Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Pilihan

Rahasia Menulis ala ‘Bidan' Penulis

29 Januari 2015   04:17 Diperbarui: 16 Mei 2016   07:13 77 0

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Itulah kalimat yang ditulis Novelis yang juga Esais, Pramoedya Ananta Toer (1925 – 2006) dalam novelnya, Rumah Kaca. Tak sulit untuk mencerna apa yang dimaksudkan oleh Pram. Seseorang atau suatu kaum boleh saja mati dan tergantikan zaman, tapi apa-apa saja yang ditulisnya akan tetap abadi. Hampir senada, sastrawan Helvy Tiana Rosa pernah menyatakan, “Tulisan kita tak akan mati, bahkan bila kita mati”.

Kekuatan dahsyat dari menulis ini juga yang coba disadarkan Much. Khoiri dalam lembar-lembar awal bukunya yang berjudul Rahasia TOP Menulis. Penulis dan dosen Sastra Inggris, Creative Writing, dan Kajian Budaya di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini menggantungkan asa tinggi-tinggi, agar nantinya setelah para pembaca tuntas meresapi kandungan buku---yang diterbitkan PT Elex Media Komputindo (2014)---ini, maka kobaran api semangat menulis kian menjilat-jilat. Kobaran api itu menyala-nyala dalam bentuk karya-karya tulis yang bermutu, entah itu tulisan ilmiah, atawa tulisan kreatif.

Ketika peresensi tengah menuntaskan resensi buku setebal xiv + 202 halaman ini, Khoiri justru makin sibuk beranjangsana guna mempromosikan bukunya. Salah satunya, dengan menjadi narasumber talkshow di Radio Suara Akbar Surabaya (SAS) FM, Jawa Timur. Inilah jua yang membedakan antara penulis buku-buku praktis ber“modus” Belajar Menulis, yang berlatar-belakang writer murni dan tumbuh besar di ranah media massa, dengan Khoiri yang merupakan writer dengan embel-embel seorang lecturer, dosen. Bila penulis yang malang-melintang di media-media, “modus” Belajar Menulis yang disampaikan dalam bukunya, kira-kira hanya bersifat (bimbingan) teknis sekaligus menyodorkan beberapa contoh karya tulis yang pernah dimuat penulisnya. Beda dengan Khoiri, melalui buku Rahasia TOP Menulis yang merupakan kumpulan sebanyak 42 tulisan pendeknya ini, bukan semata mengedepankan tentang apa dan bagaimana menulis. Lebih dari itu, penulis buku yang juga blogger sejati dengan produktif menulis di blog sosial Kompasiana ini menyuguhkan tiga bab dalam bukunya dengan pengayaan berbagai pengalaman dan ilmu pengetahuan.

Untuk menemukan pengayaan yang dimaksud dalam buku ini mudah saja. Cukuplah pembaca melakukan teknik membaca skipping, meloncat-loncat, dan cermati kutipan kalimat yang didesain dengan tipe font lebih besar, serta warna font yang lebih muda, alias abu-abu (grey). Contoh, pengayaan yang dibuat Khoiri dengan mengutip secara khusus kalimat: “Alasan mengapa orang menulis bukannya fakta bahwa dia ingin mengatakan sesuatu. Dia menulis karena memiliki sesuatu untuk dikatakan”. (hal. 5) Juga, kutipan kalimat tanya berikut jawabannya. “Mengapa menulis itu membangun kebudayaan? Menulis memiliki kekuatan keabadian yang jauh lebih kokoh daripada pikiran, ucapan, dan tindakan”. (hal. 8) Inilah bentuk pengayaan yang dilakukan Khoiri dalam bukunya, dan peresensi menilai, itu sangat positif dan berhasil menggiring pembaca untuk fokus mendalami makna atas kutipan kalimat tersebut. Dan, bukan Khoiri namanya, kalau tidak cerdas memilih kalimat mana yang patut dibesarkan ukuran font sekaligus diberi warna font yang lebih muda.

Upaya Khoiri melakukan pengayaan dalam bukunya ini, sekaligus membuatnya berhasil memenuhi janjinya dalam mukadimah Selamat Datang di Buku Ini. Diantaranya, Khoiri secara jujur menulis: Isi buku ini barangkali bukan sama sekali baru bagi Anda. Akan tetapi, ada keunikan-keunikan tertentu yang telah saya coba sisipkan ke dalamnya agar lebih ia menggelitik dan mencerahkan. (hal. xiv) Alhasil, tak hanya menggelitik dan mencerahkan, buku ini juga berhasil memantik niat menebalkan motivasi. Tentu, niat dan motivasi menulis serta melahirkan karya-karya tulis yang cerdas plus bernas.

