Banyak bukti menunjukkan bahwa sejumlah ulama yang disebutkan sebelumnya punya hubungan satu sama lain, meskipun pembahasan rinci tentang hubungan ini di luar cakupan tulisan ini. Yang penting adalah beberapa ulama besar pada masa itu terhubung dengan inti jaringan ulama abad ke-17. Misalnya, al-Fasi dikenal sebagai murid sekaligus teman dekat Ibn Hajar al-Asqalani dan Syihab al-Din al-Ramli, dua muhadis ternama di Mesir. Selain itu, al-Nahrawali, seorang ulama besar abad ke-16 di Haramain, memiliki hubungan luas, termasuk dengan ulama sebelumnya seperti Ibn Hajar, dan juga dengan ulama abad ke-17 seperti Ibrahim al-Kurani. Hampir semua ulama dalam jaringan abad ke-17 memiliki *isnad* hadis dan silsilah tarekat yang melibatkan para ulama tersebut. Hubungan-hubungan ini akan lebih terlihat jelas di pembahasan berikutnya. Penelitian juga menunjukkan bahwa jaringan ulama abad ke-17 punya akar yang sangat beragam secara geografis. Ada dua ulama non-Hijaz yang memberikan pengaruh besar pada perkembangan jaringan ini. Pertama, Sayid Shibghat Allah bin Rah Allah Jamal al-Barwaji, seorang kelahiran India dengan keturunan Persia. Kedua, Ahmad bin 'Ali bin 'Abd al-Quddus al-Syinnawi, seorang ulama asal Mesir. Hubungan kedua tokoh ini adalah contoh bagaimana interaksi keilmuan bisa menciptakan pertukaran pengetahuan dan penyebaran tradisi-tradisi Islam dari India dan Mesir ke Haramain. Shibghat Allah (w. 1015/1606) adalah contoh ulama pengembara yang akhirnya memilih menetap di Haramain. Salah satu gurunya yang terkenal di India adalah Wajih al-Din al-Gujarati (w. 997/1589), seorang syekh tarekat Syathariyah di Ahmadabad. Setelah beberapa tahun mengajar di kampung halamannya, Shibghat Allah menunaikan haji pada tahun 999/1591. Ia sempat kembali ke India, lalu berkelana sebelum akhirnya menetap di Bijapur, pusat sufisme di India, di mana Sultan Ibrahim Adil Syah mendukungnya untuk kembali ke Haramain pada 1005/1596. Setelah haji, Shibghat Allah memutuskan tinggal di Madinah, membangun rumah dan ribath dengan dukungan wakaf dari Sultan Bijapur dan pejabat Utsmani. Sebagai syekh terkenal Syathariyah, Shibghat Allah dianggap berjasa memperkenalkan kitab *Jawahir-i Khamsah* karya Muhammad Ghawts al-Hindi kepada ulama Haramain. Ia juga menginisiasi murid-murid ke berbagai tarekat lain seperti Chishtiyah, Suhrawardiyah, Khalwatiyah, dan Naqsyabandiyah. Selain mengajar di Masjid Nabawi dan ribath-nya, ia menulis beberapa karya tentang tasawuf dan tafsir. Para muridnya berasal dari berbagai wilayah, termasuk Aceh, yang membawa informasi tentang Islam di Nusantara. Dua ulama yang paling banyak menyebarkan ajaran Shibghat Allah di Haramain adalah Ahmad al-Syinnawi dan Ahmad al-Qusyasyi. Ahmad al-Syinnawi (975/1567--1028/1619) berasal dari keluarga ulama terkemuka di Mesir. Ia belajar hadis dari guru-guru ternama seperti Syams al-Din al-Ramli dan Muhammad bin Abi al-Hasan al-Bakri. Ketika tinggal di Madinah, ia berguru pada Shibghat Allah dan diinisiasi ke tarekat Syathariyah. Keahliannya dalam hadis dan tasawuf menarik banyak murid, termasuk Ahmad al-Qusyasyi dan Muhammad al-Ghurabi. Ahmad al-Syinnawi juga punya hubungan keilmuan dengan ulama terdahulu seperti Ibn Hajar al-'Asqalani dan Ibn 'Arabi. Ia menulis beberapa karya, salah satu yang paling terkenal adalah *Tajalliyat al-Bashair*, tafsir atas *Kitab al-Jawahir* karya Muhammad Ghawts al-Hindi.
KEMBALI KE ARTIKEL