Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kelinci; di Indonesia Jadi Sate, di Jerman Jadi Hewan Kesayangan

5 November 2012   10:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:57 1261 6

Lagu-lagu Indonesia ada yang menyentuh soal kelinci seperti „Kelinciku“, „Gang Kelinci“ dan „Trowelu“. Saya pandang ini merupakan sebuah pertanda ada kecintaan tersendiri dari beberapa masyarakat Indonesia pada binatang kelinci.

Dalam kehidupan sehari-hari, kelinci di tanah air justru banyak saya kenal untuk dijadikan sate. Disini, saya hanya kadang-kadang saja mendapati daging kelinci tergolek di rak dingin swalayan. Harganya sekitar 12 euro, tergantung besar kecilnya. Kebanyakan adalah yang di-es kan. Lebih jauh lagi, kelinci di Jerman sangat terkenal sebagai hewan kesayangan rumahan, hewan yang bisa dipamerkan karena keunggulan cara merawat dan mengembangbiakkannya. Ini terbukti dari pameran kelinci tiap tahun yang diselenggarakan klub didaerah tempat kami tinggal.

***

Sebuah pameran kelinci selalu digelar setahun sekali di kota kami. Saya kira ini juga jadi kegiatan menarik di daerah lain di Jerman karena banyak penyuka kelinci sebagai hewan piaraan membentuk klub …..

Pintu aula kami buka, dudukan telah penuh oleh masyarakat Jerman yang menikmati kue, minuman dan makan besar lainnya.

Di sudut, berjajar kandang para kelinci. Tertulis data lengkap dari si hewan. Mulai dari panjang dan berat badan (1-7 kg), jenis spesies (Zwerghase/kecil sampai Riese/raksasa), bulu (warna ; abu, coklat, tiga warna, flek, hitam, putih), penilaian dari tim kesehatan dan sebagainya.

Pengunjung yang terdiri dari anak-anak sampai lansia itu amat menikmati detil masing-masing kelinci. Keuntungan yang mereka dapat adalah tak perlu membayar karcis masuk, bertemu dengan sesama pecinta kelinci, berkumpul bersama keluarga di hari minggu sembari makan dan minum, dipersilahkan mengelus kelinci dari balik jeruji atau dengan membuka pintu kecilnya serta mendapatkan doorprize dengan hadiah menarik jika beruntung. Sensasional !

Kelinci putih seberat 7,4 kg merupakan kelinci terbesar dari puluhan yang dipamerkan. Prestasi ini menurun dibanding tahun lalu, dimana kelinci seberat 10 kg hadir ! Ya sudah, no worry … piala tetap dibagi bagi yang memiliki nilai sehr gut (red : sangat bagus/memuaskan), kok.

Kami telah usai mengelilingi ratusan kelinci itu. Bola matanya yang khas, mimiknya yang unik saat minum atau menjilati bulunya, lompatannya yang menggemaskan, bulunya yang sehalus kapas … ah, mempesona tiada tara. Tak rugi kami menyempatkan diri untuk mendatangi.

Sebelum meninggalkan ratusan kelinci itu, saya bercakap-cakap dengan suami , mengingatkannya akan kenangan menyantap sate kelinci di Bandungan atau di Bendan, Semarang. Saya tak menyangka bahwa dibelakang kami, seorang gadis kecil mendengarkan bisikan saya dan langsung protes :

« Oh, arme Hase … bitte nicht ! »

Memang selama ini saya belum pernah menemukan sate kelinci di Jerman. Kata si gadis berambut blonde, kasihan sekali kelinci disembelih untuk disate karena patutnya disayang-sayang.

Saya mengerti perasaannya, anak kecil yang dirumah memiliki seekor kelinci itu pasti tak tega membayangkan piring yang dihidangkan didepan matanya adalah hewan kesayangan. Ini sama halnya dengan anak-anak kami. Ya. Dahulu sewaktu masih memiliki kelinci di kandang kebun belakang rumah, anak-anak selalu mengernyitkan dahi dan tak mau menyantap sajian masakan saya yang berbahan baku kelinci (sup kelinci, kelinci oven atau kelinci goreng). Jadi harus masak menu alternatif lain untuk mereka, deh ….

Oh ya … kami tinggal di daerah pegunungan yang dikitari hutan dan gunung, selain rubah, kelinci liar sering berkeliaran dimalam hari. Sayang mereka tidak bisa dikandangkan bisa mati jika dikandangi, lompat-lompat terus, pengennya bebas.

Masyarakatnya memang rata-rata amat mencintai hewan. Kelinci menjadi salah satu hewan yang masuk rumah (ruang tamu, kamar tidur/kasur) selain anjing dan kucing ! Padahal baunya … dasar anak-anak, mereka tak peduli asal hati riang. Kandang harus dibersihkan minimal seminggu sekali, ya?

Biasanya pemilik kelinci piaraan memiliki dua kandang. Satunya berwujud sangkar berjeruji metal dan bisa dimasukkan kedalam rumah, satunya lagi dari bahan kayu alias kandang kokoh yang bisa diletakkan di luar. Jenis kelincinya biasanya Zwerghase, yang mini harga 10 euroan.

Beda lagi jika kelincinya lebih besar dan lebih banyak, bisa memiliki kandang/gudang khusus untuk kelinci seluas garasi mobil. Beberapa pemilik kelinci massal yang saya kenal, agak kerepotan jika harus pergi jauh dan lama … takut kelincinya sakit/mati tak terurus. Ada yang harus gantiin jaga. Tambah mereka yang hobi piara kelinci, kelinci tidak akan disembelih kalau sudah tua, dagingnya alot seperti sandal, tak enak dimakan. Untuk yang jenis raksasa terbilang mahal, mereka impor dari Amerika segala.

Makanan? Saat musim panas para kelinci adalah Löwenzahn (red: rumput hijau yang berbunga kuning) yang biasa tumbuh di kebun bahkan tanah lapang atau biji-bijian dari toko yang dipatok kira-kira 1 euroan/kg. Tak jarang roti yang telah mengeras , wortel dan apel yang ternyata amat disukai hewan pengerat ini. Selain itu mereka membutuhkan Stroh atauHoi alias rumput kering. Selain sebagai penghangat, mereka juga suka menggigit bahkan memakannya sampai habis.

***

Begitulah pernak-pernik babagan kelinci dan pameran tahunannya.

Apakah Anda penyantap sate kelinci? Hati-hati jika ingin bercerita soal kelezatannya kepada para pecinta kelinci. Ini tak ubahnya cerita saya soal kodok yang di Indonesia dijadikan Sweeke sedangkan di Jerman dilokalisasi (lengkap dengan sangkar, tanda peringatan lalin untuk hati-hati pada jam tertentu saat melewati wilayah yang banyak dihuni para kodok Jerman).

Wah. Di Indonesia, kelinci sering jadi sate … di Jerman jadi hewan kesayangan. Cara pandang yang berbeda tapi tidak untuk dibeda-bedakan. Tetap indah. (G76).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun