Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Hari Gini Masih Sungkan Kritik Sultan?

8 Oktober 2014   07:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:56 477 1

Kebebasan berekspresi maupun berpendapat kini telah menjadi milik setiap warga negara Indonesia. Perlindungan terhadap kebebasannya diatur pula dalam sebuah undang-undang (pasal  28 UUD 1945). Hal ini tentunya harus disertai dengan sikap menghormati hak asasi individu yang lainnya. Kesempatan untuk mengeluarkan  pikiran secara lisan dan tulisan acapkali dimanfaatkan masyarakat guna mengkritik jalannya pemerintahan. Terlebih ketika era reformasi mulai lahir di bumi pertiwi. Kondisi inilah yang saat ini berlangsung di tengah masyarakat Yogyakarta.

Belum lama ini, beberapa golongan warga Jogja tampak gencar melakukan kritikan atas kebijakan pemerintah kota Yogyakarta. Berbagai macam aksi diluncurkan guna menyampaikan aspirasi mereka. Mulai dari kritikan yang berupa produk kesenian  hingga berujung pada aksi demonstrasi. Media yang digunakannya dapat dikatakan cukup kreatif, sepertihalnya mural, poster hingga lirik lagu yang berisi sindiran terhadap wali kota Yogyakarta. Lantas, apa yang menjadi permasalahannya?

Semenjak pemerintahan kota Yogyakarta di pimpin oleh Haryadi Suyuti, kota Jogja mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan ini nampak jelas dengan  menjamurnya pembangunan hotel maupun papan reklame. Hingga saat ini sejumlah 70 hotel sudah mendapatkan izin mendirikan bangunan (krjogja.com, 28/8).

Dampak pembangunan hotel rupanya memberikan efek negatif bagi warga jogja. Air sumur pun mulai dirasa berkurang oleh sejumlah warga yang tinggal disekitaran hotel. Realitas inilah yang selanjutnya menuai protes kepada wali kota Yogyakarta atas masifnya pemberian  izin pembangunan hotel. Slogan kritikan yang seringkali terlihat yakni Jogja Ora Didol (Jogja tidak dijual) dan Jogja Asat (Jogja Mulai Kekeringan).

Antara Sungkan dan “Takut Kualat” pada Sang Raja

Secara administrasi, pemerintahan kota Yogyakarta merupakan bagian dari provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).  Hal ini mengakibatkan  wali kota Yogyakarta harus bertanggung jawab langsung pada Gubernur DIY yang notabene ialah Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X. Logikanya, segala kebijakan yang terjadi di pemerintah kota Yogyakarta tentunya mendapatkan restu dari sang Gubernur. Mustahil jika Sri Sultan HB X tidak mengetahui rencana pembangunan hotel yang dapat dikatakan cukup masif.

Namun, apa yang terjadi di Yogyakarta saat ini? Kritikan atas kebijakan pembangunan hotel  cenderung menyerbu pemerintah  kota dan wali kota Yogyakarta. Seolah pemerintah daerah  provinsi DIY tidak memiliki andil didalamnya. Terasa aneh kan? Fakta ini terlihat jelas pada slogan kritikan Jogja Ora Didol, Har. (Kata Har disini merupakan panggilan untuk Haryadi Suyuti, wali kota Yogyakarta) Padahal sebagai gubernur DIY, Sri Sultan HB X juga mempunyai wewenang atas kebijakan yang berlangsung di salah satu bagian wilayahnya.

Melihat realitas itu, saya berasumsi bahwa masyarakat Yogyakarta masih merasa pekewuh (sungkan) ataupun mungkin “takut kualat” untuk mengkritik sang Gubernur yang sekaligus raja mereka.  Sikap tersebut sebenarnya cenderung memberikan peluang munculnya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di tengah iklim demokrasi negeri ini. Ingat, Sri Sultan HB X bukanlah dewa yang turun dari langit dan terbebas dari kesalahan. Beliau adalah pemimpin dan seorang manusia, sama sepertihalnya Jokowi, Ahok, Ganjar dan para pemimpin lainnya.

Coba bayangkan apa yang terjadi jika seorang pejabat pemerintah tidak pernah mendapatkan kritikan ataupun kontrol dari rakyatnya. Sudah saatnya kita menghapus mental feodal di era demokrasi ini. Bukan waktunya lagi rakyat Jogja “takut” maupun sungkan untuk mengkritik pimpinannya, meski pemimpin itu seorang raja sekalipun. Ini bukan  lagi jamannya  seorang pemimpin terbebas dari kritik dan kontrol dari rakyatnya.

Berdasarkan  hal itu, warga Jogja sebaiknya harus tetap mengkritik dan  mengontrol sang Gubernur agar kebijakannya berpihak pada seluruh rakyat Yogyakarta.  Terkait dengan maraknya pembangunan hotel, kritikan sebaiknya tidak hanya ditujukan untuk wali kota Yogyakarta, tetapi juga dilayangkan  pada gubernur DIY.

Tentu gubernur DIY punya power untuk mengatur kebijakan  pembangunan hotel di wilayah pemerintah kota Yogyakarta. Mengingat gubernur memiliki kekuasaan dan wewenang lebih tinggi daripada wali kota. Meskipun demikian, cara mengkritik harus  tetap menjunjung tinggi nilai kesopanan  didalam menyampaikan aspirasi  pada para pemimpin. Jika kita masih merasa “takut” ataupun sungkan untuk mengkritik seorang pemimpin yang kebetulan berdarah bangsawan, berarti kita masih bermental feodal, bung! Salam Demokrasi.

Referensi :

http://www.tempo.co/read/news/2013/10/15/058521745/Jogja-Ora-Didol-Glenn-pun-Tergerak

http://krjogja.com/read/228142/wow-30-hotel-baru-di-yogya-mulai-pembangunan.kr

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun