Dalam tanggapan resminya mengenai hal tersebut, Nuh mengatakan "Mengacu pada tradisi kita, membicarakan masalah seks adalah hal yang tidak sepantasnya, dan itulah pandangan saya. Saya yakin kita belum memerlukannya." Ia juga mengatakan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi adalah tanggung jawab orang tua di dalam keluarga. (Jakarta Post, 18 Oktober 2012).
Kita tidak bisa menutup mata bahwa usia remaja adalah usia dimana individu telah aktif secara seksual, namun tidak diiringi dengan pengetahuan yang cukup. Orang tua masih terbatas dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual karena masih kuatnya anggapan tabu dan risih berbicara seksualitas kepada remaja.
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 mengungkapkan bahwa remaja berusia kurang dari sama dengan 19 tahun yang belum menikah dan memiliki pengalaman seks sebesar 3,6%. Remaja melakukan hubungan seksual pertama kali sebelum menikah dengan beberapa alasan, diantaranya untuk perempuan alasan tertinggi adalah karena terjadi begitu saja (38,4%); dipaksa oleh pasangannya (21,2%). Sedangkan pada lelaki, alasan tertinggi ialah karena ingin tahu (51,3%); karena terjadi begitu saja (25,8%).
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa 84 orang (1%) dari responden pernah mengalami KTD (Kehamilan Tidak Diinginkan), dan 60% diantaranya mengalami atau melakukan aborsi. Data tersebut menunjukkan bahwa kelompok usia remaja merupakan kelompok usia yang rentan terhadap risiko kesehatan reproduksi dan seksual.
Melalui hasil survei tersebut dapat dilihat bahwa kasus KTD dan aborsi menjadi persoalan yang nyata dialami oleh remaja. Perilaku dengan tingkat risiko tinggi ini dapat terjadi karena minimnya regulasi yang dibangun untuk menanggulangi masalah kesehatan reproduksi seksual bagi remaja, termasuk regulasi di bidang pendidikan.
Berdasarkan hasil penelitian baseline survei "Penguatan Akses Remaja terhadap Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS)" tahun 2012 di delapan kota di Indonesia yang dilakukan oleh Puska Gender dan Seksualitas FISIP UI, sekolah sudah memberikan materi terkait pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual yang terintegrasi pada mata pelajaran Biologi, Penjaskes, dan Agama yang belum bersifat komprehensif.
Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual menghadapi tantangan seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi yang memungkinkan remaja mengakses informasi yang berisi konten pornografi. Budaya konsumerisme yang diadopsi remaja pun memiliki peran berkembangnya perilaku seks remaja yang berisiko.
Hasil baseline survei tersebut menunjukkan baik guru (62,7%) maupun siswa (37,9%) menghendaki PKRS diberikan dengan mata pelajaran khusus sesuai dengan kurikulum nasional. Pemahaman siswa yang tepat mengenai kesehatan reproduksi dan seksual yang terintegrasi dalam kurikulum nasional diharapkan dapat meminimalisir pelbagai kasus kesehatan reproduksi dan seksual remaja, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), pernikahan dini, Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), aborsi tidak aman maupun kasus kesehatan reproduksi lainnya.
PKRS bagi remaja menjadi lebih kompleks dan menantang dibandingkan pendidikan PKRS bagi orang dewasa karena pelbagai hal.
Pertama, masih banyaknya anggapan bahwa remaja terlalu muda untuk mengenal seks dan sebagai makhluk seksual (sexual beings).
Kedua, pendidikan PKRS bagi remaja perlu menyeimbangkan antara perlindungan dan juga pemberdayaan.
Ketiga, pendidikan PKRS yang berperspektif hak masih sangat terbatas. Hak tesebut tidak hanya hak remaja untuk terlindung tetapi juga hak remaja untuk berpartisipasi dan bertanggung jawab terhadap PKRS mereka.
Kebutuhan terhadap materi kesehatan reproduksi oleh siswa maupun guru tersebut menjadi isu yang kontekstual, mendesak dan perlu ditangani sebagai urgensi bersama di tingkat nasional, bukan hanya tanggung jawab orang tua di lingkungan keluarga.