Usai mengikuti acara Kompasiana Community Card'Betawi Maknyus Bersama Pak Bondan' di Bentara Budaya, Palmerah Selatan, Jakarta Selatan, Sabtu (6/11) kemarin, KompasianerAgung Han langsung berkomentar, “Bir Pletok memang ajib!” Boleh jadi, komentar spontan Kompasianer asal Magetan, Jawa Timur ini karena memang baru pertama kali mencicipi maknyus dan ajib-nya Bir Pletok.
Beda lagi dengan respon KompasianerRahab Ganendra. Dengan foto yang mempertontonkan botol-botol Bir Pletok yang berjajar dan irisan Kerak Telor, Kompasianer asal Wonogiri, Jawa Tengah ini berujar layaknya Bondan Winarno. “Sarapan ala Betawi maknyusss. Bir Pletok dan Kerak Telor,” tulisnya.
Reportase Agung Han dan celoteh status Rahab Ganendra di akun Facebook miliknya pun saya nikmati tuntas. Memang maknyus! Tulisan ini sekadar bermaksud melengkapi reportase ‘Maknyus Bareng’ Pak Bondan. Terutama, mengenai bahan rempah-rempah yang biasa digunakan untuk membuat Bir Pletok.
Menurut seorang usahawan kuliner khas Betawi, Bang Didin, masyarakat Indonesia, khususnya warga Betawi, patut bersyukur bahwa Bir Pletok dapat dipertahankan dan dikembangkan produksinya hingga kini. “Bir Pletok ini minuman tradisional Betawi. Dinamakan “bir”, ya supaya terdengar unik atau aneh saja. Apalagi memang, karena masyarakat Betawi umumnya beragama muslim, maka diharamkan untuk mengkonsumsi bir sebenarnya yang kebanyakan mengandung alkohol. Sedangkan nama “pletok” dikarenakan pada saat proses pembuatannya, dan dalam kondisi panas, sering terdengar buih-buih air yang ketika “meletus” berbunyi “pletok-pletok”. Maka jadilah dinamakan Bir Pletok,” tutur orang Betawi asli, empunya nama beneran Suharno ini.
Bir Pletok, kata Bang Didin, terbuat dari racikan berbagai ramuan rempah-rempah tradisional seperti misalnya Kayu Secang, Kapulaga, Jahe, Cengkeh, daun Pandan, Kayu Manis dan Sereh. “Dulu, Bir Pletok ini disuguhkan dalam kondisi panas. Hanya saja, trend akhir-akhir ini, Bir Pletok malah disajikan dalam kondisi dingin atau menggunakan batu es,” jelas pemilik rumah makan dengan sajian kuliner khas Betawi di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan ini.
Kenapa disuguhkan dalam kondisi panas? “Karena dulu, kondisi Betawi pada umumnya masih belum ada aliran listrik, gelap gulita, dan kalau musim penghujan, lingkungan sekitar menjadi becek, ditambah lagi hawa dingin yang menusuk. Nah, dengan kondisi seperti itu, masyarakat Betawi coba membuat minuman tradisional berbahan rempah-rempah, yang bahan-bahannya mudah diperoleh. Tujuannya, agar supaya badan menjadi hangat sekaligus memiliki khasiat menyehatkan,” terangnya.
Bang Didin menambahkan, kalau ada pertanyaan, apakah rasa Bir Pletok yang ada saat ini sesuai dengan cita rasa “tempo doeloe”? “Menurut saya, hampir mirip-mirip. Tapi biasanya, pada setiap tempat, rasa Bir Pletok-nya memiliki sedikit perbedaan sendiri-sendiri. Misalnya, ada yang mungkin terlalu banyak jahe, sereh, kapulaga, cengkeh, dan lainnya. Bahkan, ada juga yang Bir Pletok-nya berwarna agak lebih kemerahan lantaran terlalu banyak Kayu Secang-nya. Kayu Secang ini, berasal dari pepohonan berduri yang ada di hutan, bentuknya mirip-mirip Pohon Trembesi. Kalau kulit Kayu Secangnya direndam dalam air, maka air tersebut akan berubah warna menjadi merah kecoklatan,” ujar pengusaha kuliner Betawi yang juga pelestari Pencak Silat Beksi ini.
Syukur Alhamdulillah, tukas Bang Didin lagi, rempah-rempah tradisional untuk membuat Bir Pletok mudah dibeli di pasar-pasar. “Termasuk kulit Kayu Secang-nya,” kata pemilik wajah dan potongan rambut mirip anggota pelawak Bagito Grup, Didin Pinasti ini.
