Saat kanak-kanak hingga sebelum pindah ke Jerman, Simpang Lima Semarang adalah tempat saya (dan keluarga) untuk berkumpul bersama rakyat lain, melihat pesta kembang api, jalan-jalan, makan di warung tenda, menghabiskan malam hingga detik-detik perhitungan pergantian tahun lama ke baru. Nah, bagian pulangnya repot kalau pakai angkutan umum semua penuh. Pakai mobil pribadi, macetnya minta ampun. Belum lagi merajalelanya sindikat copet, harga-harga yang melambung, anak kecil rewel minta ini itu, jalanan ditutup disana-sini, lautan manusia dan sejenisnya. Kenangan yang bikin kapok lombok, sengsara tapi mau lagi.
Ya. Sebentar lagi adalah malam pergantian tahun. Orang Jerman bilang Silvester sebagai hari terakhir di penghujung tahun menuju tahun baru. Malam yang biasa digunakan orang untuk bersuka cita menyambut tahun baru ini kadang salah kaprah dengan pesta yang berlebihan (makan kebanyakan, minum sembarangan dan membakar mercon dan kawan-kawannya hingga membobol kantong dan bisa berakibat fatal lantaran kecelakaan terbakar dan seterusnya).
Lalu bagaimana gambaran malam tahun baru di tempat terbuka dimana banyak orang dari beraneka negeri berjubel untuk merayakannya ? Di Dubai misalnya? Asyik tapi repot, ah … kapok! Enakan di rumah saja.
***
2010. Hari makin gelap, kami naik taksi pesanan menuju sebuah restoran milik sebuah hotel. Kami memang melihat iklannya di koran lokal yang jadi langganan resepsionis apartemen depan hotel yang mirip mahkota dobel itu. Setelah reservasi tapi lupa menanyakan berapa harga per orangnya, kami tiba di tempat.
Wow. Hotel yang indah. Orang-orang sudah berkumpul disana. Pukul 19.00.
Pohon natal (asli bukan plastik) pasang muka, seorang pelayan tengah mendorong minuman untuk pesta. Hiasan rempah-rempah Arab yang terkenal itu teronggok disebuah sudut ruangan. Proyektor penunjuk jam, menit dan detik di dinding resto bagian depan mengingatkan harus berapa lama lagi menuju tanggal satu Januari.
Setelah bertemu dengan bagian servis, suami mengurus bea masuk. Saya membelalakkan mata ketika si embak cantik menyebut sebuah angka, untung anak-anak masih kecil tak harus bayar. Mau balik kanan malu karena sudah berada di dalam ruangan. Mana di luar itu ya, masyaallah lalu lalang mobil. Untuk mendapatkan taksi pasti tambah sulit. Kata suami, ya sudahlah, mungkin ini untuk pertama dan terakhir kali dalam hidup. Itung-itung kado ultah saya, katanya. Hiks, bayangin duit itu masuk kas saya. Mayan.
Tamu-tamu yang terdiri dari penduduk lokal, Asia, Eropa dan Amerika itu tampak menikmati hidangan lezat, tak henti-henti. Lautan buffet terhampar di resto. Terbagi atas masakan Arab, kuliner Mongolia dan makanan Eropa. Nendang. Memang sih, all you can eat … sayang sekali, perut saya kecil cepat kenyang, tak seperti balon yang bisa ditiup seraksasa. Duh, nasib. Jadi ingat adat orang Jawa yang suka bawa bungkusan habis arisan atau kumpulan keluarga ….
Pukul 23, kami mengakhiri acara makan-makan. Sebenarnya acara perhitungan detik akhir menuju tahun baru digelar diresto tersebut. Mulai acara musik, badut, permainan dan seterusnya telah diorganisir pihak resto. Bagaimanapun, kami lebih memilih acara di luar ruangan, menikmati indahnya pesta kembang api langsung dipinggir pantai. Maklum di Jerman tak pernah lihat pantai, hiks. Ada juga danau, dingin.
Olala. Manusia dari berbagai negara berdesak-desakan di pantai Jumeirah. Pemandangan pantai pasir putih dengan airnya yang hitam karena gelap nampak mempesona, dengan background Burj Al Arab. Ngimpi kali ya, tinggal disana. Mana kuat bayar? Hehehehe. Masuk kesana juga tak sembarang orang. Sekuritinya ketat banget. Kalau tidak menginap disana, tidak boleh masuk, kata mereka. Huh.
OK. Bunga api begitu indah diangkasa. Orang-orang yang berdiri menikmatinya ada yang bawa tenda, kursi, tikar dan sebagainya. Haha lucu juga ya?
Setelah luncuran kembang api di udara dan pancaran warna di hotel BAL itu usai, semua berhamburan meninggalkan pantai. Ya ampuuuun … jalanan sesak oleh manusia dan mobil. Macet. Tiiiin tin tiiiiiiiin … pusiiiiing.
Sambil berjalan dan berjalan, kami berdoa, semoga dapat taksi, ya Allah. Semua penuh, semua isi. Tak terasa jam sudah menunjukkan angka 3 dini hari! Berarti kami sudah berjalan menyusuri jalanan yang dibatasi padang pasir itu setidaknya tiga jam. Kasihan anak-anak … mana udara makin dingin.
Sampai pada suatu ketika, kami melihat sebuah taksi dari kejauhan dan melambailah tangan kami. Yaiy, berhentinya tak langsung di depan kami tapi beberapa meter sesudahnya. Dan didepan sudah ada yang dapat dewi Fortuna, lima orang bule dewasa. Duh, hancur hati ini. Mana anak-anak sudah mengantuk, capek dan rewellll. Hiks. Alhamdulillah, salah satu dari kelima orang itu, seorang wanita, berunding dengan teman-temannya. Akhirnya, mereka memberikan kesempatan emas naik taksi itu kepada kami dengan alasan demi anak-anak kami. „Thank you very much, happy new year, God bless“, kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Semoga Tuhan memberikan pahala yang setimpal kepada mereka. Entah harus berapa kilometer lagi mereka harus berjalan dan berjam-jam lagi menunggu dapat taksi lagi.
Tak Simpang Lima (Semarang), tak pantai Jumeirah (Dubai) … ya, sama saja. Malam tahun baruan di tempat umum? Repotttttt! Mendingan di rumah saja.
***
Setelah semuanya, saya kembali berfikir. Oooo itulah sebabnya ayah ibu saya (dari saya kecil) lebih menyukai malam tahun baru bersama dirumah, nonton dari televisi saja. Ternyata mereka benar, lebih enak merayakan malam tahun baru bersama keluarga bukan di tempat umum. Penuh renungan, rengeng-rengeng (ngobrol), nonton TV bersama sambil nyemil, no party, no fireworks, no alcohol … tanpa hura-hura yang tak jelas dan belajar hemat.
Arghh … kapok. Tak di Semarang, tak di Dubai, kalau merayakan tahun baru di tempat terbuka dimana ada kerumunan manusia dan pesta kembang api, jadi repot. Apalagi kalau masih ada anak kecil. Tiada rasa aman dan nyaman. Home sweet home. Take care. Happy new year, folk. Semangat baru, tantangan baru, kawan baru, lembaran baru ... menanti di depan mata. God bless.(G76)