Menjadi duta besar adalah salah satu cita-cita saya sejak kecil. Bayangan saya, jadi duta besar kayaknya bisa keliling dunia gratis, asyik! Tetapi ternyata untuk menjadi duta besar itu tak mudah. Lalu jadi duta-duta lain bagi Indonesia ... otak saya belum encer … apalagi muka saya pas-pasan, badan saya pendek, kulit saya hitam dan hidung saya tak mancung. Saya hanya bermimpi. Untung saja saya ingat untuk tetap bersyukur dan tahu bahwa mimpi adalah bagian dari masa depan. “Make your dreams and catch it if you can .…”
Hore, tak bisa jadi dubes tapi bisa keliling dunia berkat LSM dan keluarga saya! Dan kejadian-kejadian yang menakjubkan serta menegangkan dalam perjalanan ke manca itu membuat saya makin ingat Tuhan dan yang terpenting, meski tlah jauh … I love you, Indonesia!
***
1.Philipina (1994, 2001)
Suatu hari di kota Cebu, kunyahan Annamae itu tampaknya menandakan ia sangat menikmati sajian. Saya ikuti melahap lauk pauk dan sepincuk nasi. Alas daunnya menambah harumnya makanan. Wow, makan di Philippina serasa di warung Indonesia. Sembari mengunyah, saya tanyakan pada siswa keperawatan berkacamata itu. Katanya, makanan yang dihidangkan adalah; nasi, sayur mayur khas Cebu dan … babi.
Saya langsung lari ke toilet, huekk … memuntahkan isinya. Ya Allah, saya tak sengaja. Saya yang waktu itu masih kelas 3 SMA kelas A3, sosial, hanya meringis. Kok panitia tak bilang ya? Padahal sudah saya isi formulir dengan keterangan, “No pork and no alcohol.” Ah, lebih ngeri lagi membayangkan tawaran makan balut oleh Romeo, telur bebek yang sudah berbulu!
Selain itu, yang saya ingat pada negeri Corry Aquino ini; 3000 sepatu Imelda Marcos hasil keserakahan dan arogansi, Barong dan rok perempuan yang aduhai, bahasa Inggris remajanya yang hebat, perawatnya yang tersebar di seluruh dunia dan Jeepney, transportasi umum yang unik.
2.Malaysia (2001)
Kami baru saja bertugas meeting lalu memutuskan untuk sekalian menantang Kuala Lumpur; bertahan hidup tiga hari tanpa tujuan pasti. Di hari pertama kami menginap di sebuah aula karate milik seorang kenalan. Dalam mencari penginapan gratis berikutnya di KL, kami mampir makan. Seorang pemilik warung nasi Lemak di Ampang point, Kuala Lumpur menyapa kami dan menyuruh pegawainya melayani di sebuah meja. Karena dipanggil BUDAK, saya agak salting. Teman saya buru-buru menjelaskan bahwa BUDAK itu panggilan untuk anak-anak di Malaysia. Satu rumpun, lain maknanya.
Usai makan, si empunya warung mengajak mengobrol. Ternyata semua orang Indonesia! Wah … saking gembira dan kasihannya dengan niatan kami, empok menawari tinggal dirumahnya. Syaratnya mudah; membantu pekerjaan di warung nasi lemak. Bahkan pacar si makcik yang sopir taksi menawarkan jasa transportasi gratis keliling KL. Huyyy … terima kasih, Tuhan. Engkau ada dimana-mana.
Cakaran menara kembar Petronas di Kuala Lumpur pada langit, seliweran lalin, belanja di pasar seni, naik KRL … seru. Apakah mereka benar-benar truly Asia?
3.Thailand (2003)
Saya atur jadwal penerbangan agar saya bisa dua hari di negeri gajah. Memang agak repot karena ransel sebesar saya itu berat. Usai berjalan-jalan dengan rute bis yang bisa didapat di bandara Bangkok, saya kembali lagi ke bandara untuk tidur. Esoknya, sikat gigi dan makan diluar. Lagi-lagi menggunakan jasa bis yang ada di airport. What a challenge! Untung saya sehat dan selamat.
Dalam jalan-jalan disebuah kawasan mirip Malioboro, saya bertanya pada salah satu pedagang souvenir disebuah tempat yang saya lupa namanya. Diantara kehidupan malam dan jualannya yang macam-macam, turis bersliweran di sana-sini. Si lelaki menjelaskan bahwa barang souvenir dagangannya itu ia impor dari Bali. Buntutnya saya tak jadi beli. Buat apa bawa souvenir, toh bukan buatan Thailand tapi Bali.
Negeri itu sepintas mirip Indonesia dengan kesemrawutan lalu lintasnya, warung-warung yang bertebaran dan wadag orang-orangnya (baru tahu kalau sudah ngomong Thai). Semoga Indonesia bukan pusat penyebaran HIV yang mengerikan seperti mereka (ingat HIV/AIDS center di Thailand).
4.Jepang (2001, 2004)
Pertama kali berkunjung, saya dijemput dibandara oleh seorang teman yang diutus organisasinya. Keluhannya muncul bukan lantaran menyetir jauh tapi karena iuran tol yang mahal. Pada kesempatan berikutnya saya lebih memilih kereta saja, meski ada berita bahwa ada tangan bergerilya tak hanya ke kantong tapi sampai dada.
Tahun berikutnya, membuat saya jadi trauma makan ikan (khususnya yang mentah). Ikan adalah makanan yang banyak dilahap orang-orangnya. Merasa gaya sebagai penyuka ikan, saya coba bergabung bersama teman-teman untuk reuni di sebuah resto. Menu yang kami pilih macam-macam sea food mentah dengan beragam kecap. Ternyata, nyali saya kecil. Hiks. Daging yang belum matang itu memaksa meloncat dari rongga mulutku. Segera lari ke kamar kecil dan muntah … huekkk!!! Kapok.
Kegaduhan diri tak hanya soal ikan. Guncangan gempa bumi yang pernah saya rasakan waktu itu di kantor sebuah LSM, 10 kali dalam sehari masuk dalam list. Wih, ngeri ah … kok teman-teman Jepun tenang-tenang saja? Bahkan mereka kegelian melihat saya panik mau turun tangga dari gedung.
Disneyland Yokohama, kelenteng-kelenteng yang bertebaran di kota-kota kecil, Shibuya … itei … kantong jangan cepat bolong.
5.Nepal (2004)
Trauma diajak ke ranjang GM hotel di Kathmandu diobati oleh pengalaman naik gajah yang seru. Security check regular dimana-mana, belanja baju sari dan makan curry tiap hari. Wah, wah … negeri dengan pemandangan pegunungan Himalayanya ini begitu eksotik menarik hati. Sayang perbedaan gender masih membuat gerak wanitanya terbatas. Mungkin lain kali lebih bebas.
Baiklah … Khatmandu, Phokara, Bhorle adalah kota yang penuh memori. Momo, bakso dari daging kerbau asal Mongolia itu tak pernah terlupakan, telah memasuki rongga saat makan.
6. Hongkong (2004)
Karena membawa ransel besar dan tas tangan bertrolley, jalan-jalanku terasa terseok-seok. Beristirahat di sebuah taman kota, saya lihat banyak para wanita dari segala umur berkumpul danbercanda. Dari ketawanya, saya duga mereka pasti orang Asia. Hahaha ….
Seorang perempuan yang mengaku dari Philipina duduk didekat saya, menanyakan saya TKW dari mana. Bingung mau menerangkan bagaimana saya mojok di zona ini, saya jawab singkat, dari Indonesia.
Si Pinay langsung nyerocos, menceritakan suka dukanya bekerja pada majikan di negeri ini. Capek mendengarkan si embak dengan seksama, saya pamit naik bis menuju dermaga. Menyepi, memandangi pelabuhan, kapal dan orang-orang yang lewat. Segarrrr!!!
7.Denmark (2003)
Seorang professor berada di samping saya, dalam sebuah lawatan ke pulau Aarhus dengan sebuah kapal. Saya tersanjung karena image orang Indonesia dimatanya adalah open minded dan friendly. Kedekatan kami membuat dosen sebuah universitas itu tertarik untuk berkunjung ke tanah air, bertemu dengan orang-orang yang ramah dan kekayaan alam negeri kepulauan yang indah. Bangga.
Tiga bulan sudah. Bering, Kopenhagen, Aarhus, Odense … Brenderup menyisakan cerita perjalanan yang panjang dan berbeda. Tugu putri duyung di pelabuhan Kopenhagen itu akhirnya terjamah. Legenda HC Andersen yang berabad-abad didengar orang, tak hanya oleh anak-anak dirumah.
8.Belanda (2003, 2006, 2009, 2011)
Usai meeting bersama organisasi rekanan di Utrecht …
„I’ll send you to this address, you don’t need to pay …” seorang supir bus gandeng yang segera usai tugas itu mengembalikan secarik kertas yang saya sodorkan dan justru menawari saya untuk mengantar hingga tempat tujuan. Mungkin ia merasa kasihan dengan beban di pundak dan kebingungan yang tersisa di gelapnya malam. Bus bergerbong dua nan panjang itu mengantar saya hingga gang kampung rumah teman saya.Dank, Mister. Terharu. Ternyata ada orang baik dan menolong juga saat tersesat di Belanda.
Mengitari kompleks, saya tertegun. Rumah teman (yang pernah menginap dirumah orang tua saya itu) tertutup rapat. Tak ada siapapun dirumah. Sedangkan HP saya batereinya habis. Saya beranikan diri mengetuk pintu tetangga sebelahnya. Pasangan itu begitu baik mengijinkan saya masuk dan menelpon HP teman saya lewat telepon dirumahnya, „I’m already here.“