Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Yogyakarta

9 November 2015   00:20 Diperbarui: 9 November 2015   00:52 45 1
Sudah hampir satu pekan ini aku sekeluarga benar-benar disibukkan oleh keputusan ayahku, bahkan sesungguhnya sebagian dari kami tak menyetujuinya, bagaimana tidak? Meninggalkan tempat tinggal yang begitu nyaman demi penghasilan yang akan bertambah, menurut ayah ini memang keputusan terbaik, tapi bagaimana dengan aku? ...Ibu? Atau adikku? Hampir satu pekan ini aku hanya berdiam diri dan tak membahas satu katapun didepan ayah, aku tak dendam pada ayah, sama sekali tidak, namun aku kecewa karena tanpa basa-basi ayah langsung mengajak kami untuk pindah kesuatu tempat yang aku sendiri pun tak tau kondisinya, kurang lebih 9 tahun aku menjalani hidup disini, mulai membuka kehidupan disini, bahkan mungkin ketika malam, jika lampu mendadak padam aku mampu menembus gelapnya, aku terlalu hafal tentang situasi rumah ini...

Akhir pekan ini aku benar-benar akan meninggalkan rumah ini, ini terlalu sulit untukku, bagaimana aku harus mengakhiri dengan semua teman-temanku yang hampir 3 tahun menemaniku, dan bagaimana aku harus memulai lagi dari awal, semuanya! mengenalkan diri sebagai anak baru, menghafal setiap sudut rumah baruku...
Akkhhhh.... Ini benar-benar membuatku berfikir tak karuan.

"Ren, makan malam dulu, Ibu tunggu dimeja makan" teriak Ibu dari pintu kamarku.
Seketika lamunanku terpecah, dan aku berlari menuju meja makan.
"Sini duduk dekat ayah" ujar ayah sambil memperlihatkan bangku kosong disebelanya.
Tanpa basa-basi aku langsung menurutinya.
Makan malam kali ini begitu hening, sebenarnya sudah hampir seminggu seperti ini.
"Ayah tau ini berat buat semua, termasuk ayah" ayah memulai pembicaraan.
"Ayah juga tau Ren, kenapa sudah sepekan ini kamu hanya diam dan mengurung diri dikamar"
Aku hanya terdiam.
"Ayah tau Rena benci akan keputusan ayah" ujar ayah lagi sambil menepuk pundakku.
"Bukan benci ayah, sama sekali bukan, Aku cuma engga mau memulai semuanya dari awal lagi, menghafal semua sudut rumah walau tanpa lampu, meninggalkan teman-teman yang setia seperti mereka, apa mungkin ayah akan menjamin bahwa teman-temanku yang baru akan seperti mereka, aku engga marah sama ayah, apalagi benci! Aku cuma engga suka sama cara ayah yang terlampau buru-buru" ucapku mulai terisak.
"Iyah Ren, maafin ayah, ayah juga tau penawaran itu hari itu juga, dan harus memberi kepastian cepat, ayah juga engga mau ninggalin semuanya gitu aja, ayah juga sedih, tapi ini pilihan yang terbaik, buat keluarga kita kedepannya"
Aku tertegun, definisiku tentang ayah salah total, aku malu, dan sangat-sangat merasa bersalah, seketika airmataku mengalir, dan suasana makan malam kali ini mendadak hanyut dalam kepedihan.
"Maafin aku ayah , aku engga tau kalo ayah sebenarnya memikirkan keluarga" ucapku menangis dan memeluk erat ayahku.
Ibu dan Risa(adikku) seakan jadi penonton setia tanpa argumen sedikitpun.
"Iyah Ren, ayah maafin.."

Mulai saat itu aku bersikap normal dengan ayahku, bahkan tak jarang aku dan Ayah terlibat dalam suatu percakapan seru, sampai akhirnya hari yang ditunggupun datang, aku benar-benar harus meninggalkan semua..
Semua teman-temanku telah datang dan siap untuk benar-benar kehilanganku, mereka benar-benar setia sampai detik ini, terbukti mereka semua datang untuk aku..
Kupeluk satu persatu dari mereka, terutama Lina, yang benar-benar membuatku begitu histeris, bagaimana tidak, aku hampir 3 tahun ini duduk sebangku dengannya, dari mulai smp kelas 2..
"Maafin aku yah Lin, aku tau salah aku banyak sama kamu, bahkan tingkah jailku pun tak jarang selama kita duduk bersama"ujarku dengan tangis.
"Iyah Ren, maafin aku juga yah, aku yang sering marah-marah sama kamu, diemin kamu, maafin aku yah"ujarnya dengan airmata yang entah dari kapan menetes.
Kuucapkan selamat tinggal kepada semuanya, dan terimakasih untuk semua, dan untuk kenang-kenangan yang mereka berikan untukku, berpua foto-foto kami dalam sebuah album, ini benar-benar indah menurutku. Suasanya kali ini sangat amat pedih menurutku, tangis-tangis mereka, seakan membuat kakiku berat untuk melangkah pergi, aku takkan bisa bertemu mereka lagi, mungkin jika waktu luangku sangat banyak, karena jarak antara rumahku ini, dan rumah yang akan kutempati sangat jauh.
Aku dan keluarga mulai masuk kedalam mobil, posisi dudukku pun seakan tak nyaman, dan perasaan benar-benar kacau, lambaian tangan-tangan mereka, dan ucapan selamat tinggal, tiada hentinya hingga aku tak dapat melihat mereka lagi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun