Waktu itu umur saya masih 19 tahun, tahun 1994. Berarti sudah sekitar 16 tahun yang lalu saya berhasil ‘membeli’ SIM C sepeda motor Indonesia. Saya lupa berapa harganya, tetapi sudah mencapai setidaknya angka seratus ribu waktu itu.
Beberapa keluarga Indonesia memiliki hubungan yang tidak begitu jauh dengan AKABRI atau kepolisian; mulai dari eyang, pakdhe, paklik dan bulik pasti memiliki akses untuk membuat SIM dengan mudah dan cepat tanpa ujian. Begitu pula saya; langsung datang, foto, menunggu, dan pulang mengantongi SIM yang sudah dilaminating. Matur nuwun, Paklik! Dunia begitu indah.
Kemudian SIM itu saya mutasi ke kota S sekitar tujuh tahun yang lalu. Namun karena data yang tidak tersimpan rapi, kamipun membutuhkan waktu lama untuk menunggu. Setelah berhasil ditemukan, saya harus mengambil sendiri ke kota B. Karena kesibukan, saya memutuskan untuk mengambil jalan pintas; membeli SIM C lagi di kota S. Harganya Rp 200.000,00 dan satu jam jadi. Saya bersyukur, salah seorang agen telah membantu. Terima kasih, Pak! Meski ujian tulis dan praktek saya amat tidak sempurna, tetap saja lulus. Welcome to Indonesia.
Seingat saya, sewaktu pulang ke Indonesia pada tahun 2010 kemarin, ibu menawari saya untuk membuat SIM A kilat. Katanya Pak ‘Itu’ dari agen ‘Anu’ bisa membuatnya setengah jam jadi, harganya Rp 190.000,00. Meskipun murah, saya gedheg, menggelengkan kepala. Ketakutan akan etika berlalu lintas di Indonesia masih membuat saya bingung dan merasa tidak aman. Peraturan banyak yang tidak ditaati dan sengaja dilanggar. Apalagi jalanan amat sesak, panas, dan macet. Untuk lebih nyamannya, saya memilih menumpang, naik angkutan kota, bis atau taxi.
***
Kebiasaan instant dan manja dalam pembuatan SIM itu tidak bisa saya dapatkan sewaktu pindah ke Jerman beberapa tahun yang lalu. Saya harus benar-benar berusaha untuk mendapatkannya. Tidak ada aji mumpung, tidak ada KKN.
Saya belum pernah membeli SIM A di tanah air meski telah menyetir di sekitar rumah dalam hitungan jari. Jika saja saya punya, bisa digunakan 6 bulan-1 tahun di Jerman, ya? Masalah yang akan dihadapi bukan soal menyetir di tanah asing ini ada di sebelah kiri sementara Indonesia di sebelah kanan, melainkan babagan tata tertib. Butuh pembelajaran dan pemahaman sebenar-benarnya lewat kursus.
Kursus menyetir di Fahrschule (red: sekolah menyetir), saya tempuh selama 18 kali pertemuan atau sekitar tiga bulan. Usai mendaftar dan menerima modul, seminggu sekali, selama satu setengah jam, saya harus terkantuk-kantuk mendengarkan ceramah dan diskusi kelas kami dalam bahasa Jerman. Otak saya bekerja setiap malam hari demi memahami bahasa asing yang lebih rumit dari bahasa Inggris itu, lalu baru mengerti pelajarannya. Senangnya, pesertanya cantik-cantik dan ganteng-ganteng ... vitamin A. Sesekali kami sempat belajar bersama santai; mengerjakan contoh soal-soal ujian tertulis, tanpa membuka buku panduan menyetir dan peraturannya yang diberi sang guru.
Karena bahasa Jerman saya tidak begitu sempurna, beberapa minggu sebelum ujian tertulis tiba, suami saya membelikan contoh soal berbahasa Inggris on line seharga 70 euro. Ia berharap bahwa saya dapat dengan lebih mudah lulus ujian dengan soal berbahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa Jerman. Pihak penguji memperbolehkan setiap peserta ujian untuk memilih bahasa yang dikuasai sebagai bahasa pengantar dalam ujian; bahasa Turki, bahasa Italia, bahasa Rusia atau bahasa Inggris misalnya.
Setelah giat belajar dari laptop, saya gembira lulus ujian. Hanya tiga poin kesalahan dalam puluhan soal yang sangat membingungkan; satu soal bisa saja memiliki 2-4 pilihan jawaban yang benar (poin berbeda) dan harus dilingkari. Beberapa teman sekelas saya yang notabene adalah remaja berumur 18 tahun itu ada yang tidak lulus karena jumlah poin yang salah lebih dari lima. Merekapun harus mengulang, ah, waktu mereka masih panjang. Mereka masih muda.
Masalah tulis menulis usai, giliran praktek mengemudi. Setiap seminggu sekali sebanyak 16 kali, saya latihan bersama guru dari tempat kursus. Sekali jalan selama satu-dua jam, saya ditagih 70 euro. Untuk perjalanan yang mengitari jalan tol yang bebas hambatan dan bisa mengebut hingga 200 km/jam jika tidak ada tanda limit, ia menggertak dengan 150 euro. Mungkin saja perhitungannya: semakin sering tancap gas, semakin boros bensin.
Begitulah setelah 18 kali kursus materi, sekali ujian tertulis, 16 kali latihan menyetir resmi, dan tiga kali ujian praktek saya punya SIM Jerman yang berlaku di EU.
Berita buruknya, total yang harus dibayar adalah 2000 euro! Welcome to Germany, EU … here, I come!
Ps: Artikel ini pertama kali diterbitkan di Kompasiana tetapi telah diolah menjadi buku pada tahun 2017 sehingga dilakukan pengeditan seperlunya. Untuk mengetahui detil artikel ini silakan menyimak buku "Unbelievable Germany."