Satu lagi yang patut dicatat, kalau Agung Han dalam tulisannya menulis judul besar-besar Kuliner Betawi Terpinggirkan, rasa-rasanya hati ini “mendadak miris” (sambil berkata: Sakitnya ‘tuh di sini. Sembari memegang dada kiri). Kenapa? Karena sebenarnya, Oktober kemarin, Direktorat Internalisasi dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, telah resmi menyatakan sejumlah kuliner khas Betawi “naik pangkat” menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia 2014 asal Betawi. Kuliner tersebut adalah Sayur Besan, Nasi Uduk, Kerak Telor, Gabus Pucung, Roti Buaya, dan Bir Pletok. Selain ada juga, kebudayaan Ritual Babarit, dan Seni Tradisi Blenggo. Khusus mengenai kuliner Gabus Pucung, silakan baca tulisan penulis yang menjadi headline, 'Gabus Pucung' Tembus Warisan Kuliner Indonesia. Begitu juga dengan tulisan headline lainnya yang mengulas tentang Sayur Besan dengan judul Tanpa Trubuk, Bukan Sayur Besan Namanya.
Gecok Jantung Pisang
Sebenarnya, masih banyak lagi kuliner khas Betawi yang layak dikategorikan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, misalnya, Pecak Ikan Mas, Tumis Bunga Durian (Duren), dan Gecok Jantung Pisang.
Khusus mengenai Gecok Jantung Pisang, penulis sempat berkunjung ke Rumah Makan khas Betawi, masih berada di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan. Salah satu menu andalan yang ditawarkan rumah makan milik Haji Kasta, warga keturunan asli Betawi ini, adalah Gecok Jantung Pisang. Wowwww … nama menu yang nyentrik, dan ternyata sepadan dengan cita rasanya yang selangit.
“Jantung pisang yang dipergunakan tidak boleh sembarangan. Hanya boleh jantung Pisang Batu, maupun jantung Pisang Kepok. Meskipun, yang terbaik adalah jantung Pisang Batu. Kenapa? Karena secara fisik, warna jantung pisangnya lebih putih dibandingkan dengan jantung pisang-jantung pisang lainnya. Kalau menggunakan jantung Pisang Kepok misalnya, maka pada saat direbus akan berubah warna menjadi kehitaman. Ini tidak terjadi kalau kita menggunakan jantung Pisang Batu,” jelas Haji Kasta.
Untuk melengkapi penjelasan detil bagaimana meracik Gecok Jantung Pisang,Haji Kasta pun bergegas memanggil istrinya.Sembari menuju ke dalam rumah makannya, terdengar ia memerintahkan seorang koki di dapur, untuk membuatkan seporsi Gecok Jantung Pisang khusus untuk penulis. Kami pun bertiga ngariung di meja makan yang panjang. Istri Haji Kasta langsung memaparkan teknik membuat Gecok Jantung Pisang.
“Jantung Pisang ini awalnya dikupas lapisan kulit luarnya. Lalu diambil bahagian jantung pisang muda yang terdalam. Bumbunya, cabe merah, bawang merah, kencur, terasi, garam, dan santan kelapa. Sebaiknya, menggunakan santan kelapa peras yang segar. Seluruh bumbu-bumbu tadi kemudian diulek jadi satu, dan ditaruh di atas jantung pisang yang sebelumnya sudah direbus selama hampir 20 menit, kemudian tinggal disiram santan kelapa,” urai Ibu Kasta.
Gecok Jantung Pisang sangat empuk, maklum hasil perebusan dengan sedikit diberikan air jeruk nipis dan garam. Teksturnya seperti mengunyah daging ikan tongkol yang lunak. Rasa dari bumbu-bumbu yang diulek tadi sangat nikmat, ada hingar-bingar pedas yang bercampur baur dengan rasa kencur. Sedangkan santan kelapa segar berhasil menghadirkan rasa gurih yang menambah nafsu makan.
“Masalahnya, jantung Pisang Batu maupun Kepok semakin sulit diperoleh. Kalaupun ada, harganya sudah mencapai Rp.10.000 per jantung pisang. Andaikan ingin membeli jantung pisang di pasar-pasar, kita kurang yakin dengan jenis jantung pisang yang dijual. Belum tentu itu jantung Pisang Batu, atau Kepok,” ujar Haji Kasta menambahkan.
Gecok Jantung Pisang ini, menurut Haji Kasta, sudah turun-temurun diwariskan dari kedua orangtuanya. “Dan untuk melestarikan menu gecok ini, kami pun melakukan inovasi dengan menawarkan menu Gecok Ikan Gurame, Gecok Ikan Mas, dan Gecok Ayam. Bumbunya tetap menggunakan rempah-rempah yang biasa digunakan untuk membuat gecok, tetapi jantung pisangnya diganti dengan alternatif ikan dan ayam,” tuturnya sembari menyebut harga per porsi Gecok Jantung Pisang dijualnya seharga Rp 20.000 (sebelum kenaikan harga BBM).
Nah, menu kuliner khas Betawi, Gecok Jantung Pisang ini, sayangnya kurang saya temui dari oleh-oleh reportase Agung Han, dan jepretan kamera Rahab Ganendra dari acara KCC Betawi Maknyus Bersama Pak Bondani itu. Semoga kuliner Betawi terus terpelihara kelestariannya, tidak punah, dan dapat dikembangkan. Sehingga apa yang ditulis dan dikhawatirkan Agung Han bahwa Kuliner Betawi Terpinggirkan,insya Allah tidak akan separah itu praktiknya.
o O o