Hidupku berteman kesendirian, beraromakan kesedihan yang pekat menyelimuti ruang sempit bernama bumi. Tak ada teman, apalagi kawan yang siap menahan amarah dan kesedihan. Sendiri, dalam kesendirian dan tetap sendiri meskipun Mentari membuka diri mengajak bergabung. Entahlah, tak ada yang pasti kecuali Imajinasi yang selalu datang, tanpa diminta tanpa diundang. Kadang, Imajinasi berubah menjadi khotib masjid yang membuatku kembali sadar akan apa arti hidup, kadang membumikan mimpi-mimpiku, kadang menguatkan ingatan akan perjanjianku dengan Malaikat, yang aku lupa namanya, sewaktu masih terperangkap di perut Ummi. Namun, tak jarang pula Imajinasi berubah menjadi topeng kehidupan, membohongi dan memasukkanku ke ruangan sebelah yang begitu pengap, semua bagai mimpi tanpa tidur. Aku masih ingat benar kapan pertama kali Imajinasi datang menemuiku. Menyendiri di pojok kamar, di suatu malam. Ku coba menyapa dan tersenyum padanya. Dan baru kali ini aku melihat senyuman yang begitu manis, senyuman bidadari surga ketika Imajinasi membalas sapaanku. Sayang, Ia menghilang pergi berganti kebingunganku.
KEMBALI KE ARTIKEL