Sementara itu, post-truth atau pascakebenaran adalah keadaan di mana fakta-fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada emosi, keyakinan pribadi, atau kepercayaan yang berdasarkan pada narasi yang dibentuk secara selektif. Dalam konteks politik, post-truth sering terjadi ketika politisi atau kelompok tertentu dengan sengaja menyebarluaskan informasi yang tidak benar atau menyesatkan, tetapi dipercaya oleh sebagian besar masyarakat karena informasi tersebut sesuai dengan keyakinan atau pandangan mereka.
Dalam perspektif politik, paltering dan post-truth memiliki dampak yang signifikan terhadap proses demokrasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Kedua fenomena ini dapat merusak integritas politisi dan lembaga politik, serta mengurangi transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan politik.
Paltering sering digunakan oleh politisi untuk mengelabui publik dengan memberikan informasi yang sebagian benar, sehingga menciptakan kesan bahwa mereka jujur dan terbuka, padahal sebenarnya ada informasi penting yang disembunyikan atau diabaikan. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap politisi dan lembaga politik, serta mengurangi partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik.
Sementara itu, post-truth dapat menciptakan polarisasi dan konflik dalam masyarakat. Ketika fakta-fakta tidak lagi menjadi landasan yang kuat untuk membentuk opini publik, masyarakat menjadi lebih rentan terhadap pengaruh emosional, narasi yang dibentuk secara selektif, dan penyebaran informasi yang tidak benar. Hal ini dapat mengarah pada perpecahan masyarakat, ketidakstabilan politik, dan ketidakmampuan untuk mencapai konsensus dalam pengambilan keputusan politik.