Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Demokrasi dan Korupsi di Negara Pancasila

1 Juni 2011   09:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:59 252 0
Awal  mulanya manusia butuh untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dan mereka bisa bertahan hidup jika pemenuhan kebutuhan hidup tercukupi. Kebutuhan hidup bisa tercukupi melalui sumber daya yang ada. Sayangnya,  manusia memiliki watak  dasar "rakus", sementara sumber daya selalu terbatas. Akibat kerakusan itu manusia memiliki kehendak untuk memonopoli penguasaan sumber daya, maka terjadilah perebutan bahkan perang tanding antar manusia dalam rangka menguasai sumber daya tersebut. Di sinilah hukum "rimba" menemukan tempatnya. Siapa kuat akan dapat.

Namun, pada satu sisi manusia juga mempunyai naluri untuk mempertahankan habitat dan keberlangsungan peradabannya. Maka, muncullah kehendak untuk "mengatur". Dan  di sini  lahirlah kebutuhan adanya seorang pemimpin. Pada titik inilah kesempatan manusia untuk bisa menentukan pilihan keberadabannya. Apakah manusia akan saling mengorbankan antar mereka, karena kediktatoran seorang penguasa. Atau menciptakan keharmonisan dan kerjasama membangun peradaban karena kearifan dan ketegasan seorang pemimpin.

Dasar antropolgis tersebut, jika diimplementasikan pada abad modern ini adalah adanya negara dan pemerintahan. Agar proses menjadinya sebuah peradaban manusia bisa berlangsung, maka dibutuhkan seorang pemimpin negara yang mempunyai legitimasi sosial-politik kuat, yang mampu mengatur dan menjalankan pemerintahannya melalui birokrasi dan prosedur yang efektif-efesien dan transparan. Guna tercipta ketertiban dan pemerataan akses sumber daya bagi warganya. Sehingga warga negara berkesempatan mempertahankan dan menumbuhkembangkan kehidupan dan peradabannya.

Itulah kira-kira tafsir tiga sila atas cita-cita dari Pancasila yang menyebutkan; "Kemanusiaan yang adil dan beradab" , "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan", dan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Makanya, cita-cita itu akan hancur, begitu akses sumber daya tidak lagi tertib dan merata bagi seluruh warga.

Dan saat ini kita menyaksikan, urusan pengelolaan negara sedang diperebutkan antara politisi dan birokrasi. Dan jika kedua-duanya saling korup, maka habislah sumber daya negara bagi warganya. Dan habis pula ketaatan warga negara terhadap pemimpin negaranya. Pada kesempatan inilah intervensi asing akan leluasa memasuki negara melalui pintu mana saja. Sementara modal sosial-politik warga juga akan diperdagangkan kepada para pengatur negara. Maka jadilah negara "tinggal nama".

Harusnya politisi itu menjadi penyampai aspirasi. Dan birokrasi menjadi pengatur distribusi aspirasi yang hati-hati dan dengan sepenuh hati melayani negeri. Bukan rebutan kursi dan berbagi korupsi, yang tidak akan pernah di bawa mati.

Sayangnya,  selama ini mereka justru merekayasa segala aturan main yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Oleh karenanya, jangan harap bahwa ketertiban akan sungguh-sungguh tercipta, kecuali hanya dengan pemaksaan para yang berkuasa.

Orde baru telah mengajarkan birokrasi untuk berkorupsi, sementara Orde reformasi telah mengantarkan politisi untuk mahir berkorupsi. Dan sekarang ini keduanya sedang saling berebut posisi.

Demokrasi telah membuka seluas-luasnya pintu aspirasi dan partisipasi, sekaligus pintu korupsi. Dan jiwa Pancasilapun kini telah MATI.

Selamat Hari Lahir PANCASILA.

Semoga kita tidak pernah putus asa untuk JAYA INDONESIA...MERDEKA...!!!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun