Istilah ibu rumah tangga sudah banyak dikenal orang. Sebelumnya tak pernah terpikir bahwa ini adalah sungguh-sungguh sebuah profesi. Kini saat benar-benar mendalami dan menjalaninya, saya mengangguk. Hey, ini profesi mulia dan seberat-beratnya, loh. Tak boleh dianggap enteng.
Lebih terhenyak lagi dengan realita di masyarakat Jerman yang sangat memaklumi dan menerima baik tak hanya profesi ibu rumah tangga tetapi juga bapak rumah tangga.
Bagaimana dengan kehidupan di tanah air dimana patrilineal alias kebapakan masih banyak dianut. Apakah profesi bapak rumah tangga bisa subur, diakui dan dijalani kaum adam hingga ini menjadi sebuah trend pengorganisasian rumah tangga di tanah nusantara bukan sekedar ISTI?
Bapak rumah tangga di Indonesia
Saat kuliah dan nyambi bekerja di radio, saya sempat mengajar di sana-sini. Salah satunya di sebuah bimbel bahasa Inggris. Seorang bagian marketing yang bekerja di sana bercerita bahwa ia bersyukur kini mendapatkan pekerjaan di bimbel meski gaji tak seberapa dan merasa masa depan karirnya suram. Sebelumnya, bertahun-tahun, ia menjadi bapak rumah tangga. Sementara istrinya bekerja sebagai marketing sebuah bank swasta di kota, ia harus melaksanakan tugas-tugas kerumahtanggaan sampai istrinya tiba di rumah. Tidak sampai disitu saja. Pada malam hari, istri selalu minta pijat lamaaa sekali. Capek katanya. Pernah sekali saya mampir ke rumah mereka, si istri suka menyuruh-nyuruh dengan nada manja melengking … ambil ini itu, beli ini itu …. Waaaah jadi ajudan setia.
Ledekan ini makin diperparah dengan munculnya film sejenis "Suami-Suami Takut Istri". Kumpulan para suami yang senasib kalah awu/abu dengan pasangannya. Mereka manis didepan istri tapi dibelakang ... wih!
Nah, ketika kami memperbincangkan hal ini di kantor, para pekerja yang kebanyakan wanita banyak menyalahkan si bagian marketing, mau-maunya diplonco istri hanya karena gaji dan posisinya di kantor lebih tinggi. Si pria hanya diam saja, memaklumi situasi dan kondisi rumah tangganya. Ya, istrinya memang tinggi semampai dan cantik, si pria bertekuk lutut padanya karena cinta. Terserah apa kata orang saja. Yang penting kehidupan mereka aman-aman saja. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Sip ! Lanjutkan ….
Bapak Rumah Tangga di Jerman
Saya tatap pria bertubuh 180 cm berat 80 kg itu. M, pria 43 tahun itu begitu ikhlas menjalani profesi sebagai bapak rumah tangga setidaknya sudah 12 tahun ini. Saya geleng kepala. Istrinya telah menghadiahkannya 3 putra-putri untuk diasuh di rumah (12, 10 dan 3,5 tahun) Memang sejak menikah, pasutri itu telah berunding. Lantaran karir istri lebih baik (waktu itu sebagai polwan rendahan), M mengalah ia tinggal dirumah dan sesekali menerima tugas-tugas konsultasi asuransi. Kerja jadi honorer yang bisa dilakukan dari dalam rumah saja.
Tidak ada kekerasan dalam rumah tangga (dari fisik atau verbal sekalipun), masing-masing mengerti nan menikmati tugas dan kewajiban yang telah disepakati. Keduanya tak pernah mengeluh. Setiap pagi ibu berangkat ke kantor sampai sore sedangkan ayah membantu keperluan anak-anak seperti mengganti baju, menyiapkan sarapan pagi/siang, mengantar ke sekolah dan merawat rumah seisinya. Sebuah organisasi rumah tangga yang mungkin tidak biasa di Indonesia. Jika ada mungkin segelintir dan cara pandang masyarakat masih lain padanya.
Sebab penasaran, saya kejar ia dengan berondongan pertanyaan. M telah lama belajar di universitas. Jurusan managemen. Ia bahkan terkenal mahasiswa yang jenius. Tapi urusan mencari pekerjaan, Dewi Fortuna tak berpihak padanya. Terakhir, ia berprofesi sebagai Popo schuckt (?) yaitu tukang dorong pantat anak-anak ketika mereka naik lift menuruni dataran tinggi bersalju. Saya berkernyit, sarjana? Tak usah kuliah kalau akhirnya kerjanya cuma begitu barangkali tapi ya, nasib. Ia menimpali, yang penting apa yang dilakukannya halal dan sesuai dengan waktu luangnya sebagai bapak rumah tangga menambah kesibukan. Apalagi lokasi rumah tak jauh dengan lokasi tempat wisata itu.
Ketika bertemu dengan pasutri itu dalam sebuah perayaan ultah, terlihat memang si wanita lebih kuat. Saya tidak tahu apakah ini dari karakter asli atau dari pengaruh profesi polwan; keras, disiplin dan tegas. Sementara si lelaki terkesan sebagai sosok yang menerima apa adanya, sabar, agak lembut dan lucu. Hehe … saya tangkap ini bukan ISTI-ikatan suami takut istri,mungkin lebih pada pemahaman karakter pasangan saja sehingga suami sebagai pawang mengerti cara menaklukkan istri dengan kelembutannya. Sedangkan orang yang tidak kenal kedua suami istri itu pasti menganggapnya ISTI.
M bukanlah satu-satunya pria Jerman yang saya kenal, yang telah lama menekuni profesi sebagai bapak rumah tangga (di rumah seharian untuk merawat anak-anak dan rumah selama istri bekerja full). Phenomena ini membukakan mata hati saya, kalau kaum adam saja bisa sukses menjalani profesi ini … sebagai wanita, saya juga tak harus kalah. Tugas rumah tangga? Hiya! Tangan sudah bak dewi bertangan banyak …. Laksmi.
***
Dari kedua orang tersebut diatas yang memiliki profesi yang sama, bapak rumah tangga, ada sebuah perbedaan yang mencolok. Di Jerman, ini diakui sebagai profesi wajar yang tidak malu-maluin. Istripun tidak akan semena-mena memperlakukan bapak rumah tangga sebagai pembantu. Lalu anggapan masyarakat juga tetap positif.
Berbeda dengan di Indonesia yang memang sosial kulturnya berbeda. Ini bisa dianggap tidak model, tidak jaman, jambu mete, malu, atau apa ya? Kalau dilihat dari organisasi tugas rumah tangga dan masa depan ekonomi kedepannya lebih bagus, mungkin saja ini dicoba. Sayang jika talenta istri yang tinggi, penghidupan yang lebih baik lewat lantaran alasan suami wajib bekerja di luar rumah, ibu tinggal di dalam rumah saja. Secara mentalitas mungkin memang belum siap …. Baiklah apapun profesi masing-masing, patut disyukuri.(G76).