Seorang ibu-ibu umuran 74 tahun baru saja menginap 4 hari di rumah kami (31 Desember 2012-3 Januari 2013). Ia sangat senang bahwa dibolehkan untuk tinggal bersama kami, dijamu, diajak kemana-mana, bercengkerama … meskipun kami bukan siapa-siapa, dudu sanak dudu kadang.
Ia ini sengaja kami undang lantaran ia mengeluh tak tahu harus kemana. Keempat putra-putrinya sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Terakhir, ia boleh menginap di rumah anak lelakinya di Zurich, Swiss, sampai tanggal 31 Desember. Setelah itu ia disarankan mencari tempat lain (entah satu dari ketiga saudaranya atau hotel). Anak lanang itu akan terbang ke Afrika bersama istri.
RA kami kenal sejak bulan Agustus lalu waktu liburan di Hungaria. Pemilik sebuah tempat penginapan dan kebun buah-buahan yang luas itu seorang janda yang telah hengkang dari Jerman lima belas tahun lamanya. Selama itu pula, hubungannya dengan anak-anak dan cucu kurang lancar. Sibuk sendiri-sendiri.
Sepeninggal suaminya, rumah yang diatasnamakan anak mantu perempuannya (lantaran yang boleh membeli tanah di daerah pegunungan itu hanya orang lokal) ingin dijual. Susah memang. Pertama karena tak ada calon pembeli dari Hungaria yang bisa membayar rumah dan kebun yang luas itu. Kedua, ini bukan atas nama almarhum suami RA, atau RA sendiri, melainkan nama orang lain. Orang itu adalah anak menantu perempuan asal Hungraia, yang telah bercerai dengan anak lelakinya.
Mendengar masalah ini, keempat anak RA angkat tangan. Ibu RA sebenarnya ingin kembali ke kampung halaman di Jerman untuk menghabiskan hari tua. Lelah rasanya harus mengurusi penginapan dan kebun. Wis titi mangsane, tapa brata. Dari obrolan dengan si ibu, ada keinginan yang tersembul dari perasaannya, andai anak-anak yang dibesarkan berkata; „Ibu, tinggallah sekota dengan kami, jadi kalau ada apa-apa kami bisa bantu“ atau „Ibu, rumah dan kebun itu terlalu besar untukmu. Kami menyemangati bahkan mau bantu untuk menjualkannya dan mencoba berbicara dengan ipar untuk mau tanda tangan penjualannya agar lancar“ dan seterusnya.
Ia bisa saja menyewa kamar di Seniorheim, Altenheim atau panti jompo sejenis di Jerman. Selain ia sangsi pensiun 1100 Euro tak akan pernah cukup, tanpa uang dari penjualan rumah, ia juga masih ingin mandiri dulu selagi bisa. Katanya ia ingin menyewa atau membeli Wohnung alias flat saja. Wanita berbadan tinggi besar itu belum merasa tua. Ada rasa nyaman kalau ada keluarga di sekitar tempat tinggalnya, meski harus sendirian. Tak harus serumah. Maksudnya njagani kalau ada apa-apa itu, loh. Lah, ini kok nggak ada ….
***
Dari cerita itu, membuat saya berfikir nan bertanya-tanya, jaman sakini … boleh berapa lamakah sebenarnya orang tua menginap di rumah anak-anaknya yang telah mentas, mandiri, berkeluarga? Kalau mertua mungkin, saya pikir, sekatnya lebih ketat lebih pendek masa menginapnya. Kalau anak sendiri, sepertinya agak longgar bagi orang tua untuk tinggal selama-lamanya? Barangkali belum tentu, ya?
Seingat saya, nenek dari garis ayah, sebelum beberapa hari opname dan meninggal di RS, berbulan-bulan telah tinggal di rumah kami. Beliau juga menginap dalam hitungan bulan di tempat pakdhe, tante, om dan seterusnya. Maklum, anaknya dahulu 11, ingin berbakti semua. Membalas budi orang tua ketika usia tak lagi muda.
Begitu pula dengan nenek dari garis suami saya. Beliau meninggal di rumah, usai dirawat tahunan oleh ibu mertua saya. Sebagai anak ragil, ibu mertua ingin mendarmabaktikan dirinya merawat si ibu yang sudah tak bisa lagi apa-apa itu. Tak mudah, loh, mengurusi orang jompo itu. Mereka jadi seperti anak-anak, berat dan lelah. Saya pernah mencoba beberapa hari ikut bantu merawat tetangga jompo, badan pegal semua. Yah, badan mungil kayak saya begini juga beratlah angkat junjung orang kalau si nenek mau BAB, BAK, tidur dan seterusnya. Mungkin itu sebabnya banyak anak-anak yang telah mandiri, enggan merawat orang tua (lansia) sendiri.
***
Ini nilai-nilai kemanusiaan yang mulai hilang, kata RA pada saya. Bahwa jaman sekarang, anak-anak mulai berfikir rasional untuk membuat orang tuanya yang sudah lanjut usia untuk hidup mandiri saja tanpa bantuan anak-anaknya dan tak mengganggu kehidupan anak-anak yang telah dewasa itu. Dunia lain. Jika sudah tidak bisa apa-apa dimasukkan ke panti jompo sajakah?
Tetapi ingatkah anak-anak yang telah dewasa, bahwa saat ada didalam kandungan sampai dibesarkan dan berdiri sendiri di atas kedua kaki masing-masing itu juga masa-masa sulit bagi orang tua? Saya jadi mengerti jika ada pepatah mengatakan „Cinta orang tua kepada anak itu sepanjang masa, cinta anak ke orang tua hanya sepanjang galah.“