Secara hukum, baik di tingkat internasional maupun nasional, instrumen hukum dan perundang-undangan Indonesia mengakui adanya prinsip kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi dalam kenyataannya, masih terdapat pelanggaran hak dan marak terjadi ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan dan tentunya sangat merugikan. Diskriminasi yang dialami oleh mayoritas perempuan, menjadi sebuah hal yang harus ditindak lanjuti. Kaum perempuan seringkali tergolong sebagai individu yang tertinggal dan termarjinalkan baik itu dalam ekonomi, pendidikan, kesehatan pekerjaan, maupun bidang politik.
Banyaknya pelanggaran yang dialami oleh perempuan, seperti kekerasan berbasis gender, kekerasan seksual, diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, serta diskriminasi di tempat kerja, sering kali berakar pada budaya patriarki. Patriarki, yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan dominasi sosial, berkontribusi terhadap pembatasan peran perempuan di berbagai aspek kehidupan, menciptakan ketidaksetaraan yang terus mengukuhkan praktik-praktik diskriminatif tersebut. Pandangan ini mengakar kuat di masyarakat, sehingga kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan sering dianggap wajar atau diabaikan.
Berdasarkan Catatan Tahunan Khusus (CATAHU) tahun 2023, jumlah kekerasan terhadap perempuan terjadi sebanyak 289.111 kasus. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan angka kekerasan terhadap perempuan sebesar 55.920 atau 12% dari tahun 2022. Selain itu, melalui rilis data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia pada tahun 2023 sebesar 0,447, turun sebanyak 0,012 dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,459. Selama 5 tahun terakhir, IKG Indonesia secara konsisten mengalami penurunan yang menandakan bahwa kesetaraan gender terus mengalami peningkatan di Indonesia.
Melalui The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang dibentuk pada 18 Desember 1979, mengatur terkait kesepakatan hampir seratus negara untuk memantau situasi perempuan dan memajukan hak-hak perempuan agar mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki. Peran dari konvensi ini sangat penting ketika menempatkan kaum perempuan sebagai fokus perhatian dalam masalah HAM.
Secara eksplisit, pada bagian pembukaan konvensi menyatakan bahwa "diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi secara luas" dan menegaskan bahwa "diskriminasi ini melanggar prinsip-prinsip kesetaraan hak serta penghormatan terhadap martabat manusia". Selain itu, status hukum perempuan mendapatkan perhatian paling besar yang mencakup pada partisipasi politik tahun 1952. Sehingga, pada pasal 7 dinyatakan bahwa perempuan memiliki jaminan atas hak untuk memilih, memegang jabatan publik dan menjalankan fungsi publik.
Melalui konvensi ini, HAM harus diperluas untuk mengakui peran budaya dan tradisi yang sering membatasi hak-hak perempuan. Stereotip, adat istiadat, dan norma-norma sosial menimbulkan hambatan bagi kemajuan perempuan di berbagai bidang. Oleh karena itu, untuk mencapai kesetaraan penuh, diperlukan perubahan peran tradisional laki-laki dan perempuan dalam masyarakat serta keluarga. Negara-negara pihak, sesuai dengan Pasal 5, diwajibkan berupaya mengubah pola sosial dan budaya yang mendukung prasangka gender dan peran stereotip.
Jika dilihat melalui perspektif agama, hak asasi perempuan merupakan hak yang dimiliki oleh perempuan karena termasuk dalam kelompok masyarakat sehingga mendapatkan jaminan atas hak yang dimiliki. Melalui pasal 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa hak perlu dimiliki oleh semua orang tanpa diskriminasi. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak asasi perempuan, hal itu termasuk pelanggaran HAM.
Menurut pandangan Islam, hak dan kewajiban yang dimiliki perempuan sama seperti laki-laki. Walaupun, melalui Q.S An-Nisa ayat 4 berbunyi :
Â
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita..."
Melalui ayat tersebut, dapat dikatakan bahwa hak dan kewajiban yang setara terletak pada konsep kepemimpinan dalam Islam yang tidak berarti dominasi atau superioritas. Pemimpin dalam Islam (termasuk laki-laki dalam keluarga) bertanggung jawab untuk berbuat adil dan memenuhi kebutuhan semua anggota keluarga, tanpa meminggirkan hak-hak perempuan. Sementara itu, perempuan dalam Islam tetap memiliki hak atas pendidikan, warisan, pekerjaan, dan perlakuan yang adil.
Dalam Islam, apabila perempuan memiliki hak atasnya, maka laki-laki tidak boleh mencampuri urusan perempuan, hal ini dikarenakan perempuan dan laki-laki memiliki haknya masing-masing. Seperti contoh terkait pemberian hak warisan. Perempuan hanya mendapatkan setengah dari jumlah warisan laki-laki karena hak itu menjadi hak tetap bagi 2 perempuan. Lain pula, dengan laki-laki yang diberikan dua kali lipat karena laki-laki harus menanggung perempuan (banyak orang).
Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk bekerja (apabila) diperlukan. Namun, jika laki-laki (suami) telah mampu mencukupi kebutuhannya, perempuan tidak wajib untuk bekerja namun dapat dialihkan dengan kreativitas dan kemampuannya.
 Q.S Al-Ahzab ayat 59 juga menyatakan bahwa Islam telah mengupayakan bagi perempuan terkait hukum dalam berpakaian untuk melindungi kehormatan, kesucian dan martabat perempuan.
Â
"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka"."
Tak hanya hukum berpakaian, Islam juga tidak membedakan antara hak perempuan dan laki-laki dalam ketaqwaannya. Semua manusia berhak untuk mendapatkan sesuai dengan amalannya. Hal ini tertuang pada Q.S An-Nisa ayat 124.
Â
"Siapa yang beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia beriman, akan masuk ke dalam surga dan tidak dizalimi sedikit pun."
Melalui pandangan islam, dinyatakan bahwa hak-hak mendasar, termasuk hak atas balasan di akhirat, tidak didasarkan pada gender, melainkan pada kualitas iman dan perbuatan. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan dipandang memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjalankan amal kebaikan dan mendapatkan balasan yang sama di sisi Allah.
Perempuan juga berhak mengajukan permasalahan yang dialami olehnya. Melalui Q.S Al-Mujadilah ayat 1 dinyatakan bahwa, ...
"Sungguh, Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu (Nabi Muhammad) tentang suaminya dan mengadukan kepada Allah, padahal Allah mendengar percakapan kamu berdua...."
Dari ayat ini, kita bisa memahami bahwa perempuan berhak untuk mengajukan keluhannya dan mencari keadilan atas permasalahan yang dialaminya. Selain itu, perempuan memiliki hak untuk dapat melaporkan terkait penyelesaian permasalahan yang dialaminya melalui wakil/saksi dari perempuan.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa pentingnya pengakuan dan perlindungan HAM bagi perempuan, yang diatur dalam berbagai instrumen hukum baik nasional maupun internasional, termasuk Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi CEDAW. Meskipun secara hukum hak-hak perempuan diakui, kenyataannya masih terdapat pelanggaran dan ketidaksetaraan gender yang signifikan. Dalam perspektif Islam, hak dan kewajiban perempuan setara dengan laki-laki, namun masih ada tantangan dalam implementasinya. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk mengubah pola sosial dan budaya yang 3 mendiskriminasi perempuan, serta memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati dan dilindungi secara efektif.