Di suatu siang yang cerah, mamaku sedang menyapu halaman. Aku tidak mau membantunya, karena aku tidak suka menyapu. Menyapu adalah kegiatan yang melelahkan, ketika kamu harus memegang sapu yang berat dan membawa banyak debu melewati ruangan-ruangan dalam rumah. Itu melelahkan!
Mungkin mama tidak mempedulikan aku yang tidak membantunya, dia terus fokus dengan pekerjaannya.
"Dek Rani!" Panggil mama dari luar kamar.
"Kenapa ma?" Jawabku segera setelah aku menghampirinya.
"Belikan mama satu bungkus garam di warung depan ya" suruh mama sambil memberiku uang 10 ribu rupiah.
"Sisa uangnya boleh buat kamu jajan" kata mama.
"Okee ma" kataku sebelum meninggalkan pintu rumah.
Aku beranjak jalan di siang hari yang panas ini. Matahari bersinar terik sampai-sampai tubuhku habis dibakarnya.
"Panas banget sih!" Keluhku.
Sesampainya di warung, aku membeli garam yang mama pesan dan susu stroberi beserta roti untuk camilanku. Aku tidak tahan merasakan panas diluar sini dan ingin cepat kembali ke kamarku yang ber-AC.
Dalam perjalanan pulangku ke rumah, aku melihat seorang ibu pemulung dan anak anaknya yang menyandang cacat duduk tak beralas diatas aspal panas. Awalnya aku tidak peduli apalagi berniat membantu mereka, aku hanya peduli pada diriku yang sudah kepanasan ini.
Tapi tiba-tiba terbersit rasa malu pada pikiranku. Melihat mereka yang jangankan menghiraukan terik matahari, sudah bisa menyuap roti pun sangat bersyukur. Aku merasa malu karena jangankan bersyukur, terlahir dengan keadaan fisik yang utuh pun tidak terucap syukur satu kata pun dari mulut ini.
Aku bergegas menghampiri mereka dan memberi susu dan roti yang tadi ku beli. Aku melihat betapa bersyukur dan bahagia nya mereka diberi sekotak susu dan sebuah roti. Aku terharu melihat rasa syukur yang mereka ucap.
Aku kembali ke rumahku dengan tekad bahwa aku tidak akan pernah mengeluh, selalu bersyukur, dan peduli terhadap sesama.