Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kartu Pos Masih Menjadi Alat Komunikasi

6 September 2013   00:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:17 696 6

Kartu pos sudah dianggap kampungan, tidak modern dan jarang digunakan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang mengunjungi sebuah pameran kartu pos internasional yang diadakan di kampus IKIP PGRI Semarang, 30-31 Agustus 2013.

Hal ini seiring dengan maraknya teknologi internet, dimana banyak dari generasi muda kita lebih cenderung memanfaatkan jasa jejaring sosial seperti FB, twitter, whatsapp dan lainnya, selain email, MMS dan SMS demi berkomunikasi, sebagai makhluk sosial. Lebih cepat, murah dan mudah.

Di lain sisi, penikmat gelaran kartu koleksi 1890-2013 dari 50 negara-5 benua itu menjadi mengerti bahwa dibagian dunia lain, kartu pos justru masih jadi hobi dan bahkan digunakan sebagai alat komunikasi, misalnya di Jerman.

***

Berawal dari mengguntingi bekas perangko dari surat-menyurat ayah yang mendirikan sebuah yayasan seni budaya, sejak SD, saya mulai menyukai filateli. Hobi ini bertambah menjadi mengumpulkan kartu pos, lantaran menggunakannya sebagai alat komunikasi dengan kawan-kawan alumni KTT remaja palang merah se-Asia Pasifik tahun 1994. Keinginan untuk mengumpulkan kartu bergambar cantik, entah dari berkirim-kiriman, membeli, titip dan hadiah, meningkat sejak bergabung bersama LSM dimana banyak berkenalan dengan relawan dan rekan asing. Apalagi sejak pindah ke Jerman tahun 2006, saya semakin semangat untuk mendapatkannya lantaran pergi ke luar negeri seperti pergi ke luar kota saja. Bahkan serunya, semakin cepat saya menambah koleksi, lantaran garis keturunan suami dan kawan-kawan di klub gymnastik, memiliki hobi yang sama. Bahkan kepunyaan mereka sangatlah tua. Hibah dan warisanpun saya terima. Beberapa kali, saya membeli lewat lelang di internet.

Jumlah 3000-an termasuk masih kategori minim namun saya yakin akan memiliki manfaat yang luar biasa maksimal jika dibagi. Bukan, bukan untuk diberikan ke orang lain satu persatu, melainkan dipamerkan dalam sebuah lobi kampus almamater (tempat belajar dan mengajar, dahulu) supaya bisa dilihat bersama-sama, diamati dan barangkali menginspirasi. Pada akhirnya, masih bisa saya simpan dan di-sharing lagi.

Lewat dukungan pak rektor Dr. Muhdi, bu dekan FPBS Bu Suci, pak Seno waka dekan FPBS, PMR SMA 2 semarang, kawan-kawan pers sampai satpam dan cleaning service, acara terselenggara dengan baik dan lancar. Pemasangan sekitar 7 kg kartu, sejak Kamis, 29 Agustus 2013 pukul 14.00-20.30 WIB akhirnya hanya 150 an saja yang terpasang di 30 papan. Lain kali, lebih baik.

Acara dibuka oleh bapak rektor. Dalam sambutan, beliau mengatakan bahwa ini adalah sebuah contoh kegiatan positif. Hobi yang ditekuni bisa membawa manfaat untuk semua. Barang siapa yang ingin menyalurkan bakat minat melalui pameran, diperbolehkan menggunakan setiap sudut kampus. Tidak akan ada yang melarang, sepanjang positif dan berbau pendidikan, bahkan jika perlu memakai bangunan aula terbaru yang segera kelar. Maklum, IKIP PGRI adalah wadah penuntut ilmu dan mereka yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan. Apapun yang menunjangnya pasti didukung penuh.

Hari pertama begitu padat pengunjung. Pertama dibanjiri oleh para dosen dan karyawan kampus setempat, disusul ratusan anak SD Bandarharjo Kartini Semarang. Masyaallah, suara mereka membicarakan kartu yang ditempel, tak ubahnya kerumunan lebah. Dengungnya membuat saya tersenyum. Pak rektor segera meraih microphone dan menerangkan tentang pameran. Semoga benar mengundang mereka menginjakkan kaki ke dunia luar suatu harinanti.

Jeprat-jepret dan menulis laporan. Itulah yang mereka lakukan. Corong berada ditangan, selanjutnya saya terangkan sedikit tujuan mengumpulkan perangko yang mulanya adalah alat komunikasi saya dengan rekan-rekan di segala penjuru dunia. Mengumpulkannya ternyata memiliki nilai pendidikan geografi, seni dan budaya. Lewat gambar yang terpampang, jelas orang akan mengerti bahwa Maldives itu sebuah negeri republik yang amat indah pantainya atau ada sebuah negara bernama Republik San Marino.

Kekayaan alam dan budaya masing-masing negara yang berbeda tapi tetap unik menarik, tergurat disana. Termasuk bagaimana negeri lain merawat gedung-gedung kuno dan bersejarah sehingga bermanfaat, tetap dikunjungi dan lestari hingga kini.

Berbeda lagi dengan ratusan siswa-siswi SMK YSKI Semarang, berlokasi di depan kampus. Mereka begitu antusias mewawancarai saya ramai-ramai dengan rentetan pertanyaan cerdas dan bermutu. Tak lupa mereka memotret kartu-kartu dan meminta foto bersama kolektor. Meski AC menyala, mereka tetap saja kepanasan dan kipas-kipas cari angin. Mungkin saking banyaknya gerakan mereka kesana-kemari, berdesak-desakan untuk melihat pameran. Tumplek blek. Tumpah.

Siswa-siswi lain yang mampir hingga hari kedua adalah dari SDN Bandarharjo, SMPN 3, SMPN 7, SMPN 30, SMPN 32, SMPN 40 dan SMAN 2 Semarang, yang datang silih berganti. Oh, dari ribuan pengunjung itu, tak ada seorangpun yang mengacungkan jari ketika saya menanyakan apakah kartu pos masih menjadi alat komunikasi mereka dengan kawan-kawannya. Saya tekankan bahwa di Jerman, khususnya di kota kami, anak-anak mulai dari TK sampai Gymnasium, masih membudayakan kirim-kiriman kartu pos (khususnya saat liburan 4 musim, paling banyak summer). Dan bursa jual beli dan pameran filateli rutin digelar di kota kami. Bukankah contoh budaya masyarakat modern yang masih mengenal dan melestarikan kartu pos sebagai alat komunikasi ini masih bagus? Memang sih, kartu pos lebih mahal, harus beli kartunya, ditambah perangko (contoh, satu kartu @Rp 5000-Rp 10.000 atau 0,50-1 €, ditambah perangko; Indonesia-Jerman Rp 8000, Jerman-Indonesia, 80 sen).

Saya melirik gadget yang rata-rata mereka bawa, mulai BB sampai Iphone!!! Jadi tak heran, ketika saya menyebut FB dan BBM, banyak yang mengacungkan jari teramat tinggi dan cepat-cepatan. Semoga kartu pos tidak akan pernah mati karena saya dan beberapa rakyat Jerman masih menggunakannya sebagai alat komunikasi bukan saja sebagai hobi. (G76)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun