“Ning Jakarta mangan opo, Le?“ Begitu katanya seminggu yang lalu. Wanita yang melahirkanku itu khawatir aku akan mati kelaparan merantau ke metropolitan.
Kutinggalkan emak. Kupanggul ransel berisi sepasang baju dan beberapa buku. Kututup pintu rumah pelan-pelan. Tangisan tak bernada menyisakan titik air yang segera kuusap dengan lengan kananku. Aku laki-laki. Malu kalau ketahuan menangis.
“Maafkan aku, mak.“ Lirih suaraku seolah pamitan ke emak.
***
Jakarta. Tak terasa sudah setahun aku di sana. Dari nggembel sampai aku bisa jadi tukang becak. Becak dipinjami pak Darto, tukang becak yang kutemui dekat jembatan di mana aku biasa tidur dengan lembaran-lembaran kardus bekas. Mulanya, ia kasihan melihatku. Pak Darto yang kontrakannya lebih jelek dari gubuk emak itu malah menawariku kesempatan menarik becak pada malam hari. Kata pak Darto, mubadzir kalau becak nganggur malam-malam. Lagian, ia lebih suka kerja sebelum gelap tiba.