Sedih sebenarnya kalau mendengar ada banyak generasi muda Indonesia tak lagi melirik budaya daerah/nasional sendiri. Itu ketika dalam kondisi sangat kebarat-baratan (blok Amrik dst) atau ke Korea-Koreaan/ke Jepang-Jepangan ….
Sebenarnya ini sah-sah saja, tidak salah, bagus malah karena terbilang orang Indonesia open minded, jika saja juga diimbangi dengan tidak lupa, mencintai dan melestarikan budaya sendiri (lebih baik diutamakan). Mungkin memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Bagi anak yang dibesarkan dalam didikan budaya dalam keluarganya, mungkin lebih mudah. Sedangkan anak yang dari kecilnya sudah tidak terdidik ke arah ini pasti akan berbeda jalurnya. Tugasnya para orang tua juga tak hanya guru?
Lalu, apa kiat para seniman/seniwati Indonesia khususnya Jateng dalam menghadapi kekhawatiran kehilangan identitas bangsa di era global? Salah satunya adalah dengan mengawinkan seni wayang kulit dan seni wayang orang. Didalam musiknyapun dimasukkan unsur instrument modern/yang tidak masuk dalam gamelan Jawa (pelog dan slendro) seperti keyboard, gitar listrik, tor-tor dan sebagainya. Saya hanya bisa bilang “WOW” gitu.
***
Tanggal 20 Agustus 2010, acara Selamatan Indonesia telah kami tonton. Sebuah atraksi yang menarik, tak terkecuali bagi putri ragil saya yang waktu itu baru berumur 2 tahun. Wah, melek sampai pagi, anak cantik. Hebattttt, ora ngantuk ik!
Bapak dan kawan-kawan mendapat undangan khusus untuk hadir pada acara yang berkaitan dengan tujuhbelasan, HUT Ke-65 RI dan HUT TVRI ke-48 yang jatuh beberapa hari setelah acara (24 Agustus 2010) itu. Kami berdua ngintil bapak dan ibu (kebetulan suami dan dua anak tidak ikut karena mengunjungi seorang teman di Irlandia). Pagelaran kolaborasi wayang wong Sanggar Racaksari dari PLN pimpinan Ki Joko Gatotkaca yang dibarengi wayang kulit dengan dalang, Ki Joko Edan itu memang merupakan prakarsa Pepadi Kota Semarang dan TVRI Jateng. Believe it or not … sebuah kerjasama yang dahsyat.
Ya seru. Seumur-umur kalau saya lihat wayang wong ya wayang wong saja. Kalau pas nonton wayang kulit ya gunungan dan kawan-kawannya yang ditamati sampai pagi. Lha ini kok dicampurrrr. Alamak. Tiba-tiba saya membayangkan es campur yang warna-warni, segar, manis, menarik dan uenak. Ini setara !
OK. Mula-mula kami telah berada di depan panggung. Kursi belum begitu penuh. Petugas TVRI mulai melaksanakan tugas, MC mulai mengecek daftar acara. Beberapa penjual telah mulai menawarkan dagangannya, para niyagapun sudah mengecek gamelan yang ada. Para sinden duduk-duduk manis, touch up membenahi make-up, menyimak teks atau sekedar nggosip. Duh seneng lihat wanita-wanita Jawa itu , warna-warni dan gandes luwes tenan.
Usai sesi foto terencana dengan tokoh penting seperti ki Joko Hadiwijaya atau biasa dipanggil Ki Joko Edan, artis-artis WO yang bersliweran dan sebagainya, kami duduk di barisan terdepan. Mayan, motonya bisa deketan. Dapat banyak candid, lebih seru dan gambarnya lebih exciting dari yang diambil dari "sadar sedang difoto." Oh oh ... tamu undangan sudah pada hadir. Rakyat mulai merapat, mengisi kursi yang masih kosong. Aih, banyak pula yang berdiri.
Sambutan demi sambutan bergulir. Kepala Desa Nyemoh, Bringin, Bangun Pujiono membacakan teks Proklamasi layaknya Bung Karno dan Bung Hatta tahun 1945. Pekik merdeka membuat saya kaget. MERDEKA !!! Eh Merdeka. Iya ya, sudah Merdeka Indonesia nih ! Duh, orang semangat banget ngomongnya. Saking kencengnya sampai membuat kamera saya ikut kaget ngejepret prettt. Kepalan tangan orang Indonesia memang ora nguwati, nggak kuwat euy.
Begitu wayang yang jadi lakon « Bimo Ngaji » (ngaji, belajar Al-Quran, karena wayangan itu pada bulan Ramadhan) dipindahtangankan dari kepala TVRI Pucanggading (yang kalau tidak salah beliau bukan orang Jawa tapi ikut melestarikan budaya Jawa) kepada sang dalang, ki Joko, menandai acara segera dimulai. Kolaborasi WO dan WK ! Pukul 20.30, tariiiiikkk kecreknya, Pak dalang. Crek crek crekkkkk ning nong ning ….
Keunikan tak hanya campuran antara wayang orang dan wayang kulit jadi satu dalam satu panggung milik stasiun televisi yang ada di Pucanggading, Semarang itu. Lainnya adalah alunan musiknya. Sik sik sik … bukankah yang terdengar itu musik modern ? Hoiii … sungguh !!!! Keyboard, gitar, tor-tor, rebana dan lho lho lho … apa lagi ya ?
Yang ketiga adalah sinden-sinden berkebaya ungu melang-meling, yang biasa bersimpuh disekitar dalang dan niyaga (pemain instrument Jawa) itu, akhirnya juga ikut berdiri dan ngibing/menari bersama tokoh WO si Bagong, yang waktu itu diperankan bapak Jumadi. Wah wahhhhh … asoy geboy … karena sindennya sekinyis-kinyis (imut) macam Nurhana, istri dalang yang lagi maen dan tentunya seayu anak mantu dalangnya, Nova Jatinugroho. Wah, Gana lewaaat! Nomor-nomor tembang macapat klasik seperti “Dhandang Gulo”, ditautkan dengan campursari modern layaknya “Sambel Kemang” dan “Mari Kangen” menggebrak hati, menggoyang badan dan menyedot mata ratusan penonton. Wuihhh, sensasional!
Walahhhh-walahhhh … jangankan masyarakat lokal, saya sama dik Shenoa saja senengnyaaaa bukan main. Menikmati, meski adik keringetan lantaran udara malam tetap saja panasss. Sumuk.
Ya Tuhan. Indahnya sebuah alternatif pilihan bangsa dalam melestarikan budaya di era global. Agar masyarakat tidak meninggalkan, supaya generasi muda terpancing, dengan alasan pembaharuan, demi kemajuan seni budaya … mengapa tidak??? Ini memang jauh dari pakem klasik para leluluhur yang ada tetapi saya kira memiliki misi yang sama; mengusung budaya bangsa yang adi luhung. Four in one; wayang orang, wayang kulit, gamelan klasik dan musik modern! Mendukung, lanjutkan!(G76)
P.s: Ditulis dalam rangka meramaikan penampilan foto "memotret Gesture" Kampretos yakni dengan dua cara candid dan sesi foto terencana. Dua-duanya bisa menghasilkan foto yang bagus tetapi candid biasa lebih unik ya? OK. Untuk melihat karya teman kampretos lain, silahkan menjenguk link WPC 29: http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/12/08/weekly-photography-challenge-29-memotret-gesture-509281.html
Sumber:
1.Pengalaman pribadi
2.http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/03/122592/a