurut Sarjana Sastra dari UI Jurusan Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan angkatan 1998 ini, prestasi Pustakawan Berprestasi Terbaik Nasional 2014 diraih bukan karena faktor kebetulan, melainkan melalui serangkaian proses yang dijalani dengan kebulatan tekad dan semangat perjuangan.

“Saya bukan orang yang percaya dengan ‘kebetulan’. Yang namanya faktor luck, enggak ada dalam hidup saya. Saya yakin, pasti sudah ada yang direncanakan dalam hidup kita, yang mungkin kita enggak tahu, tapi akhirnya kita jadi tahu setelah melewati bahagian tersebut. Itu juga yang saya rasakan ketika terpilih sebagai Pustakawan Terbaik Tingkat Nasional 2014, yang bermula dari surat yang ditujukan kepada Rektor UMN dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Kota Serang, Banten. Intinya, surat tersebut adalah semacam undangan untuk mengirimkan seorang Pustakawan sebagai peserta Lomba Pustakawan Terbaik Tingkat Provinsi Banten, pada Mei 2014 lalu,” ujar mantan Anggota Komisi Teknologi Informasi, Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi DKI Jakarta periode 2002-2005 ini.

Singkat cerita, Riris pun berlaga pada Lomba Pustakawan Terbaik Tingkat Provinsi Banten. “Sewaktu presentasi di hadapan juri, saya memaparkan tentang Forum Ultima, yang merupakan sebuah kegiatan berbagi pengetahuan yang digagas oleh Perpustakaan di Kampus UMN, sebagai upaya untuk menangkap banyak pengetahuan yang masih ada dalam pikiran penciptanya atau disebut pengetahuan implisit (tacit) atau individu dan mengelola serta menyebarkannya. Presentasi saya tentang Forum Ultima ini mendapat apresiasi tertinggi dari dewan juri, sehingga saya berhasil meraih juara pertama, untuk kemudian berhak mewakili Provinsi Banten pada kompetisi yang sama di tingkat Nasional,” urai Riris yang meraih Magister Humaniora di UI, Jurusan Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan pada 2003.

Mewakili Provinsi Banten dalam Lomba Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Nasional, hati Riris bukan main girangnya. Berbagai persiapan ia lakoni semaksimal mungkin, di tengah padatnya jadwal pekerjaan. Maklum, selain sebagai Kepala Perpustakaan di Kampus UMN, Riris pun menjabat juga sebagai Managing Director dari Rumah Padi, sebuah aliansi bisnis yang dikembangkannya bersama sejumlah kolega, dan memproduksi aneka aplikasi game online.

“Pada saat Lomba Pustakawan Berprestasi Nasional itu, para peserta yang mewakili seluruh 33 provinsi memang sangat luar biasa perjuangannya. Bayangkan, sejak jam 19.00 WIB, kami harus menjawab secara tertulis sebanyak 30 soal terkait perpustakaan, dan baru selesai pada jam 21.00 malam. Selesai tes tertulis itu, bukannya dilanjutkan dengan beristirahat, tetapi kami harus mempersiapkan makalah untuk dipresentasikan pada keesokan paginya. Tema yang diajukan oleh panitia lomba adalah Kesiapan Pustakawan Menghadapi ASEAN Free Trade Area (AFTA). Waktu itu, sebenarnya saya sudah memiliki sejumlah bahan presentasi yang biasa saya sampaikan di Kampus UMN, maupun ketika harus berlaga pada kopetisi game online. Berbekal itu, saya kemudian berpikir sejenak, dan memutuskan untuk mempresentasikan mengenai game online yang saya beri nama Brina’s Quest di hadapan dewan juri, pada keesokan paginya,” cerita Riris yang pernah menyabet Juara Pertama Best Game for Smartphone/Tablet pada ajang Indonesia Game Show 2013 kategori Amateur.

Siapa sangka, ternyata presentasi Riris yang membawakan tema tentang game online bertajuk Brina’s Quest justru menjadikannya bintang dalam laga presentasi. “Betapa tidak. Kebanyakan dari peserta memaparkan bagaimana Pustakawan Indonesia dapat bekerja di tempat lain dengan kompetensi yang dimiliki, tetapi saya justru berbeda. Saya mengangkat tentang game yang saya dan sejumlah teman telah buat. Game ini dikembangkan dengan maksud untuk mempersiapkan diri menghadapi arus datangnya orang asing untuk bekerja di Indonesia. Nah, aplikasi online ini seperti media tersendiri untuk belajar Bahasa Indonesia melalui game,” jelas Riris yang pernah menjadi Juara Kedua Kategori Layanan pada Lomba The Best Improvement Innovation Implementation 2011 dengan judul Knowledge Management System di Kampus UMN.

Game online yang disampaikan Riris memang bukan sembarang game hiburan. Tapi, content yang dikembangkannya memiliki keterkaitan yang erat dengan kesiapan menghadapi pelaksanaan AFTA. “Pokoknya, game online yang saya presentasikan adalah game yang dapat membantu orang asing yang sengaja datang ke Indonesia untuk bekerja. Nah, ini sudah tentu kuat kaitannya dengan kesiapan pelaksanaan AFTA. Artinya, dengan memaparkan game online ini di hadapan dewan juri, maka saya berusaha untuk menunjukkan bahwa, sebagai Pustakawan, ada satu hal lagi yang saya kerjakan, yaitu sebagai Game Developer. Dalam game online Brina’s Quest ini ada tiga kategori yang diujikan mulai dari tata bahasa, kosa kata, dan penggunaan Bahasa Indonesia. Presentasi mengenai game online ini yang kemudian turut mengantarkan saya meraih juara pertama,” jelas Riris yang selalu energic dan penuh keramahan.

Mengomentari perkembangan Perpustakaan di Perguruan Tinggi, Riris mengatakan, fenomena yang berkembang saat ini adalah, dalam satu kampus, hanya ada satu perpustakaan. Artinya, meskipun terdapat banyak fakultas pada Perguruan Tinggi tersebut, namun masing-masing fakultas tidak mengelola perpustakaannya sendiri-sendiri. “Sudah bukan zamannya lagi, setiap fakultas yang ada di sebuah Perguruan Tinggi memiliki perpustakaannya sendiri-sendiri. Perpustakaan dengan sistem yang tersentralisasi, lebih memiliki banyak keuntungan, mulai dari sistemnya yang lebih mudah dibangun, manajemen yang lebih sederhana, menguntungkan bagi Pustakawan, Pemustaka, koleksi bahan pustaka, dan sebagainya. Fenomena perpustakaan yang tersentralisasi ini misalnya, sudah berlangsung di UI, dan Universitas Atmajaya,” ujarnya seraya menyebut jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) di Perpustakaan Kampus UMN masih berjumlah empat orang, dan bakal membutuhkan tambahan SDM baru.

“Perlunya penambahan jumlah SDM di Perpustakaan Kampus UMN ini, dimaksudkan untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada para pengunjung, yang jumlahnya mencapai lebih dari 500 orang per hari, dan juga untuk mengurusi koleksi bahan pustaka yang mencapai lebih dari 20.000 eksemplar, dan terus bertambah setiap harinya. Selain itu, target saya, pada tahun depan, seluruh Pustakawan di Kampus UMN ini sudah terakreditasi semuanya,” optimis istri dari juru kamera stasiun televisi RCTI, Didit Haryadi ini.

Ulfah Andayani, Makin Cinta Profesi Pustakawan

Sebenarnya, cita-cita Ulfah Andayani bukan jadi pustakawan. Dulu, jangankan bermimpi jadi pustakawan, justru sebaliknya, ia tidak suka dengan profesi pustakawan. Tapi takdir menentukan lain, Ulfah kini seorang pustakawan sukses, selain sebagai dosen pada Jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jabatan yang disandangnya, Sub Koordinator Layanan Teknis Perpustakaan Utama di UIN Jakarta. Sebagai pustakawan, Ulfah pernah menorehkan prestasi membanggakan, terpilih sebagai Pustakawan Terbaik Tingkat Nasional pada 2013 mewakili Provinsi Banten.

“Waktu itu, usai lolos seleksi di tingkat Kota Tangerang Selatan, saya kemudian lolos seleksi lagi di tingkat provinsi, sehingga berhak mewakili Banten. Saat uji seleksi di tingkat kota maupun provinsi, saya menjalani tes tertulis pengetahuan perpustakaan, tes wawancara tentang wawasan perpustakaan, keterampilan berbahasa, pendalaman peran serta kemasyarakatan, dan pembuatan makalah plus presentasi,” ujar Ulfah ketika dijumpai penulis di Perpustakaan UIN Jakarta, belum lama ini.

Ketika seleksi di tingkat kota, kata wanita kelahiran Binjai, Sumatera Utara, 17 Juni 1971 ini, paparan presentasinya berjudul Pemanfaatan Electronic Resources Pada Perpustakaan Sekolah. “Saya mengulas urgensi melakukan upaya kreatif dengan memanfaatkan sumber-sumber elektronik terutama yang free, semaksimal dan semenarik mungkin, demi meningkatkan minat baca siswa, sekaligus menjadikan perpustakaan sebagai lingkungan belajar yang disukai. Saya paham, kini trend user perpustakaan dan budaya masyarakat sudah meninggalkan printed native menjadi digital native,” ujar istri dari Agus Rifa’i, SAg, SS, MA yang juga berprofesi sebagai dosen dan pustakawan di kampus yang sama.

Sedangkan pada saat seleksi tingkat nasional, lanjut Ulfah, makalah yang dibuat adalah bukan makalah yang sudah dipersiapkan dari rumah. “Tapi, secara instantly kita harus membuat makalah dalam waktu singkat. Sore dibuat, pagi harinya dipresentasikan. Saya ingat, hasil undian menentukan, topik yang saya terima lumayan sulit, tentang sertifikasi pustakawan. Kenapa sulit? Karena jujur saja, saya masih awam dengan topik itu, lagipula, pelaksanaan ujian sertifikasi pustakawan itu sendiri baru diimplementasikan pada awal 2014. Tapi, setelah semua saya kerjakan, hasilnya mengejutkan, saya berhasil meraih juara satu! Saya terharu, surprise! Semula saya pikir, kalau pun juara, mungkin peringkat juara harapan saja, tapi nyatanya, justru saya terpilih sebagai yang terbaik,” tutur ibu dari tiga anak yaitu M Kaffin Zuhda (14 tahun), M Kafka Ziyada (12), dan Fahrisa Arfa Kamila (10) ini.

Menurut Ulfah, kenikmatan menjadi seorang pustakawan adalah ketika mampu memenuhi kebutuhan informasi para user. “Syukurlah, trust dari kalangan dosen makin tebal. Misalnya, ketika butuh informasi, mereka memerlukan layanan pustakawan. Beberapa waktu lalu, ada seorang dosen peneliti di Pasca Sarjana UIN yang butuh informasi tentang data jumlah majelis taklim se-Indonesia. Sudah cari data kemana-mana, tetap gagal. Tapi, dosen ini yakin bahwa, pernah ada mahasiswa UIN yang menulis skripsi tentang keberadaan majelis taklim. Setelah kita cari di perpustakaan, ternyata file skripsi yang sudah lama itu berhasil ditemukan pada sebuah folder yang belum diunggah ke situs perpustakaan kami. Segera saja informasi ini kami kirim via email ke dosen tersebut,” bangga Ulfah yang tinggal di Pondok Cabe Ilir, Tangsel ini.

Respon user perpustakaan, katanya lagi, sangat beragam. “Tidak semua mereka memiliki persepsi baik. Misalnya, bila kita melayaninya butuh waktu lama, dan informasi yang mereka butuhkan tidak ditemukan, ada saja user yang kecewa dan beranggapan, percuma ke perpustakaan karena informasi yang dicari tak tersedia. Ada juga yang pernah mengeluhkan layanan perpustakaan ini langsung ke akun twitter milik Rektor UIN,” keluh Ulfah.

Seharusnya, pesan Ulfah, user lebih bijak memahami bahwa, layanan perpustakaan ini, kalau dulunya offline, kini sudah online. “Dulu, koleksinya hanya printed materials, kini sudah ada yang digital. Kalau akses internet dikeluhkan lambat, kami pun terus usahakan dipercepat dengan memperbesar bandwith,” kata Ulfah yang masih bercita-cita jadi dosen Bahasa Inggris ini. “Tapi takdir-Nya, saya jadi pustakawan. Awalnya, profesi ini saya tidak sukai, lalu kurang menyukai, kemudian mulai menyukai, hingga akhirnya kini saya jadi mencintai, dan harus mencintai profesi pustakawan”.

Ulfah Andayani S.Ag, S,S, M.Hum., menamatkan S1 Jurusan Bahasa Inggris di IAIN Sumut, dan kemudian ia menyelesaikan S1 Khusus Jurusan Ilmu Perpustakaan di UI, lalu melanjutkan S2 Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan, juga di Kampus UI, dan pernah mengikuti Short Course Teacher Librarianship, di McGill University, Canada.

Perjuangan Riris dan Ulfah telah membuahkan hasil. Namun patut diyakini, keduanya bukan tipikal orang atau Pustakawan yang berpuas diri. Prestasi demi prestasi masih akan terus dicapai dan digapai. Seiring dengan aktualisasi diri, dan kemantapan hati untuk senantiasa menjawab tantangan diri. Lebih dari itu, setidaknya, Riris dan Ulfah sudah membuktikan aksi untuk Indonesia. Semoga selalu menjadi teladan positif, insya Allah.

o o O o o


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun