Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Namaku Istri

1 Desember 2010   03:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:08 428 0
Langit tahun ini sepertinya menyimpan beribu liter air yang sedikit demi sedikit dituangnya ke mangkuk yang berisi segenggam tanah dan segelas cairan, seperti nasi yang dipinggirnya terdapat kuah soto.Lihat saja tanah di depan rumah menjadi benda padat yang lembek persis seperti jenang yang berminyak dimana-mana. Sepi sekali malam ini, desa kritis ini nampaknya mati terguyur hujan dengan angin dan smbaran petir.. Jarak rumah yang terpisah antara yang satu dengan yang lainnya nampak mengajarkan manusia tentang betapa sebenarnya sebuah kesendirian itu adalah sebuah kehakikian.

Kesendirian yang mengajarkan kita bagaimana berinteraksi dengan hati, dan kesendirian yang selalu lebih mendekatkan diri dengan sang Illahi, sang pencipta lingkaran hidup dan mati.Sepi sekali rumah ini pada saat seperti ini. Saat anak-anak telah terlelap dalam dunia mereka dan aku sendiri di ruangan ini mencoba berkomunikasi dengan diri sendiri. Sepi sekali rumah ini karena hujan telah membuat desa ini semakin mati dalam kematiannya. Biasanya ada makhluk itu di kursi ini, entah sekedar menonton tv atau berkutat dengan komputer jinjing di pangkuannya. Meski aku tetap saja menjadi istri yang sendiri di rumah ini, tapi hari ini aku benar-benar menjadi istri yang sendiri. Biasanya dia disini melirikku sekali-sekali dan melemparkan senyum lelahnya, tapi tetap saja lebih sering ia memandang benda yang bukan istrinya. Suamiku seakan sering berkata bahwa aku harus mengalah pada kebutuhan.

Kebutuhan makan, sekolah, belanja seakan mengharuskanku untuk membiarkannya bercinta dengan pekerjaannya daripada bercinta dengan hatiku.Sejak awal menikah dan mendapatkan sepasang buku nikah aku sadar benar siapa namaku. Namaku bukan lagi Dewi Karunia Sari. Sejak saat itu kutanggalkan nama itu, menggantinya dengan nama istri. Semuanya bukan mauku, sebuah pernikahan ternyata tak begitu banyak mengandalkan pikiran, karena sedari awal naluri akan datang. Naluri ketika nama itu telah meraga sukma dalam diriku. Tidak ada lagi sepatu tinggi, kemeja, atau blazer dalam hari-hariku. Tidak ada lagi keinginan untuk mencapai sebuah kursi, dan ego yang dulu mendarah dalam nadiku sepertinya dengan ikhlas musnah. Bukan pertama kali ini saja suamiku bepergian dan tidak pulang ke rumah. Beberapa kali ia harus mengadakan perjalanan dinas yang entah dia harapkan atau tidak. Seperti aku bilang sejak namaku berganti nama aku harus mengalah pada kebutuhan. Dan mungkin saja memang tidak hanya istri yang harus mengalah pada kebutuhan, suamikupun begitu adanya. Aku senang menatap raut suamiku yang cerah setiap kali ia akan menjalankan perjalanan dinasnya.

Dari senyumnya aku tahu, dia ikhlas berkorban demi sebuah kebutuhan. Katika aku tahu ia ikhlas mengganti namanya menjadi suami, maka semakin tak terlihat lagi jejak-jejak Dewi Karunia Sari dalam diri ini. Karir, karakter kuat, dan kehidupan gemerlap seakan tak menjejak. Entah kekuatan atau naluri yang telah merubah diriseorang istri. Aku ikhlas bahkanseperti berganti raga dan jiwa baru tanpa banyak asa ketika aku menjelma menjadi seorang istri. Asa adalah tentang sebuah kebahagiaan untuk suami dan keturunan kami.Desa ini mati, tapi dengan makhluk bernama manusia yang tak seberapa aku mendengar semuanya. Senin lalu seorang ibu berperawakan tak berbeda jauh denganku datang ke rumah kami. Ia katakan bahwa suamiku telah menikah lagi, hal itu yang menjadikannya sering tidak pulang rumah. Sang ibu yang satu kantor dengan suamiku engatakannya padaku, menurutnya sudah saatnya aku kembalikan jiwaku pada Dewi Karunia Sari dan melepaskan sukmaku yang bernama istri. Sang ibu yang sebenarnya tidak begitu aku kenal menyarankanku agar kembali pada asaku, karir dan duniaku yang dulu, wanita pekerja yang bagi kaumnya hebat.Aku masih duduk di kursi ini, di kursi yang biasa suamiku gunakan untuk bercinta dengan barang tak berhati , tak bernama istri. Aku tak mencoba menghubunginya yang sudah dua hari ini pergi. Hatiku menangis, jiwa bernama wanita memberi impulse ke otakku untuk mengeluarkan pelumas mataku. Tanpa terasa aku menangis sesenggukan, benar-benar sesenggukan hingga aku tak kuasa mengontrol suara tangisku. Semoga ketiga anak perempuanku tak mendengan ibu mereka lemah seperti ini. Dan Tuhan mungkin mengabulkan doaku, hujan turun lagi dengan derasnya. Menuangkan air lebih banyak lagi ke mangkuk besarNya.Ku ambil gagang telephone di sebelahku, kupencet deretan nomor yang sudah lama mengawang menempati ruang tersendiri di bagian memoriku."Halo mah"Aku masih diam, menarik nafas."Sehat pah? Kapan pulang?"Aku tersenyum walau suamiku tak melihatnya dan entahlah ia merasakannya atau tidak."Alhamdulillah mas. Besok papah pulang. Mau oleh-oleh apa?""Terserah papah. Ya udah jaga kesehatan ya."Ku usap sisa air mata yang masih menggenang di ujung mataku. Hatiku akhirnya menemukan sebuah jalan, sebuah pilihan. Aku tak akan pernah mundur, tak akan pernah kulepaskan nama yang telah meraga sukma dalam jiwaku. Aku tetap bernama istri, hari ini, dan kapanpun itu. Biarlah Dewi tetap hidup dalam asa semua wanita, dan hembusan harap wanita yang mencintai hidupnya sebelum melepas lajangnya...Aku, Istri...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun