Pada masa kanak-kanak, saya masih mengalami masa-masa menimba air dari sumur, dengan pompa jungkat-jungkit atau dengan tandon bawah tanah.
Those were really exciting and unforgettable. Sayangnya karena sekarang masyarakat sudah tergantung kepada PAM, sumur-sumur ditutup dengan elegan. „Jika membangun rumah baru lebih baik pasang sanyo saja ... ngiiiing", begitu bahkan kata beberapa teman. Saat mudik ke Indonesia, sumur tradisional amatlah jarang saya temui di kota, alhamdulillah masih bisa terlihat di beberapa pelosok desa. Hiks. Masih ingat dikepala ini saat orang tua saya hendak membuat dua buah sumur, satu di depan rumah, dan satunya didalam rumah. Wah, ngeri juga kalau melongok kedalam, hiyyy .... Ah, repot dan mahal juga pembangunan sumur untuk
golek lemah (red: golongan ekonomi lemah). Tapi demi menantang musim kemarau yang kering kerontang, tak ada kata
mission impossible. Sesekali terdengar perbincangan tukang-tukang yang saya layani makan dan minumannya itu, ternyata ada beberapa persyaratan untuk membuat sumur antara lain; berjarak 3-5 meteran dari
septictank (red: tempat menampung kotoran dari WC). Lalu bis-bis beton yang dipasangnya membutuhkan sebuah strategi pengangkutan, penanaman dan penyemenan yang akurat. Tukang yang
nduduk (red: menggali dan memasukinya) juga harus hati-hati karena semakin dalam kedalaman sumur, makin besar kemungkinan gas beracun muncul dan membuat tukang bahkan bisa meninggal terbius maut malaikat. Walah, gajinya berapa, taruhannya nyawa ... Kang. Hiks,
better to leave it? ***
Brunnen (red: sumur resapan)
KEMBALI KE ARTIKEL