Secara sederhana, Khoiri membagi bukunya dalam tiga bab, pertama: Tegaskan Alasan Menulis. Kedua, Ayo Tulis yang Kita Tahu. Dan ketiga, Rahasia TOP Menulis. Apa harus membaca secara berurutan, tulisan demi tulisan yang berjumlah total 42 itu? Peresensi menyarankan ya, bacalah secara berurutan. Kenapa? Karena, pada setiap lembar dan tulisan yang terkumpul itu, Khoiri sekaligus membangun perkenalan atas sosok dirinya, sekaligus berbagi pengalaman akan karir dan pekerjaan yang (pernah) digelutinya. Ambil contoh, cerita tentang keikutsertaan Khoiri dalam International Writing Program (IWP) di University of Iowa, pada 1993 silam. Juga, hadirnya Khoiri dalam tradisi bedah buku di Perpustakaan Balai Pemuda Surabaya, yang membuat adrenalinnya untuk meretas jejaring laskar literasi makin terlecut. Nah, andai pembaca melewatkan true story ini, rasanya sosok Khoiri yang “memotivasi dengan cara membimbing tanpa menggurui” ini tak akan sempurna terimajinasi.

Salah satu rahasia Khoiri tampil tanpa menggurui dalam bukunya ini adalah, karena pria kelahiran Madiun, 24 Maret 1965 ini menulis dengan hati yang penuh respek, tidak saja kepada (calon) penulis pemula, tapi juga mereka yang sudah kenyang asam-garam dunia tulis-menulis. Praktiknya, Khoiri menulis dengan gaya bahasa tutur yang santun. Bukan bahasa text book yang kaku, formal, dan justru berpotensi membuat jurang pemisah antara pembaca, dengan dirinya yang berprofesi sebagai dosen sekaligus penulis. Ini pula yang menjadi salah satu kekuatan lain dari buku Rahasia TOP Menulis, bahasa tutur yang jauh dari kesan menggurui.

Tak heran, Manajer Kompasiana, Pepih Nugraha dalam Sambutan pada buku ini menyatakan, “Tidak sekadar bagaimana melahirkan ide yang merupakan kekayaan terbesar dari keterampilan menulis, penulis buku ini bahkan membimbing bagaimana (calon) penulis memulai langkah-langkah menulis. Bukan sekadar menulis opini atau artikel, bahkan lebih jauh puisi pun diajarkan. Tidak sekadar menulis fakta, bahkan lebih jauh menangkap alam fiksi pun dipaparkan. Hanya diperlukan kemauan membaca buku ini sampai tuntas agar lebih memahamialifbata-nya menulis. Dan yang lebih penting lagi, mempraktikkan “credo” atau “dogma” subjektif apa yang dianjurkan penulis buku yang berpotensi sebagai pegangan para penulis ini dalam kehidupan sehari-hari”. (hal. viii)

Sedangkan Lies Amin Lestari dalam Kata Pengantar bertajuk Menebar Virus Menulis menuturkan, “Sering terdengar seseorang berkata, “Sebenarnya saya ingin menuliskan pengalaman saya. Ada banyak ide yang berseliweran di benak saya. Tetapi saya tidak tahu bagaimana memulainya.” Untuk mereka yangmengalami masalah seperti ini, Bab 2 buku ini membeberkan tip-tip untuk mengatasinya. Bahkan, dalam artikel“Menulis Pengalaman, Si Kecil Pun Bisa”dipaparkan bagaimana si Budi dapat menghasilkan sebuah tulisan singkat tentang dirinya melalui bantuan beberapa pertanyaan terstruktur(dalam pembelajaran Menulis disebut dengan istilahleading questions) yang diajukan mentornya.” (Sayangnya, Khoiri sepertinya lupa menuliskan identitas lengkap, siapa sesungguhnya Lies Amin Lestari ini?)

Artikel yang memaparkan teknik Leading Questions tersaji pada tulisan ke-11, halaman 53 berjudul Menulis Dari Nol. Jujur saja, membaca tulisan Khoiri yang memandu anak bernama Budi (nama samaran) untuk menulis tanpa merasa terbebani dengan kesulitannya dalam menulis, membuat peresensi mengacungkan dua jempol! Dalam artikel ini, Khoiri layak dianggap menembus batas predikat yang hanya sekadar “penulis”, untuk merengkuh mahkota sebagai “bidan"-nya penulis.

