Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Pengalaman Menjadi Tukang Kayu di Jerman

2 Februari 2012   14:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:08 1561 10

Jederrr … musim salju. Yaiy! Jumat, 3 Februari bakalan disambit minus 19! Ini sedingin freezer di dapur. Yup … winter meninggalkan kesan nano-nano. Mulai dari kesenangan bermain tepung putih yang dingin (ski dan meluncur), merasakan sensasi dikulit atas turunnya butiran halus itu dari langit, hingga kesedihan menyerok salju setinggi lutut dari halaman agar tak menutupi jalan, menebar garam di halaman rumah atau pedestrian agar tak licin daaaan … menjadi tukang kayu!!!

Excuse, me … tukang kayu? Di Jerman? Maksudnya??? Begini teman-teman kompasianer, rumah kami adalah rumah gaya tradisional rakyat Blackforest berusia setidaknya 30 tahun. Jadi ovennya masih kuno, sistem bahan bakar kayu dengan Heiße Boden Heizung-nya. Keuntungannya adalah lantai yang dipijak hangat, hasil dari pembakaran oven raksasa yang menjalar ke seluruh rumah. Kalau tidak waaaa ….

Memang oven berbahan bakar kayu ini tergolong murah. Satu tahun bisa mencapai kurang dari 1000 euro, let’s say diatas 500 euro (1 euro=Rp 12.000an) untuk 10 meter kayu. Sedangkan dengan bahan bakar minyak yang biasa dikirim dengan mobil tangki besar itu minimal membutuhkan 1000-2000 euroan hingga mampu menghangatkan ruangan rumah seluas 350 meter persegi. Bagi mereka yang memilih gas bumi dan solar, harus berinvestasi besar-besaran untuk instalasi dan peralatannya itu. Hiks, merogoh kocek yang tidak sedikit tentunya. Ya sudahlah … untuk sementara, kami memilih yang termurah tapi terberat.

Mengapa terberat? Hahaha bayangkan saja, kita harus memesan kayu dari Gemeinde (red: pemda setempat) sebelum mendapatkan kayu. Bahkan ada lelang seperti Reissverschlag (red: mengambil kayu berserakan di hutan yang sudah ditebang oleh Forster alias petugas kehutanan dengan harga satu lahan 15-50 euro). Haduh yang ini repot lagi karena mencari kayunya harus berpencar, apalagi kayunya jenis Tannen alias enteng, cepat terbakar dan biasanya hanya untuk menyulut di awal saja. Dahulu kami biasa memesan dua, kayu yang tebal seperti Buche (red: kayu berat dan tebal), dan Tannen ini. Kini Tannen kami ganti parafin, small but fine. Mak wusss …

Begitu tiba di hutan, golekan kayu yang biasa satunya, 2 meteran itu, dipotong sepanjang 30 cm oleh suami saya. Saya kebagian menggulingkannya hingga gerobak dan memasukkannya. Wahhh lah saya berat tubuhnya saja hanya 40 kg, sedangkan satu glondong itu setidaknya 10-25kg. Wis wis … otot kawat balung wesi tenan … (red: butuh otot yang kuat untuk mengangkatnya bak gatutkaca mengangkat Gada Rujakpalanya).

Penggunaan kayu biasanya menunggu hingga kering dan biasanya kentara ketika tumpukannya menyusut/menurun. Untuk itulah kayu untuk tahun ini telah dibuat tahun lalu dan seterusnya. Istilahnya, ‘sedia payung sebelum hujan‘.

Saya tidak tahu karena climate exchange alias salah mangsa ini membuat orang happy atau totally sad? Senang karena persediaan kayu awet tak perlu membakarnya sesering masa lalu, karena temperatur udara pada musim salju yang terlalu tinggi alias hangat. Atau sedih karena merasa alam sedang sakit, sebagai akibat dari kerusakan lingkungan oleh polusi yang diproduksi manusia di bumi. What do you think?

Setelah ditata rapi, pekerjaan tak berhenti begitu saja. Jika ingin membuat perapian di ruang tamu atau di oven besar di Keller, saya/suami harus mengambil beberapa dan menggunakan Schubkarre (red: songkro/dorongan dari metal dengan satu roda didepan) dari luar ke dalam Keller atau Wohnzimmer (red: ruang tamu). Brrrr … dingin dan berat.

Ayayay … kayu yang dimasukkan kedalam tungku besar itu habis dalam waktu 1-2 jam, sehingga harus selalu diperiksa dan diisi lagi oleh kayu-kayu yang menanti.

Oalah … ‘alah bisa karena biasa‘. Mungkin membaca atau membayangkannya sudah mumet duluan sebelum benar-benar menjadi tukang kayu yang ternyata tak hanya ada di pedesaan Indonesia atau negeri dongeng! This is a real life, face it or you are dying here.

Nahhhhh kalau orang mengira hidup di luar negeri itu adanya cuma luxurious, travelling, shopping, hip-hip ceria … hahahhaha … saya hanya bisa memaknainya sebagai: „Tak ada makan siang yang gratis …“ (meniru jamuan GM radio tempat saya dahulu siaran) atau ‘rumput tetangga lebih hijau’. Bersyukur dengan apa yang dimiliki, itu jalan terbaik.

Acara memotong, menggotong, mengirim, membelah, menata dan membakarnya menjadi langganan kami dan beberapa orang kenalan di Jerman, setahun sekali alias annual, layaknya ulang tahun. Berani mencoba tantangan menjadi tukang kayu di Jerman??? Rasakan sensasi pembentukan otot tangan dan kaki tanpa fitness center … trok tok tok genjrennngg!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun