Tahun 2023 mengajarkan saya pelajaran paling penting. Ini mengenai konsistensi, komitmen, dan upaya tarik menarik dalam ketegangan menjadi seorang manusia yang utuh, sekaligus rapuh.
Sebagai seorang manusia yang selalu merasa gelisah, saya mengalami satu rangkaian fenomena hidup yang menuntun saya pada hipotesis (jika menyebut kesimpulan adalah sebuah bentuk arogansi) bahwa manusia sejatinya tidak pernah meminta untuk dilahirkan.
Tidak ada manusia yang memohon kepada orangtuanya agar dapat dilahirkan ke dunia ini, terlepas dari latar belakang keluarga tersebut seperti apa. Meski memang, hal yang miris kemudian adalah terdapat candaan seperti "dia mimpi apa ya, bisa dilahirkan di keluarga tajir melintir seperti itu?"Â
Seolah saya melihatnya bahwa kebahagiaan ditentukan oleh hal-hal yang bersifat material saja, dalam hal ini mungkin uang. Namun tetap, sejatinya manusia yang dilahirkan dari keluarga paling tajir melintir se-antero galaksi ini pun tidak pernah memohon untuk dapat dilahirkan ke dunia ini, sebelum pada akhirnya ia benar-benar terlahir di dunia ini.
Kelahiran seorang manusia sejatinya berbicara dua hal, yang pertama soal tanggung jawab, dan yang kedua soal nafsu. Persoalan kedua, tentu tidak akan muncul bila persoalan pertama dapat dikelola dengan baik.
Masalahnya, ada berapa banyak jumlah keluarga tidak mampu yang berada di dunia ini? Ini adalah masalah serius yang bisa mendorong manusia untuk berpikir dalam delusi. Ia tidak lagi bisa membedakan mana cinta, mana nafsu, mana logika.
Terlebih, sebuah pepatah yang mungkin selama ini kita ketahui; "banyak anak, banyak rejeki". Pertanyaannya adalah, bagaimana jika ternyata saya, sebagai orang tua justru tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anak-anak tersebut?
Jangankan berbicara soal rejeki dalam arti kekayaan material. Bagaimana dengan kondisi keluarga-keluarga yang mungkin masih kesulitan untuk makan setiap harinya?
Selama ini mungkin sebagian besar orang tua menuntut agar anaknya dapat mengerti dan memahami segala macam kondisi keluarga tersebut.
Dalam hal ini, kita akan fokus berbicara mengenai status ekonomi. Tak jarang anak-anak di dunia ini mendapatkan tuntutan harus bisa menyesuaikan dan memahami bagaimana kondisi ekonomi keluarganya.
Padahal jelas ini sangat tidak adil. Sebagai orang tua, harusnya mereka lah yang terlebih dahulu memahami dan mengerti kondisi ekonominya sebelum mereka benar-benar melahirkan seorang manusia ke dalam dunia ini. Meski, memang fluktuasi kondisi ekonomi dunia setiap harinya berubah dan segala hal itu dinamis.
Tapi setidaknya untuk benar-benar memastikan keluarganya tidak akan hidup miskin, seharusnya sudah diperhitungkan jauh-jauh hari sebelum seorang manusia dilahirkan ke dalam dunia ini.
Jauh sebelum itu terjadi, ada baiknya kita sebagai manusia jujur terlebih dahulu terhadap diri sendiri. Apa sebenarnya yang menuntun kita ke dalam pernikahan? Apakah nafsu, cinta, atau logika?
Angka kemiskinan, terutama jumlah keluarga miskin yang masih ada sampai hari ini (mungkin bertambah) bisa dipastikan merupakan hasil dari perspektif nafsu.
Perspektif cinta, mungkin hasilnya relatif tidak bisa teridentifikasi. Â Karena kedua perspektif lainnya pun tak bisa dipungkiri memiliki rasa cinta, meski dalam bentuk yang berbeda.
Namun yang pasti perspektif cinta akan relatif melepas dan merelakan sesuatu yang dirasa memang harus dilepas dan direlakan. Sesuai pada kodratnya, kasih yang mengasihi atau memberi sebagai sinonimnya. Bukan mencengkram, atau memaksa untuk dimiliki.
Perspektif ini bisa diartikan ke dalam bentuk relasi yang tidak mengharapkan apapun sebagai feedback-nya. Ia akan terus memberi, dan mengasihi meski di titik yang sama ia sedang melepaskan dan merelakan hal tersebut untuk pergi.
Perspektif yang ketiga, adalah perspektif logika. Jika perspektif cinta lebih terkesan pesimistik, maka perspektif logika boleh kita katakan sebagai perspektif yang lebih terkesan realistis.
Perspektif ini akan menimbang-nimbang dan memperhitungkan segala macam kemungkinan yang akan terjadi jika memang manusia tersebut akan menjalani hidup post-married. Bahkan jauh sebelum menikah, ketika seorang pria atau wanita memutuskan untuk menjalani sebuah relasi khusus (banyak orang hari-hari ini menyebutnya dengan istilah spesial).
Perspektif logika akan lebih memperhitungkan dengan terstruktur apa yang mungkin akan ia alami jika menjalin relasi khusus tersebut, atau bahkan menikah. Ia tidak terlalu pesimistis seperti cinta, tapi ia juga tidak terlalu optimistis seperti nafsu.
Ia realistis karena mungkin saja pada awalnya ia tidak melihat kehidupan yang baik bila relasi khusus tersebut dijalani, atau pernikahan tersebut dihidupi. Namun, setelah melakukan berbagai macam perhitungan dan pertimbangan dengan upaya-upaya yang tentu digunakan agar hidup yang layak tersebut niscaya, sangatlah mungkin perspektif logika ini mengambil kesempatan tersebut.
Namun tentu, sangat mungkin juga bila setelah melalui pertimbangan sedemikian rupa dirasa akan lebih besar kemungkinan hidup yang tidak layak tersebut akan ia hadapi, bahkan keluarganya hadapi, maka perspektif yang sama ini akan membuang kesempatan tersebut.
Sebagai seorang manusia, saya rasa ini layak untuk direnungkan sebelum kita sama-sama melangkah memasuki tahun 2024. Untuk apa saya menjalin relasi dengan dia? Dengan perspektif apakah saya akan menjalani relasi tersebut? Nafsu, cinta, atau logika?
Jika memang peduli terhadap kehidupan di dunia ini agar bisa lebih baik lagi, saya menyarankan Anda untuk menggunakan perspektif cinta, atau logika. Jangan pernah menggunakan perspektif nafsu, meskipun sejatinya nafsu yang sama tidak pernah bisa lepas dari kemanusiaan kita.
Kembali pada kalimat awal saya, "Ini mengenai konsistensi, komitmen, dan upaya tarik menarik dalam ketegangan menjadi seorang manusia yang utuh, sekaligus rapuh".
Selamat mengakhiri tahun 2023, selamat merenung, selamat berfilsafat!