Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Meningitis (5 Tamat)

27 April 2012   06:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:03 192 0
LIMA

Hari keempat belas, dokter kembali memanggil Nesin dan Rosma. Mereka bicara di ruang kerja dokter. Secara umum dokter menjelaskan apa yang sudah dilakukan untuk menyelamatkan Rara. Berbagai jurus telah dilakukan, bahkan obat yang terbaik dan termahal pun telah dimasukkan ke tubuh Rara, namun perkembangan virus lebih cepat dari tindakan yang bisa dilakukan.

Dokter angkat tangan untuk bisa menyelamatkan Rara. Saat ini hidup Rara telah ditopang oleh peralatan medis mutakhir, makanya ia masih bisa bernafas dan jantungnya masih tetap berdetak. Dokter telah menyerahkan segalanya pada keluarga. Mempertahankan penggunaan peralatan canggih dengan biaya yang lumayan tinggi, atau melepas semuanya dengan menyerahkan pada kekuatan tubuh Rara sendiri.

Nesin menjerit dalam hati. "Rara, seandainya penderitaanmu bisa dipindah pada Ayah, tentu kamu masih bisa melihat rumput-rumput yang terus bersemi. Kamu akan dengan sukacita melihat bunga bermekaran di pagi hari. Kamu akan terus melenggak-lenggok menari bersama teman-teman sekolahmu, kamu akan terus bernyanyi setiap kali kamu bermain dengan boneka-boneka. Tapi semua itu tidak mungkin, karena virus itu hanya ingin mengantarmu kembali ke rumah Bapa, rumah abadi yang penuh sukacita." Nesin kaku tak bergerak. Matanya kering bibirnya begetar, "jadilah kehendakMu ya, Bapa," desahnya.

Ketika Nesin kaku tak bergerak, Rosma telah meluapkan laranya dengan isak yang mendalam, memilukan. Tubuhnya tak kuat tegak, direbahkannya seluruh tenaganya ke arah Nesin yang duduk membeku. Keduanya tenggelam dalam duka yang dalam.

Dokter membiarkan suami istri itu berdiam dalam dukanya. Setelah situasi agar tenang, dokter kembali menyatakan bahwa apa pun keputusan keluarga tidak akan mengubah keadaan. Hanya mujijat sajalah yang bisa membuat Rara sembuh. Secara medis, dokter telah angkat tangan dan memberi kebesan pada keluarga untuk mengambil keputusan.

Nesin berusaha untuk menguatkan diri. Di usapkan kepala Rosma yang masih tersandar.

"Bunda, kita harus rela melepas segalanya," bisik Nesin.

Rosma hanya mengangguk.

Nesin mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit ruang kerja dokter yang berwarna putih bersih. Di langit-langit itu dia melihat Rara melambaikan tangan sambil berlari penuh ceria. Rara sungguh senang berlari di sana, di atas awan putih yang menggupal-gumpal. Tawa dan celoteh Rara sungguh penuh kegembiraan. Dalam angannya Nesin mendengar Rara merajuk, Ayah aku ingin berlari dan terbang bersama malaekat. Ijinkan aku, ya Ayah. Ayah tidak usah cemas, karena aku bersama malaekat pelindungku. Ayah dan Bunda tidak boleh sedih, karena aku pasti bahagia bersama malaekat.

Nesin terhanyak, ketika ia merasakan hangat pipinya karena air mata meleleh deras. Diseka matanya yang basah dengan punggung tangannya. Dalam suasana seperti ini hilanglah pribadi Nesin - Nestor Indrawan yang tegar, tegas, dan selalu penuh semangat.

"Bunda kita harus merelakan Rara," bisiknya lagi. "Rara pasti bahagia di sana. Kita pun tidak bisa terus larut dalam ketidakpastian ini," lanjut Nesin memberi semangat pada Rosma, istrinya.

Sekuat tenaga Rosma duduk tegak. Dipandangnya wajah dokter yang terlihat tenang. Bibirnya gemetar.

"Menurut dokter, jalan terbaik apa yang harus kami lakukan untuk Rara," suara serak Rosma memecahkan suasana hening.

Dokter tersenyum mencoba mendamaikan situasi, "justru semua saya serahkan pada Bapak dan Ibu. Melepas semua peralatan medis dengan menyerahkan semua pada kekuatan Rara, atau tetap menggunakan peralatan yang berarti membiarkan Rara terus lelap tanpa kesadaran."

Suasana kembali hening.

Hanya nafas Rosma dan Nesin yang terdengar memburu.

"Baiklah," lanjut dokter, "Bapak dan Ibu bisa pertimbangkan dahulu. Ingat keputusan itu harus benar-benar dengan pertimbangan yang sesadar-sadarnya. Pertimbangkan keadaan Rara sekarang, perhitungkan juga masa depan Bapak dan Ibu kemudian," tutur dokter.

"Dokter, saya hampir tidak kuat melihat Rara menderita terus berkepanjangan. Saya lelah dokter," Nesin gemetar terbata-bata.

Rosma kembali terisak.

"Bebaskan penderitaannya, dokter," suara Rosma disela-sela isaknya yang makin menusuk.

Dokter menarik nafas panjang. Kemudian dokter mempersilahkan sepasang suami istri itu melihat Rara. Dokter mendampinginya.

Nesin dan Rosma memandang Rara. Tangan Rara penuh jarum dan kabel-kabel yang dihubungkan dengan mesin, begitu juga dada Rara. Rosario yang terkalung di leher Rara masih ada di sana. Rosma mengusap wajah Rara.

Dingin.

Tidak ada reaksi apa pun.

Nesin berdiri kaku. Tangan kirinya disandarkan pada tempat tidur Rara, tangan kanannya mengelus-elus kaki Rara.

"Kami sungguh mencintaimu Rara," suara Nesin tersedak. "Kamu adalah mutiara cinta kami," kelu hati Nesin.

Siang itu, dokter akan melepas semua mesin peralatan medis. Nesin dan Rosma diminta untuk keluar, nanti setelah semua dilepaskan, Rara akan diletakkan di ruang khusus dan kedua orangtua boleh terus menjaga dan menemani Rara. Nesin dan Rosma keluar dari ruang perawatan, kembali bergambung dengan sanak saudaranya yang telah menunggu.

Nesin menceriterakan semua yang disampaikan dokter kepada keluarganya. Keluarga menerima apa pun keputusan Nesin. Rosma duduk dengan duka yang mendalam. Seorang saudara perempuan Rosma selalu mendampingi Rosma. Masa penantian pun terasa semakin berat. Semua keluarga telah memasrahkan Rara pada kekuasaan Sang Pencipta. Mereka berdoa bersama.

Beberapa saat kemudian perawat memberi tahu bahwa Rara sudah dipindah ke ruang khusus. Orang tua boleh menunggu di ruang tersebut, bisa dua atau tiga orang. Rosma bersama dua wanita saudaranya masuk ke ruang khusus tempat Rara. Sementara Nesin masih ditemani beberapa saudaranya menunggu di ruang tunggu.

Rara masih tenang lelap tanpa kesadaran. Wajah beningnya menunjukkan kedamaian. Tidak ada lagi jarum-jarum yang menancap di tangannya, di dadanya. Hanya ada satu jarum infus yang mensuplai makanan cair ke dalam tubuhnya, dan satu jarum yang menghubungkan detak jantung pada sebuah monitor kecil yang letaknya di dinding di atas kepala. Tiga wanita yang menemani Rara membeku. Mata mereka tak lepas memandang ke tubuh kecil yang tergeletak tanpa daya. Nafas Rara panjang dan teratur. Detak nadinya terlihat di monitor. Lemah, namun terus berdetak.

Matahari mulai miring ke barat. Cahayanya jatuh di atas dedaunan yang tumbuh di sekitar rumah sakit. Lewat kaca jendela tempat Rara dirawat, tampak bayang-bayang pepohonan jatuh ke rumput di lapangan sempit yang berada di sisi rumah sakit tersebut. Udara di dalam ruang rawat tersebut sejuk dingin karena penyejuk ruangan bekerja optimal. Bunda mengenakan jaket agar dingin ruangan tidak menusuk. Selama Rara di rawat, Bunda selalu berjaga. Wajah kelihatan lesu karena lelah. Tidurnya kurang, makannya pun tak teratur. Karena semangatnya yang tinggi untuk menemani Rara sajalah yang membuat Bunda tetap bertahan, tidak jatuh sakit. Sesaat Bunda tertidur, namun segera terjaga lagi.

Sore hari, kedua saudara wanita Rosma harus meninggalkan ruangan, Nesin masuk bersama saudara yang lain. Rosma harus makan dulu. Sementara Rosma makan di ruang tunggu, Nesin dan seorang saudaranya menunggu Rara yang masih diam membeku.

Malam itu di ruang rawat khsusus, Nesin dan Rosma menjaga Rara. Inilah malam pertama mereka bisa bertiga dalam satu ruangan setelah empat belas hari Rara dirawat. Bunda duduk dibangku di sisi tempat tidur Rara. Kedua tangan Bunda disilangkan di atas kasur pinggir tempat tidur Rara. Bunda terus memandangi Rara. Ayah duduk bersandar di dinding di sebuah ranjang kecil yang ada di pojok kamar tersebut.

"Bunda, Bunda istirahat dulu, biar Ayah yang jaga Rara. Nanti kita bergantian," ujar Ayah sambil berdiri mendekati Bunda yang masih terus memandangi Rara.

Tanpa semangat Bunda beranjak dari tempat tidurnya menuju ranjang dipojok ruang itu. Dihempaskannya badan yang serasa remuk karena kelelahan. Dipejamkan matanya, dicobanya untuk melemaskan seluruh sendi yang terasa sakit karena selama dua minggu kurang gerak dan kurang istirahat. Bunda tak juga bisa tidur, dia tidak berani bermimpi. Perlahan Bunda bisa juga melupakan segala bebannya. Ia terlelap, tapi hanya sejenak. Ia terjaga lagi.

Dilihatnya Ayah masih duduk memandangi Rara dengan tatapan kosong. Penantian ini makin menjemukan, kian mencemaskan. Ternyata sebagai manusia, Nesin dan Rosma tidak bisa pasrah seratus persen. Unsur manusianya masih mendominasi kepasrahannya. Ego masih kuat, mau senang sendiri masih terus membayangi pikiran mereka. Walau telah memasrahkan segalanya pada kehendak yang kuasa, namun keduanya masih menginginkan agar Rara bisa sembuh dan hidup normal kembali.

Bunda bangun dari tidurnya, duduk di pinggir ranjang kecil. Kemudian ia berdiri di sisi Ayah yang duduk terpekur memandang Rara. Ayah menengok ke arah Bunda.

"Lihat, betapa tenangnya Rara," bisik Ayah.

"Rara tidur terlalu nyenyak, kita tidak dihiraukannya lagi," sesak Bunda.

"Tapi dia sayang sama kita."

"Mutira Cinta kita semakin tenang dan damai."

Malam telah bergulir mencapai puncaknya. Nesin dan Rosma masih berjaga menunggu Rara. Di ruang tunggu beberapa keluarga mereka juga ikut menunggu, ada yang tiduran, ada juga yang terus bergadang.

Suara dari monitor jantung Rara mengejutkan Nesin dan Rosma. Gambar yang biasanya menunjukkan grafik bergelombang kelihatan mendatar dan kian rendah. Rosma menekan tombol bel memanggil perawat yang berjaga.

Perawat datang tergesa, langsung memeriksa keadaan Rara. Perawat bahkan berlari memanggil dokter yang berjaga.

Ruang rawat khusus Rara disibukkan. Dokter dan perawat sibuk memacu jantung Rara agar tetap berdenyut. Nesin dan Rosma berdiri membeku di sisi ruangan. Rencana Allah sungguh misteri. Nesin dan Rara masih melihat bagaimana Rara menarik nafas terakhir.

Pecahlah tangis di ruang khusus itu. Rosma menangis tinggi, memeluk Rara yang telah diam untuk selamanya. Nesin berdiri mematung sambil merangkul Rosma.

Dokter dan perawat membereskan peralatan dan membiarkan Nesin dan Rosma bersama tubuh Rara yang diam. Teriakan Rosma mengejutkan keluarga yang menunggu di ruang tunggu. Dua di antara mereka masuk ke ruang rawat Rara. Kemudian seorang dari mereka keluar lagi menyampaikan apa yang terjadi dengan Rara. Serentak mereka menghubungi siapa saja yang mereka kenal, menyampaikan kabar bahwa Rara telah mencapai keabadian kekal. Rara telah bersatu dengan para kudus di Surga, melayang bersama malaekat di rumah Bapa yang kekal.

Isak tangis Rosma meluluhkan siapa pun yang mendengar.

"Bunda, Rara sudah tenang bersama Yesus. Mari kita siap-siap untuk pulang membawa tubuh Rara," bisik Nesin sambil bergetar. Air mata tak kuasa lagi ditahan. Nesin pun bata-bata.

Rosma mengangguk.

"Ayah, Bunda ingin memeluk Rara terus, untuk yang terakhir kali," isak Rosma. Rosma tidak melepaskan pelukannya.

Perawat datang untuk mebereskan jenasah Rara.

"Bapak dan Ibu tunggu di depan saja ya, kami akan merapikan Rara," seorang perawat mempersilahkan Nesin dan Rosma untuk meninggalkan ruangan.

"Tidak suster. Saya akan terus memeluk Rara. Saya yang menggendong ke tempat persiapan tersebut," isak Rosma tak mau melepas anaknya. Rosma menggendong Rara, dibantu oleh perawat dan diikuti Nesin menuju ruang tempat merapikan jenasah.

"Rara mandi dulu ya, sayang. Biar Bunda yang pangku," bisik Rosma ketika perawat hendak memandikan jenasah Rara. Rosma tetap memangku Rara sementara petugas memandikan jenasah Rara.

Selesai dimandikan, Rara dibawa ke ruang jenasah. Ayah membawa pakaian Rara. Sementara itu Bunda berganti pakaian karena seluruh pakaiannya basah ketika memandikan Rara.

"Rara pakai baju ini dulu ya, sayang. Nanti di rumah baru kamu ganti baju malaekat," bisik Ayah sambil menyerahkan pakaian Rara kepada petugas.

Hari bergerak terus. Matahari pagi merah menyebar sinarnya.

Di rumah Rara keluarga dibantu tetangga telah menyiapkan tempat untuk menyambut kepulangan Rara. Tenda besar telah berdiri di halaman rumah. Bangku-bangku telah di tata untuk menampung tamu yang akan mengantar tubuh Rara. Banyak orang sudah berdatangan, mereka semua hadir untuk mengantar Rara. Mengantar tubuh Rara kembali ke pelukan bumi, dan mengantar jiwa Rara menuju rumah abadi di Surga.

Kereta jenasah telah siap di depan kamar jenasah. Tubuh Rara akan dibawa pulang, sebelum dikebumikan. Ketika petugas mendorong tempat tidur untuk menempatkan Rara, Rosma menolak.

"Jangan gunakan itu. Biarlah Rara saya pangku sampai di rumah," ujar Rosma. Petugas jadi bingung, namun segera mengerti akan keinginan Rosma. Dibantu Nesin, Rosma menggendong Rara menuju kereta jenasah. Kemudian Rosma naik ke kereta jenasah sambil terus menggendong Rara.

Di dalam kereta jenasah Rosma dan Nesin duduk berjejer memangku Rara yang mulai dingin. Dua anggota keluarganya duduk di seberang menghadap ke arah Nesin dan Rosma. Jadilah Rara seakan dipangku oleh empat orang.

Kereta jenasah membunyikan sirene, bergerak meninggalkan rumah sakit. Hati Nesin dan Rosma luluh lantak mendengar raungan sirene. Perjalan terasa lancar, karena jalan di pagi itu masih lengang. Perjalanan pulang terasa begitu cepat. Mereka telah memasuki pemukiman penduduk.

Ketika kereta jenasah melintas, hampir setiap orang memandang nanar. Kereta jenasah berjalan perlahan. Sekali-sekali sirena bergema mengudara, menyampaikan berita duka, mengabarkan kedatangan Rara ke rumahnya. Memasuki halaman rumah, Rosma dan Nesin merasa heran, begitu banyak orang yang telah menanti Rara.

"Rara, coba lihat. Tamu-tamu banyak sekali, semua menunggu kamu," ujar Bunda sambil mengoyang-goyang tubuh Rara. "Mereka semua mencintai kamu, Ra. Tetapi kenapa kamu diam saja," lanjut Bunda.

Tamu yang menunggu langsung bangkit dan menyambut kedatangan Rara. Beberapa sanak dan teman dekat menyongsong Rara yang diturunkan dari kereta jenasah. Tiga orang menerima Rara dalam gendongannya, lalu membawa Rara ke ruang tamu yang telah disiapkan. Sebuah tempat tidur dilapisi kain putih bersih telah ditempatkan di ruang tamu. Rara diletakkan di sana untuk sementara waktu, sebelum peti jenasah datang.

Para tamu menyalami Nesin dan Rosma, mengucapkan dukacita, membangkitkan semangat, dan memberi kekuatan pada Nesin dan Rosma dalam menghadapi beban ini. Semua orang yang hadir di situ memberi perhatian berlimpah pada keluarga Nesin. Bahkan semua orang telah mengambil bagian masing-masing dalam kedukaan ini.

Urusan pemakaman dan sebagainya telah disiapkan dengan sempurna. Atas persetujuan Nesin dan Rosma, jenasah Rara akan dimakamkan sore nanti. Sebelum pemakaman, akan diadakan Misa Requiem. Semua telah disiapkan. Pastor yang akan mempersembahkan Misa mengantar Rara kembali ke kehidupan kekal pun telah siap. Semua dikerjakan dan dilaksana oleh keluarga, tetangga, dan teman-teman keluarga Nesin. Mereka membagi tugas, ada yang di halaman, di dapur, di pemakaman, dan sebagainya. Semua tertata rapi.

Kini Rara mengenakan gaun malaekat. Putih bersih dengan taburan manik-manik laksana berlian. Rara begitu angun, tidur nyaman dalam peti yang berhiaskan bunga-bunga. Wajahnya kelihatan damai dengan senyum yang mengembang. Rara bagaikan putri yang sedang tidur. Isak tangis terdengar di setiap sudut. Apalagi ketika rombongan anak-anak taman kanak-kanak di mana Rara bersekolah datang, seluruh udara di rumah itu dipenuhi tangis dan isak. Ibu guru tak kuat menahan tangisnya, begitu pula teman-teman sekolah Rara.

Suasana seperti ini membuat hati Rosma dan Nesin kian pilu, kian tenggelam dalam duka. Kenapa perpisahan ini harus terjadi ketika Rara sedang tumbuh ceria. Sesal tak ada artinya lagi.

Tamu datang silih berganti.

Tangis dan isak pun silih berganti.

Doa-doa dipohonkan oleh setiap orang bagi keselamatan jiwa Rara, juga bagi keteguhan Nesin dan Rosma.

Misa Requiem dihadiri begitu banyak orang. Air mata terus mengalr ketika lagu-lagu duka dinyanyikan oleh seluruh umat yang hadir dengan penuh perasaan. Dalam kotbahnya, Pastor yang memberkati jenasah Rara, tak kuasa menahan sesaknya. Pastor menyampaikan kotbah dengan terbata-bata. Duka keluarga Nesin adalah duka semua orang yang mengenalnya, mengenal Rara.

Ledak tangis kian menjadi-jadi ketika penutupan peti jenasah. Rosma tak kuat lagi berdiri. Ia ditopang oleh dua orang agar tetap bisa berdiri. Nesin masih mampu berdiri, namun tetap dalam pengawasan orang.

Pemberangkatan jenasah ke taman keabadian diiringi dengan doa dan nyanyian. Iring-iringan kendaraan pengantar jenasah mengular. Mereka semua ingin mengantar Rara untuk yang terakhir kalinya.

Doa dan nyanyian tak henti menghantar Rara hingga peti jenasah diturunkan ke liang, lalu perlahan-lahan tanah menimbun peti jenasah. Rara telah tenang dalam keabadian. Rara telah bermukim di rumah yang damai, rumah yang penuh cinta kasih bersamaNya.

(tamat)

Lantai 11, 16 September 2010

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun