Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

“Ketidakadilan” Bagi Reja, Paradoks Sikap Ultras Terhadap Pelatih Lazio

25 Januari 2012   19:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:27 264 1

oleh Galuh Trianingsih Lazuardi

© 2012

Ritual rutin menjelang laga Lazio-Atalanta 15 Januari lalu di Olimpico seperti biasanya dapat dijadikan indikator skuad Biancolesti mana yang mendapatkan tempat di hati Laziali dan mana yang tidak. Mereka dengan riang-gembira memberikan sambutan meriah setiap kali nama pemain disebutkan pembawa acara, kecuali Marius Stankevicius yang saat itu ada di bangku cadangan yang dinilai bermain sangat mengecewakan saat Lazio dikalahkan Siena di Stadio Artemio Franchi sepekan sebelumnya. Miroslav Klose mendapatkan sambutan terhangat. Ketika nama terakhir disebutkan, puncak cemoohan pun terjadi, lengkap dengan beberapa spanduk meminta yang bersangkutan mundur. Nama itu adalah nama allenatore Edoardo Reja. Reja sendiri menganggapnya sebagai hal yang wajar. “Apa yang harus saya harapkan setelah tim kami kalah 0-4 dari Siena? Sebuah standing ovation?”

Biasanya publik curva nord Olimpico terbelah dalam kasus Reja, tetapi akhir-akhir ini tampaknya hampir semuanya sependapat: Reja harus mundur. Aib kekalahan atas Siena seakan menjadi “pemersatu” curva nord, tetapi itu hanyalah puncak kekesalan mereka atas Reja. Sebelumnya, empat kekalahan beruntun dalam Derby della Capitale, hasil kurang menggembirakan dalam laga kandang di Olimpico serta taktik Reja yang dinilai negatif telah memenuhi “daftar dosa” Reja. Bagi mereka yang bukan fans fanatik Lazio, allenatore datang dan pergi bagaikan angkot keluar dan masuk terminal, adalah hal yang biasa. Lihat saja Inter, misalnya. Dalam dua tahun terakhir ditangani oleh 5 allenatori silih berganti: Mourinho, Benitez, Leonardo, Gasperini, Ranieri. Lalu mengapa Lazio ngotot mempertahankan Reja? Jawabannya sederhana: secara jujur dan obyektif, pencapaian Reja sebenarnya cukup impresif.

Menyelamatkan Lazio Dari Degradasi Dan Kembali Ke Liga Eropa

Reja mulai menangani Lazio saat tim pertama Kota Roma itu dalam keadaan krisis berat. Percekcokan dengan Presiden Lotito berujung pada hengkangnya Delio Rossi dari Formello. Sebelumnya, Rossi sendiri memberikan Coppa Italia walaupun hanya mampu menempatkan pasukan birulangit di posisi 10 musim 2008/2009. Datanglah Davide Ballardini. Kali ini, keputusan Lotito menunjuk allenatore berbuah petaka. Kalah dalam derbi, tampil hancur-hancuran di Liga Eropa dan Lazio berada di posisi 18 klasemen menjelang akhir musim. Reja yang datang saat situasi kritis ini berhasil menyelamatkan Lazio dari degradasi dan menempatkannya di posisi 12 klasemen akhir musim 2009/2010. Sahabat karib Fabio Capello ini memang memiliki track record cemerlang yakni membawa Napoli dari Serie-C1 ke Serie-A hanya dalam dua musim.

Musim 2010/2011 dibantu oleh kecemerlangan Hernanes, Lazio tampil cukup impresif terutama di paruh pertama, terus bersaing dengan AC Milan di puncak klasemen. Musim itu, pelatih berusia 66 tahun ini berhasil membawa Lazio ke posisi 5, hanya kalah selisih gol dari Udinese yang berhasil masuk ke kualifikasi Liga Champions. Cukupkah ini untuk mengambil hati fans Lazio di curva nord? Ternyata tidak. Kekalahan dalam empat derbi tetap merupakan dosa tak berampun bagi Reja. Desakan kuat dilakukan terhadap Lotito untuk melengserkan Reja. Tetapi Lotito bergeming dan tetap memercayai Reja menakhodai Lazio di musim 2011/2012 ini. Sang Presiden bahkan memberikan amunisi baru: Klose, Cisse, Lulic, Konko, Stankevicius, Cana dan Marchetti.

Dari Cemoohan Hingga Ancaman Pembunuhan

Kekesalan ultras Lazio sempat memuncak awal musim ini ketika Reja enggan mempertahankan pemain pujaan curva nord Olimpico, Mauro Zarate, dan melepaskannya sebagai pinjaman ke Inter. Dua kemenangan impresif atas Rabotnicki di kualifikasi Liga Eropa cukup meredakan amarah para pendukung, sementara hasil seri di partai pembuka lawan AC Milan di San Siro dianggap hal yang lumrah, karena Lazio dan Milan memang secara tradisi sering berbagi hasil imbang. Kekalahan “tidak layak” atas Genoa hasil seri dengan Palermo memperkuat desakan mundur bagi suami Livia ini. Ancaman pembunuhan yang diterima Reja memaksanya mengajukan permohonan berhenti, suatu hal yang ditolak Lotito yang sekali lagi bergeming mendukung Reja. Kemenangan dramatis di derbi melunakkan sikap ultras, tetapi hanya untuk sementara. Mereka bisa memaafkan kekalahan dari Juventus, tetapi tak habis mengerti kegagalan Lazio mempertahankan kemenangan yang sudah di tangan atas Udinese serta hasil seri melawan Catania dan Genoa, terlebih kelima laga yang dipermasalahkan itu terjadi di Olimpico. Puncak kekesalan mereka terjadi ketika Lazio dipermalukan Siena. Dan ketika Lazio harus tergeser ke posisi 5 usai dikalahkan Inter di San Siro, maka tekanan bagi Reja untuk mundur kian menjadi.

Di Liga Eropa, keberhasilan Lazio lolos ke babak knock out tidak membawa apresiasi bagi Reja. Rangkaian hasil seri serta kekalahan lawan Sporting di Kota Lisbon dinilai sebagai ketidakseriusan Reja menjalani kompetisi Eropa. Lolosnya Lazio oleh ultras lebih dinilai sebagai “jasa” Sporting yang menurunkan pemain lapis keduanya di Olimpico serta sukses Zurich yang di luar dugaan mengalahkan Vaslui. Demikian juga kemenangan susah-payah Lazio atas Hellas Verona di perdelapanfinal Coppa Italia dinilai bukan prestasi oleh ultras Lazio.

Secara obyektif, sesungguhnya pencapaian Reja lebih dari sekedar lumayan. Dengan pasukan yang terbilang tua, nyaris tanpa pemain bintang kecuali Hernanes dan Klose, perbedaan kemampuan yang cukup tajam antara pemain inti dengan cadangan dan badai cedera yang tak hentinya melanda, Reja berhasil menempatkan Lazio di posisi 5 paruh musim, terpaut 8 poin dari capolista. Lalu, lolos ke 32-besar Liga Eropa serta ke 8-besar Coppa Italia. Tetapi itulah faktanya. Ultras Lazio sendiri tidak begitu memedulikan angka dan peringkat. Mereka menilai Reja melakukan taktik negatif bagi timnya, gagal memanfaatkan posisi tuan rumah di Olimpico dan kurang memberi kesempatan bagi pemain-pemain muda binaan Akademi Lazio seperti Tommaso Ceccarelli.

Pelatih Paling “Apes” Sepuluh Tahun Terakhir

Saya sendiri menilai, situasi ini merupakan “ketidakadilan” bagi Reja. Dia, dengan segala situasi sulit yang membelit tim, telah menunjukkan prestasi lebih daripada lumayan. Marilah kita lihat situsasi kepelatihan Lazio dalam sepuluh tahun terakhir. Davide Ballardini dan Giuseppe Papadopulo memang layak mendapatkan perlakuan buruk seperti yang diterimanya dari ultras, mengingat kedua orang ini menghadirkan krisis dan khaos di tubuh tim. Reputasi Delio Rossi lebih terselamatkan oleh kemenangan-kemenangan historis Lazio di Derby della Capitale daripada trofi Coppa Italia yang diraihnya, di antaranya kemenangan 3-0 tahun 2006 dan 4-2 di tahun 2009. Roberto Mancini mendapatkan advantage bahkan sebelum mulai melatih, karena Mancio sebelumnya adalah pemain Lazio yang cukup berprestasi. Pencapaian Mancio sebagai pelatih memang tidak buruk, tetapi sebetulnya lebih karena didukung sebuah tim yang bertabur bintang seperti Dejan Stankovic, Jaap Stam dan Diego Simeone. Bandingkan kesemuanya tersebut dengan situasi yang dihadapi Reja, dan capaian prestasinya. Reja tak kalah dari mereka semua, tetapi Reja tampaknya memang yang bernasib paling “apes” dalam hal menuai dukungan tifosi bagi dirinya. Apa yang dialami Reja adalah kondisi paradoksal sikap ultras terhadap allenatore Lazio.

Avanti Edy Reja!

Lalu, akankah keadaan berubah dan Reja dapat memperoleh dukungan yang seharusnya dia dapatkan? Tentu hanya Reja sendiri yang dapat mengubahnya. Jika di sisa waktu tranfer Januari ini Reja dapat memperoleh seorang pemain tengah yang piawai dan bernaluri menyerang tinggi, jika skipper Stefano Mauri akhirnya dapat kembali bermain untuk menjaga ritme dan memberikan bola-bola matang pada para penyerang Lazio dan meringankan tugas Hernanes; mungkin saja Lazio akan tampil konsisten dan memberikan hasil positif yang akan melunakkan tekanan pada Reja. Ditambah satu lagi: kemenangan pada Derby della Capitale bulan Maret nanti. Jika itu semua terwujud, maka tidak akan ada alasan lagi bagi siapapun untuk meragukan, mecemooh dan meminta Reja lengser. Karena sebetulnya Reja pantas menerima penghargaan itu. Hanya, mungkin dia harus bekerja lebih keras daripada para pendahulunya untuk memperoleh haknya. Selamat bekerja, Non Mollare Mai, Avanti Edy Reja!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun