4. AV, 30 tahun. Wanita keturunan Jawa Timur-Belanda itu bersikeras menjadi relawan LAMP selama 1 tahun.
Selain ingin menambah ketrampilan berbahasa Indonesia, menyusuri garis keturunan bundanya di Jawa Timur, ia ingin mendalami praktek mengajar (karena ia mahasiswi doktoral jurusan pendidikan di Amsterdam). Pertama, ia ditempatkan di sebuah polikes negeri, akomodasi ditanggung rame-rame oleh para dosen. Wanita semampai ini mengeluh bahwa ia harus pindah-pindah dan bongkar pasang koper besarnya. Hingga suatu hari, seorang dosen single menawarkan kos-kosannya untuk ditempati dalam jangka panjang. Tentu saja perempuan berambut coklat itu tak menolak, apalagi si pria memiliki beberapa kuda piaraan!
Riding horse is her hobby! Buntutnya, mereka dekat, pacaran dan menikah. Duh, bahagianyaaa ... dunia serasa milik berdua yang lain mengontrak. Selamat ... selamat ...
ndherek manghayubagya ... 5. JL, 28 tahun. Perempuan asli USA itu gembira bukan kepalang lantaran ia diterima untuk mengabdi pada sebuah organisasi yang menangani para pekerja seks di lokalisasi Sunan Kuning Semarang. Maksud hati wanita berambut rasta itu adalah
untuk mengetahui seluk beluk para kupu-kupu malam itu, dampak sosial pada masyarakat awam yang juga tinggal sekampung, membantu program organisasi dalam menangani mereka (penyuluhan, simulasi, imunisasi/pemeriksaan kesehatan dan lainnya), dan tentunya bertukar pikiran dengan relawan asing lain yang bergabung. Lain lagi dengan koleganya, KL, 27 tahun. Bujang Belgia itu jadi kecut hatinya lantaran beberapa pekerja seks justru menawarkan jasa mereka tanpa bayaran! Bukan salah bunda mengandung kalau tampilan bulenya jadi magnet, xixixix ... Akhirnya ia lega kami pindahkan ke tempat lain dan menemukan bunga hati untuk dinikahi. Alhamdulillah ... 6. KY, 23 tahun. Pemuda asal Seoul bersemangat untuk bertugas di sebuah sekolah YPAC di sebuah daerah pegunungan
karena merasa beruntung dilahirkan tidak cacat. Ia amat menikmati hari-hari bersama mereka sebagai guru seni dan olah raga bagi para tuna rungu dan tuna grahita itu. Sayang, entah karena kesalahan organisasi pengirim atau imigrasi Korsel, jenis visa yang ia miliki tidak valid. Visa pendidikan yang ia dapatkan ternyata tidak berlaku dan diketahui imigrasi setempat ketika akan diperpanjang. Tobat, gegerlah kami dibuatnya! Ia dideportasi imigrasi dan kembali ke Korea. Setahun kemudian, ia kembali ke tempat tugas yang sama dengan visa sosial yang benar. Wuihhhh membayangkan betapa remuk hati dan kantong miliknya untuk kesalahan yang terjadi.
Well ... karena mengalami berbagai kendala soal perijinan dan selanjutnya, suatu hari pernah kami berbincang-bincang dengan direktur CCIVS UNESCO yang membawahi LSM kemah internasional seluruh dunia, tentang visa. Harapan bahwa suatu hari nanti
ada visa khusus relawan akan terwujud. Di lain sisi, dukungan pemerintah khususnya imigrasi amat dinanti (entah esok, lusa atau suatu hari nanti). Dari cerita relawan diatas, semoga menginspirasi semua bahwa pada banyak kasus, keputusan menjadi relawan itu sebuah tugas dari hati nurani setiap manusia dari belahan dunia manapun. Jika relawan asing saja berbondong-bondong ke tanah air; mengorbankan beragam kepentingan, menghabiskan gundukan uang, meluluhlantakkan energi lahir batin yang luar biasa, kepusingan akan problema visa, kesulitan beradaptasi dengan makanan/hawa/karakter/budaya masyarakat lokal, memendam kerinduan akan kampung halaman dan keluarga yang jauh ... kita orang Indonesia jangan mau kalah. Mari memulai dari lingkungan yang dekat ... meski
berjiwa sosial seadanya, tanpa pura-pura atau tiada salah praduga. Sumber: pengalaman dan dokumentasi pribadi (dari kaos IIWC PKBI Indonesia)
KEMBALI KE ARTIKEL