“Setahu kami, izin atas pengerjaan proyek tersebut dari Pemkot Tangsel belum ada yang dikeluarkan. Entah itu berupa izin pengerukan tanah maupun pengurukan lahan. Jadi kalau pihak pengembang masih atau kembali melakukan aktivitas pengerukan dan pengurukan lahan, setelah sempat terhenti, maka jelas itu adalah sebuah pekerjaan tanpa izin, atau ilegal,” ujar Dodi Harianto SE selaku Ketua OKP Ganespa kepada penulis, Senin (23/2) kemarin.
OKP Ganespa atau Organisasi Kepemudaan Gugus Alam Nalar Ekosistem Pemuda Pemudi Tangerang Selatan, tak lain merupakan wadah berhimpun anak-anak muda pecinta alam yang aktif melakukan pemeliharaan dan pelestarian Situ Tujuh Muara atau Situ Ciledug di Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel.
Apa yang disampaikan Dodi mengenai aktivitas pengembang yang kembali melakukan pengerjaan proyek pengurukan lahan Situ Tujuh Muara di Jalan Ismaya, Perumahan Villa Pamulang, Tangsel, memang bukan isapan jempol belaka. Pengembang yang dimaksud yakni PT Respati Bangun Jaya, diketahui kembali melakukan proyek pengerukan dan pengurukan sebagian lahan perairan yang berada persis di ujung sebelah Barat Situ Tujuh Muara, atau berbatasan dengan kawasan Reni Jaya (Sawangan, Depok). Pengurukan lahan yang berada persis di ujung Situ Tujuh Muara ini memang dimaksudkan untuk membangun propertyberupa cluster perumahan.
Pengerjaan pengerukan sekaligus pengurukan lahan di Situ Tujuh Muara ini kembali dilaksanakan, dan mendapat protes keras dari warga sekitar termasuk para aktivis OKP Ganespa, karena dikhawatirkan merusak lingkungan alam, menghilangkan daerah resapan air, dan berpotensi menciptakan bencana alam berupa banjir. Pada November 2014 kemarin, pengerjaan proyek pengerukan dan pengurukan lahan sempat berhenti, setelah mendapat tekanan dari berbagai pihak, termasuk Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany. Termasuk, ketegasan sikap dari pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane Dirjen Sumber Daya Air pada Kementerian Pekerjaan Umum.
Saking kesalnya, Walikota Tangsel bahkan menyatakan ancamannya untuk memidanakan pihak pengembang yang dinilai telah melanggar aturan. “Aktivitas itu harus di-stop. Tidak boleh ada galian. Pengembang sudah benar-benar melanggar aturan. Masuknya ranah pidana!” tegas Airin.
Sayang, ancaman Walikota Tangsel itu seperti ‘petasan gabuk’ (tidak meledak) alias tak terbukti. Pihak pengembang, justru kembali melakukan aksi nekat, mengeruk dan menguruk sebagian lahan Situ Tujuh Muara. Kejadiannya, bermula pada Rabu (18/2), sejumlah warga mendatangi Kantor Pemkot Tangsel untuk mengadukan tentang kegiatan pengurukan lahan situ.
Kemudian, pada Jumat (20/2) malam, alat berat yang didatangkan pengembang ke lokasi pengurukan, ternyata mulai bekerja dan melakukan pengurukan sekaligus meratakan permukaan tanah. Esok harinya, Sabtu (21/2), warga melakukan aksi unjuk rasa menentang proyek pengurukan lahan situ, dengan membawa spanduk dan tulisan bernada protes, yang intinya menolak pengerjaan pengurukan lahan Situ Tujuh Muara, sekaligus memperjuangkan kelestarian lahannya sebagai daerah resapan air. “Ada juga sejumlah warga dari Reni Jaya yang turun melakukan aksi unjuk rasa, sehingga oleh karena itu, alat berat kemudian ditarik kembali oleh pihak pengembang,’ tutur Dodi coba menceritakan kronologis peristiwa aksi unjuk rasa dan penentangan warga terkait pengurukan lahan situ.
Dodi menambahkan, OKP Ganespa juga telah kembali mengirimkan surat kepada instansi berwenang yang terkait. “Hari ini, Senin (23/2), kami sudah melayangkan surat lagi kepada pihak Dinas Bina Marga, Dinas Lingkungan Hidup, dan Pemkot Tangsel. Isinya, mendesak agar proyek pengurukan lahan Situ Tujuh Muara dihentikan, dan areal lahan yang sudah terlanjur diuruk dapat segera kembali dipulihkan kembali kepada kondisi normal seperti sebelum dilakukan pengerukan dan pengurukan,” urainya.
Apalagi, kata Dodi, kini pengurukan pada lahan Situ Tujuh Muara sudah mencapai ujung batas luar yang memiliki akses keluar dan masuk dari Jalan Ismaya. Kalau pada tiga bulan lalu, pengurukan dihentikan dan menyisakan gundukan-gundukan tanah merah yang membukit, kini seluruh lahan sudah rata dan rapi. Bahkan, pada sisi sebelah selatan, bekas lahan galian atau pengerukan yang membentuk tebing, oleh pihak pengembang sudah dibangun tembok batu kali dengan tujuh undakan. Pembangunan turap menggunakan batu-batu kali berukuran besar ini, jelas bertujuan mencegah tanah tidak longsor. Maklum, pada sisi sebelah atas, terdapat bangunan pabrik, dan rumah-rumah warga. “Dari ujung yang satu ke ujung lainnya, lahan yang dikerjakan oleh pengembang dengan mengeruk, menggali, dan menguruk, sudah menghasilkan timbunan tanah merah yang rata,” ujar Dodi.
Di lokasi pengurukan, penulis menyaksikan, sisa lahan perairan yang pada November 2014 lalu masih ada (dan belum sempat diuruk), berikut lokasi pembuangan sampah yang berada sejajar dengan pagar tembok beton, kini sudah nyaris rata seluruhnya dengan tanah merah. Sisa-sisa aksi unjuk rasa menentang pengurukan lahan Situ Tujuh Muara masih nampak, dengan tertancapnya papan berukuran sedang bertuliskan: ‘Tolak! Pengurugan’. Sementara satu papan lainnya yang bertuliskan: ‘Selamatkan Situ Untuk Resapan’, justru sudah mengambang di permukaan air bercampur dengan sampah rumah tangga beraneka ragam.
Pada Senin (23/2) sore kemarin, tidak nampak lagi alat berat yang telah menunaikan tugasnya melakukan pengurukan dan meratakan lahan Situ Tujuh Muara yang oleh pengembang bakal dijadikan lahan bangunan property. Di areal lahan terbuka seluas kira-kira 1 hektar tersebut, genangan air segera tampak menyusul hujan yang mengguyur cukup lebat. Maklum, tak ada lagi pepohonan dan lahan perairan. Akibatnya, air hujan menggerus lapisan atas tanah merah. Aliran air yang deras menuju ke empang-empang yang ada di bibir lokasi pengurukan. Air empang yang tadinya berwarna hijau kebiruan, langsung saja berubah menjadi merah kecoklatan. Pemandangan sehabis hujan menunjukkan betapa luar biasa dampak pengurukan ini terhadap air di empang, yang tentu saja berimbas pada biota hewan terutama ikan yang berada di empang. Padahal, setidaknya ada tiga orang yang sore itu tengah asyik memancing. Para pemancing ini pun menjadi saksi perubahan warna air empang, dari hijau kebiruan menjadi merah kecoklatan.
“Menyaksikan proses pengurukan kembali lahan Situ Tujuh Muara seperti ini, kami teramat sangat menunggu realisasi tindakan tegas dari pihak Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, dan juga dari Pemkot Tangsel, yang sebelumnya menyatakan akan melakukan tindakan hukum berupa pemidanaan, terkait proyek pengerukan, penggalian, dan pengurukan lahan situ oleh pengambang ini,” tegas Dodi.
Memang, di lapangan sendiri masih terdapat silang pendapat, terutama mengenai status lahan milik pengembang yang telah diuruk. Konon, pihak pengembang telah mengantongi Sertifikat Hak Milik atas tanah, dan menganggap bahwa lahan tersebut tidak termasuk lahan Situ Tujuh Muara. Tetapi, pendapat lain menyatakan, lahan yang diuruk masih merupakan lahan perairan dan termasuk dalam lahan Situ Tujuh Muara. Instansi yang berwenang semisal BBWSCC tentu termasuk yang memiliki kewenangan untuk menentukan beda pendapat seperti ini.
“Terlepas dari apakah pihak pengembang mengantongi Sertifikat Hak Milik atas tanah atau tidak, dan apakah lahan yang dikuasai itu termasuk lahan Situ Tujuh Muara atau tidak, kami bisa saja masih berpijak pada aturan hukum lain yang berlaku. Misalnya, dilarang mendirikan bangunan pada garis sempadan situ atau danau, dengan jarak 50 sampai 100 meter. Nah kenyataannya, pihak pengembang merencanakan pembangunan propertyseperti persis tepat di bibir garis sempadan itu,” tutur Dodi.
Payung hukum yang dikutip Dodi tak lain adalah Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengawasan Kawasan Lindung, khususnya Pasal 17 dan 18. Pasal 17 menyebutkan: Perlindungan terhadap kawasan di sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau/waduk.
Sementara, Pasal 18 menyatakan: Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50 – 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Ancaman Pidana dan Janji Airin
Dalam surat teguran yang dikeluarkan pada Desember 2014, dan ditujukan kepada Direktur PT Respati Bangun Jaya, pihak BBWSCC menyebutkan bahwa, sudah melakukan observasi ke Situ Ciledug, dan menyimpulkan aksi pengurukan/penimbunan Situ Ciledug dilakukan tanpa izin. Sekaligus, melanggar UU No.7 tahun 2004 tentang SDA juctoPeraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2011 tentang Sungai. Surat BBWSCC dengan kop atau kepala surat Direktorat Jenderal SDA ini bernomor UM.01.02/BBWS.CC/XII/244 ini ditembuskan kepada sejumlah pihak, di antaranya Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, Kementerian PU, dan Dirjen SDA.
Dalam surat teguran tersebut, Kepala BBWSCC, Iskandar menyatakan, “Perbuatan saudara dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang berbunyi, setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air juncto Pasal 94 ayat (1)”.
Terhadap pelanggaran Pasal 52 tersebut, setiap orang atau badan usaha dapat dikenakan sanksi pidana. Ketentuan Pidana ini tercantum dalam Pasal 94 ayat (1), yang berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah),kepada(a). Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau (b). Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
Berdasarkan payung hukum yang jelas dan tegas ini, BBWSCC telah mendesak PT Respati Bangun Jaya agar segera menghentikan kegiatan ilegal, tanpa izin, dan melanggar aturan terkait penggalian, pengurukan/penimbunan sebagian lahan Situ Ciledug. Selain itu, kepada pihak pengembang diminta untuk memulihkan kembali fungsi situ, lingkungan hidup serta sarana dan prasarana kawasan situ yang sudah terlanjur diuruk/ditimbun.
Tapi ya begitulah, aturan hukum tinggal aturan hukum. Ancaman sanksi juga tinggal ancaman sanksi. Karena nyatanya di lokasi yang tengah menjadi sorotan, aktivitas pengurukan lahan semakin berlanjut, tanpa mengindahkan aturan hukum, apalagi ancaman sanksi belaka. Pertanyaannya kemudian, apakah hukum akan sanggup ditegakkan? “Pokoknya, kita pantau terus!” semangat Dodi.
Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany sendiri, dalam Safari Pembangunan yang dilangsungkan pada 29 Desember 2014 di Pamulang telah merencanakan untuk melakukan pendataan demi penataan wilayah sekitar Situ Tujuh Muara.
“Ibu Hj Retno Prawati selaku Kepala DBMSDA Kota Tangsel sudah melakukan pendataan mengenai PKL dan bangunan-bangunan liar yang tinggal atau ada di bantaran Situ Tujuh Muara. Saya juga sudah meminta kepada Camat Pamulang untuk melakukan pendataan, karena kami tidak ingin, manakala nanti insya Allah tahun 2015 kita melakukan penertiban, akhirnya tiba-tiba ada yang mengaku sebagai warga yang merasa protes dan keberatan. Teman-teman GANESPA, dan juga Paguyuban Situ Tujuh Muara sudah siap membantu kami selaku Pemerintah Kota, apalagi kalau didukung seluruh warga, rasanya kami akan menjadi ringan manakala menghadapi “oknum-oknum” yang mem-back uptentang PKL-PKL yang ada di sekitaran Situ Tujuh Muara ini,” tutur Airin di hadapan warga yang memadati salah satu aula milik Universitas Pamulang.
Tak ada alasan bagi Walikota Airin untuk ingkari janji, sekaligus memberlakukan ancaman sanksi, bagi pengembang nekat yang seolah membandel. Langkah ini, demi kelestarian alam dan lingkungan di sekitar Situ Tujuh Muara. Sebelum semuanya terlambat (lagi)!
Sementara itu, dalam wawancara per telepon (Selasa, 24/2) dengan penulis, anggota Komisi IV DPRD Provinsi Banten, Ir Zaid Elhabib menandaskan, proyek yang menggali dan menguruk area Situ Tujuh Muara oleh pengembang adalah jelas-jelas ilegal. "Apa yang dilakukan itu sangat merusak lingkungan alam, berdampak buruk bagi penduduk sekitar, sekaligus membahayakan Kota Tangsel. Betapa tidak? Kalau instansi Bina Marga saat ini tengah giat membangun tandon-tandon air, kenyataannya area Situ Tujuh Muara yang menjadi tandon air malah justru diuruk," tutur Zaid.
Terkait proyek penggalian dan pengurukan area Situ Tujuh Muara ini, Zaid mempertanyakan ada apa dan siapa backing atau 'orang kuat' dibalik pihak pengembang. "Mengapa sudah ada peringatan dan pihak Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, dan juga dari Pemkot Tangsel, tapi pengembang masih juga nekat melakukan pengurukan? Kok masih berani juga? Mustinya Pemkot Tangsel bertindak tegas," ujarnya.
Zaid berharap ada tindakan nyata di lapangan oleh Pemkot Tangsel, misalnya dengan menyegel, mematok area lahan yang kini tengah dipersoalkan. "Tindakan Pemkot Tangsel itu sudah melakukan apa dengan kondisi yang memprihatinkan ini? Jangan sekadar mengancam dan memberi peringatan, atau akan memidanakan. Mustinya dipatok, disegel, dan tidak diperbolehkan lagi melanjutkan proyek, sehingga tidak bisa membangun seperti rencana semula," tegasnya.
Nah, 'gimana Bu Walikota Airin?
* * *