Aneka Kiat Menulis

Pada bab yang mengusung tema besar Rahasia TOP Menulis, Khoiri memukau pembaca lantaran banyak sekali tip dan kiat yang penting untuk dibaca, dipahami, bahkan dijadikan sebagai panduan menulis. Sebut saja misalnya, enam syarat menjadi penulis (hal. 91). Pertama, Teknik Menulis, yaitu bagaimana menuangkan ide seseorang ke dalam sebuah tulisan, sehingga tulisan itu komunikatif dan mengesankan kualitas pemikirannya. Di sini tertlihat penguasaan seseorang tentang pengolahan ide, pengorganisasian ide, dan penggunaan bahasa. Kedua, Strategi Menerbitkan Tulisan. Menurut Khoiri, kata kunci dalam penerbitan tulisan adalah branding. Penulis harus mem-branding dirinya terlebih dahulu agar dikenal oleh pembaca sebelum mengambil langkah besar semisal menerbitkan tulisan dengan self-publishing, apalagi lewat penerbitan mayor. Media efektif untuk mem-branding diri adalah media cetak dan media online (blog, website). Ketiga, Reading Habit, karena penulis yang baik, yang berarti memiliki kebiasaan membaca yang baik pula. Keempat, Note Taking Habit, berkebiasaan membuat catatan-catatan. Selain itu, mencatat hal-hal penting dari yang dibaca, juga menuliskan poin-poin penting tentang apa yang didengar, dilihat, disentuh, dirasakan, dan dipikirkan. Kelima, Practice. Penulis sejati selalu berlatih dan berinovasi dalam ide dan teknik menulisnya. Keenam, Perseverance. Kebiasaan membaca, mencatat, dan latihan tanpa lelah ternyata belum cukup. Semua ini perlu dilengkapi lagi dengan ketekunan, keteguhan hati.

Berbekal pengalaman di dunia kepenulisan yang sudah melintas babakan waktu, Khoiri semakin menampakkan ‘kelas’-nya sebagai “bidan penulis’ dengan menganalogikan falsafah olahraga Sumo dalam berlatih menulis. Ada sepuluh karakter Sumo yang dapat diterapkan oleh para penulis, mulai dari konsentrasi, keseriusan, latihan, dinamika, usaha keras, ketahanan, kesabaran, kesopanan (courtesy), ketulusan, dan budaya. Ulasan mengenai hal ini secara apik ditulis Khoiri dalam tulisan ke-28 dengan judul Menulis dengan Spirit Sumo. (hal. 135)

Diantara kiat yang rasanya banyak ditunggu-tunggu para pembaca buku ini adalah, bagaimana Khoiri mengulas tentang upaya mengatasi kemacetan menulis (writer’s block). Dalam tulisan ke-32 pada halaman 151 yang diberi judul Jurus Mengatasi Kemacetan Menulis, Khoiri membeberkan jurus-jurus rahasia yang ampuh dengan menukil pendapat Ginny Wiedhardt dalam karyanya, 10 Tips for Overcoming the Writer’s Block. Apa sajakah itu? Satu, terapkan jadwal menulis. Dua, jangan terlalu kejam pada diri. Tiga, anggap menulis sebagai pekerjaan rutin. Empat, Istirahatlah setelah mengerjakan proyek. Lima, tentukan deadline dan jalankan. Enam, periksa apayang terjadi di balik kemandekan menulis. Tujuh, melakukan beberapa proyek sekaligus. Delapan, cobalah latihan menulis. Sembilan, pertimbangkan ruang menulis. Sepuluh, coba ingatlah mengapa kita mulai menulis.

Akhirnya, buku yang juga memuat kutipan KompasianerThamrin Sonata di sampul belakang ini terbukti, memberikan konsep dan bimbingan menulis yang lain dari biasanya. Khoiri dengan “gaya”-nya sangat ngemongbagi (calon) penulis pemula, tetapi juga memberi acuan dan target semakin tinggi bagi penulis yang boleh jadi sudah kawakan. Lebih dari itu, Khoiri dalam bukunya tak berhenti pada “ke-bisa-an” menulis saja, tapi juga “ke-bisa-an” si penulis untuk menerbitkan karya-karyanya, termasuk dalam bentuk buku.

Tidak banyak ditemukan kelemahan dalam buku ini, hanya saja mungkin, saran dan masukan agar tata letak lebih diharmoniskan dengan batas atas maupun bawah halaman kertas. Karena, melihat batas bawah kertas halaman, rasa-rasanya ‘kok buku ini terkesan menjadi kelewat memaksakan jumlah baris dalam satu halaman, sehingga terkesan “sesak”. Selain itu, lay out yang standar dan kaku, membuat buku ini cenderung terkesan sebagai “buku yang berasal dari terbitan pihak kampus”, padahal materi isi dan suguhannya sangat populer, sehingga seharusnya bisa di-tata-letak-kan, di-desain grafis-kan secara lebih young and trendy.

Last but not least, buku ini patut dibaca oleh para calon penulis, penulis pemula, hingga yang sudah kawakan sekalipun. Bagi penulis newbie, buku ini dapat menjadi pemantik motivasi menulis, sedangkan bagi penulis kawakan, buku ini tak bisa dipandang remeh, karena mampu menjadi pengingat akan makna sejati menulis dan profesi penulis itu sendiri.

Selamat membaca

* * * * * *

Info Buku

Judul buku: Rahasia TOP Menulis

Penulis: Much. Khoiri

Tebal: xiv + 202 halaman

Sambutan: Manajer Kompasiana, Pepih Nugraha

Kata Pengantar: Lies Amin Lestari

Penerbit: PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia

Cetakan/Tahun: I, 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun