Pada masa kanak-kanak hingga remaja, setiap hari saya bisa bertemu dengan sosok bernama IBU. Ketika menikah, setiap hari masih bisa mampir sebentar dan seminggu sekali duduk bersama dan mengobrol sedikit lama. Ditambah lagi pertemuan keluarga lain termasuk arisan. Byuh, biyuuunggg … dunia betapa indahnya.
Kangen ibu
Ibu saya adalah sosok yang lebih dekat dengan anak-anaknya. Kekaguman pada wanita halus, sederhana nan sabar sedunia itu tak pernah pudar. Sedihnya, kami harus berpisah lantaran saya tinggal jauh di perantauan. Kalau boleh memilih, saya ingin tinggal berdekatan dengan bunda yang melahirkan (tapi kok masa depan anak-anak lebih makmur di Jerman, ya?). Nampaknya, pilihan saya hanyalah angan-angan belaka. Mungkin saja ini sebuah mimpi yang belum kesampaian. Takdir sebagai suratan-Nya. Hiks.
Sebuah keinginan yang kuat rasanya membalas budi baik beliau dari mengandung hingga membesarkan saya, apalagi di usia beliau yang tak muda lagi yang tentu saja merupakan usia mendekati gerbang kematian. Saya teramat takut kehilangan seorang ibu. Nilai-nilai ini selalu saya perdengarkan pada anak-anak sebelum tidur; ibu adalah segalanya, that’s why … Allah meletakkan surga dibawah telapak kakinya. Anak-anak saya tersenyum … wooo … jiwit!
Jarak Indonesia-Jerman yang minimal 16 jam perjalanan pesawat plus-plus, membuat acara mudik tak semudah membalikkan telapak tangan. Terbang bersama anak kecil yang banyak? No, kidding. Repot ternyata pulang bersama anak-anak yang masih belum dewasa karena keinginannya hanya satu; cepat sampai! Namun karena ibunda, kami paling semangat pulang kampung jika ada rejeki.
Ibu terbujuk Skype
Itulah sebabnya sembari menunggu durian jatuh, komunikasi sangat kami jaga. Surat dan paket tak menghentikan keinginan untuk bertegur sapa, telepon dan video call-pun mulai kami rambah. Sengaja kami tak coba yahoo messenger cam to cam, kami pilih SKYPE (video call) karena memiliki fasilitas lengkap lainnya. Halahhhh … ternyata tak mudah untuk mengajarkan orang tua yang bukan generasi Hitech. Memencet keyboard saja masih nak nuk nak nuk (red: kikuk).
„Iki piye, Wuk? Apane sing didudul …“ (red: bagaimana ini, Nak … apanya yang harus dipencet?). Ibu saya yang berusia 66 tahun itu memperhatikan tutorial praktis dari saya pada layar laptop. Kepala beliau yang bersemburat putih manggut-manggut. Ah, ibu … nuwun sewu (red: maaf), sebenarnya saya tak perlu membingungkanmu jika dunia kita tak ada dua; barat dan timur.
Yup. Sejak tinggal di Jerman, awalnya kami menggunakan nomer 135 dan pindah langganan ke Active Voip. Alasannya karena tentu saja dari faktor ekonomi dan kualitas yang memuaskan. Untuk menelepon ke Jakarta dan Semarang hanya dengan 0,4 cent per menit (1 euro Rp 12.000-an), tentu saja tak membatasi waktu berkomunikasi layaknya menelpon dari SLI Indonesia ke Jerman (selalu deg-deg sir melihat angka di wartel yang sprint, bisa bangkruttttt). Heran juga, tarif telepon di Indonesia masih tergolong mahal tapi nyatanya banyak masyarakat kita yang menggilai HP, mojok bertelepon, berinternet (yang menggunakan tarif telepon tak hemat) dan lainnya. Saya khawatir banyak orang memiliki prinsip lebih baik nge-net/SMS-an daripada makan empat sehat lima sempurna. Walah …
Sebagai perbandingan, kami berlangganan Kabel BW internet 24 jam dengan 100.000 Kbit/sec mak wusss … seharga 29,90 euro (Rp 350.000?). Selain internet juga sudah termasuk harga saluran TV dan telepon flat rate. Sedangkan ibunda berlangganan Rp 50.000 per bulan untuk pemakaian total jam yang ditentukan, dengan internet yang lelet dari Telkom (tidak termasuk langganan TV atau saluran telepon). Weleh, merana.
Ah, sudahlah … Yang penting bersyukur, sekarang kami menemukan terobosan baru SKYPE … yang di Indonesia bisa bertemu kami di Jerman dan sebaliknya, meski dalam batas maya (nyata tapi semu, rek). Ibu terbujuk, saling bertatap muka begitu mempesona … “Wah, cucuku cantik-cantik …”
SKPYE, bagai lampu wasiat pada ibu. Yuhuuu … Mau???