Seorang teman di FB menggerutu karena terjebak dalam kemacetan lalin. Maklum lebaran, ia tak melihat seorang polisipun mengatur jalanan agar lancar. Ini mengingatkan saya pada polisi yang ada di Jerman, ia selalu hadir dijalan raya.Namanya Radar, polisi 24 jam yang tak kenal kata korupsi, kolusi dan nepotisme. Kami sekeluarga menjulukinya Mr.Blitz.
Hebat, rina wengi (red: dari pagi hingga malam hari) tugasnya tak henti-henti. Ya, ia ini juga tak mengenal makan, minum, tidur, mandi, gaji atau sogokan sekalipun. No way! Waduh, kereng, Mister (red: ketat nan disiplin sekali). Di Jerman, tak ada siapapun yang bisa lolos darinya. Mau kaya atau miskin, biarpun lelaki atau perempuan, punya jabatan tinggi atau rakyat jelata, semuanya tak bisa lepas dari polisi ini. Warum? (red: mengapa).
All right, radar ini memang bukan manusia melainkan benda mati, bentuknya bisa macam-macam; mulai dari sebuah kotak hijau dengan lingkaran lensa kamera, tiang tinggi berwarna hitam bahkan loreng hitam putih di beberapa sudut jalan Stadt (red: kota), kamera berwarna hitam di Autobahn (red: tol), kamera bongkar pasang yang sewaktu-waktu didirikan secara mendadak di Schnellstraße (red: jalan cepat) atau di Stadt (red: kota), bahkan dengan hanya tulisan gertak sambal „Radar Kontrolle“atau sebuah plang kecil dengan gambar kamera, tepat di batas masuk wilayah sebuah kota. Wuihhhh … serem.
Kamera ini akan memotret setiap pengguna jalan roda dua atau lebih yang melebihi batas kecepatan yang ditentukan. Misalnya untuk jalan di kota adalah 50 km perjam, atau 30 km/jam untuk jalan yang ber-Baustelle (red: ada perbaikan jalan) atau jalanan yang sempit. Sedangkan jalan cepat mematok angka 70-100 km/jam dan tol, diatas 120 km/jam. Lalu soal sensor radar, biasa ditanam di aspal jalan dengan tiga garis yang tidak begitu kentara.
Seorang teman asli Jerman, F (40 tahun) telah dua kali melebihi batas hingga 30-40 km/jam terlalu cepat menyopir dari Schnellstraße ke batas Stadt. Pria muda itu harus kehilangan SIMnya selama satu bulan! Polisi memberi batas diantara 4 bulan yang ditentukan, dimana lelaki single itu boleh memilih satu bulan diantaranya untuk mengirimkan SIM ke kantor polisi. SIM ditahan, mobil tak bisa jalan.
Suami saya telah tertangkap basah polisi ini setidaknya tiga kali dalam perjalanan 25 tahun mengendara di tanah airnya itu. Saya hanya menimpali, paling takut kalau mencoba mengebut dijalanan dan lalai. Bayangkan jika berkali-kali mendapat surat penagihan untuk membayar karena melebihi batas kecepatan, dan akhirnya kehilangan SIM B seharga 2000 euro itu. Nein, danke sehr (red: tidak, terima kasih). Horor kalau harus tes lagi.
Adapun pengalamannya yang pertama adalah; saat kami mengunjungi salah seorang teman kenalan dari FB tahun 2007. Wanita Malang yang tinggal di Sauerland itu menjamu kami selama 3 hari. Dalam perjalanan kesebuah puri, suami terlalu kencang menjejak pedal gas. Kelebihan 10km/jam itu menyulut … blitz! Saya yang duduk disebelahnya ikut shock. Buntutnya bisa ditebak, sebuah foto karya polisi jalanan itu berhasil terekam dan terkirim seminggu kemudian. Ya ampun, 25 euro harus ia rogoh dari kantong. Saya hanya tertawa kecut memandangi surat tagihan dari pemkot yang mencetak gambar wajahnya bersama plat nomer mobil yang dikendarakan. Hiks … lumayan buat nambah pos RT, Hunny.
Kedua, yakni tahun 2009. Pria saya itu sedang dalam perjalanan mengunjungi pabrik salah seorang teman di Wurmlingen. Di sebuah tikungan, ia lupa bahwa sebuah kamera selalu mengintai dengan setia. Kamera itu terletak sangat tersembunyi dan ia amat melalaikan tanda lingkaran putih dengan angka 50 dalam lingkaran merah beberapa meter sebelum letak kamera. Suami tercinta 5 km/jam lebih cepat. UUD, ujung-ujungnya duit … transfer on line lagi.
Terakhir, yaitu tahun 2010. Dalam keadaan gelap dan lelah, ia alpa untuk menahan kecepatan tak lebih dari 50 km/jam. Lelaki yang suka minum kopi itu terhenyak saat lampu putih menyala begitu terangnya di kegelapan malam. Walhasil, ia harus mengirim transfer uang sebesar 15 euro secara on line atas kelebihan 10 km/jam di dalam kota Tuttlingen. Saya memaklumi keteledorannya karena saya tahu betul bahwa acara pertemuan orang tua murid dan pengurus biasanya amat membosankan dan melelahkan, padahal seharian tadi ia sudah mengantor. Ayayay … schade (red: sedih).
Kami jadi ingat, kalau di Indonesia dahulu harga-harga di jalan bisa turun alias ditawar but never think about this stuff in Germany. Semoga ini sebagai cambuk bagi suami dan saya untuk ekstra hati-hati. Juga sebagai wacana bagi siapapun yang ingin berkendara di luar negeri seperti Jerman. Bahkan bisa jadi menggelitik negeri tercinta untuk mengikuti, agar masyarakat lebih disiplin dalam berkendara. Aduh, paling takut menyetir di tanah air … sudah taat, yang lainnya ngawur.
Seandainya kamera ini dipasang di Indonesia, berapa aset negara dari keteledoran rakyat pengguna jalan? Ini shock teraphy yang lumayan mengena karena mau tak mau saksi mata dengan bukti foto dan plat nomor mobil itu adalah silent witness pencegah KKN. Tak ada harga banting yang bisa ditempuh pelanggar atau siapapun dia. Belum lagi efek malu pada diri sendiri melihat foto candid camera.
Mari kita dimana saja dan kapan saja tetap berhati-hati dalam berkendara. Salam tertib lalu lintas! Waspada dalam berkendara di jalanan Indonesia yang masih dalam suasana lebaran dan arus mudik/balik.