Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Perlukah Perjanjian dengan Anak Dibuat?

22 Maret 2012   09:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:37 491 1

Kata pepatah: kecil-kecil anak kalau sudah besar menjadi onak? Ah, semoga saja tidak …

Memiliki anak yang telah memasuki masa puber memang berbeda saat anak masih bayi/kanak-kanak, ada saja cobaan mental yang terjadi. Sebagai orang tua, kadang ada rasa kesal dan tak sabar … saya juga manusia biasa.

OK, sebagai orang tua, tak patah arang menempuh segala cara, termasuk berbicara dari hati ke hati kepada anak adalah penting …

***

Suatu kali, kami berbincang dengan anak sulung. Dari hasil perundingan, kami telah memberikan pengertian bahwa tahun ini, ia telah berusia 12 tahun (kelas 6) yang berarti beban dipundaknya sudah mulai terasa. Beberapa tugas yang kami tekankan adalah membuat PR, belajar dan membersihkan kamarnya. Urusan lain-lain adalah nomer sekian atau hanya sebagai bukti kerelawanannya selaku anggota keluarga saja. Nah, sebagai award untuknya, ia diperbolehkan untuk berkuda di sebuah ranch yang letaknya 5 menit dari rumah. Kami amat memahami bahwa kuda adalah nomer satu dalam hidupnya. Deal.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, kami mengevaluasi. Usai perjanjian tak tertulis itu, ternyata, ia tak mengerti diskusi terdahulu. Anak kami itu saya pikir telah memasuki masa puber (maaf, jika saya periksa celana-celananya sebelum dicuci, sepertinya ia telah mengalami mimpi basah) sehingga mungkin saja mengalami masa yang agak sulit dari masa sebelumnya. Meskipun demikian, saya amat menyayangkan jika si bocah masih belum juga berubah dari tahun sebelumnya. Ia masih malas mengerjakan PR hingga mendapat kartu peringatan berulang-ulang dari sekolah, tak mau belajar sebelum tes hingga nilai ulangannya jeblok dan kamarnya yang luas berantakan (setelah masuk Gymnasium kelas 5, ia saya beri wewenang untuk merapikan kamarnya sendiri demi melindungi harta dan rahasia pribadinya dan hanya sesekali saja saya re-cek).

Walhasil, si ayah tetap mengijinkannya berkuda setiap sabtu dengan alasan demi jaringan sosial (anehnya psikolog menganjurkan hal yang sama dan neurolog kami menentangnya). Excuse me??? NATO (No Action Talk Only) … saya merasa bahwa ini tidak bisa dibiarkan, karena akan menjadi contoh bagi kedua adiknya. Serasa tak fair jika si sulung mendapatkan permakluman meski tidak menunjukkan itikad yang baik sedangkan kami mulai mempersiapkan anak kedua (masuk SD kelas 1 bulan September 2012 nanti) untuk mengikuti aturan penghargaan dan konsekuensi demi kemajuan proses belajar di sekolah.

Saya mulai melempar argumen kepada suami dan anak. Hasilnya, kami terlibat lagi dalam perundingan dan lahirlah sebuah Vertrag (red: perjanjian di atas kertas) tertanda anak, ayah dan ibu. Tujuan dari hal ini adalah agar ia belajar soal konsekuensi, hak dan kewajibannya secara bertanggung jawab dan tidak lupa/melupakannya secara sengaja lantaran tertulis diatas kertas!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun