Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Meilin, Gadis yang Ku Rampas dari Tuhannya

14 September 2024   13:02 Diperbarui: 14 September 2024   13:03 80 1
Sudah hampir tiga puluh tahun berlalu, sudah begitu banyak sekali perubahan yang terjadi di dalam hidupku dan juga orang orang terdekatku. Sudah banyak pula peristiwa-peristiwa aneh bin ajaib yang telah memberi ragam warna, rasa dan makna di hidupku sebagai seorang mahluk tuhan bernama manusia.

Pada akhirnya, garisan nasib telah menentukan segalanya. Paham betul bilamana semuanya dengan sendirinya mengalir, direncana atau tak disengaja, semua pada akhirnya menemukan jalannya untuk mengisi setiap potongan puzzle yang masih kosong dari rekam jejak kehidupanku yang penuh kejutan.

Oh tuhan, tetapi naasnya, kenangan pahit itu juga masih tetap menggantung, mematung seolah tak berniat untuk sedikit saja bergeser dari bayangan masa laluku, merampok hari-hariku dimasa kini dan meneror masa depanku habis-habisan.

Sebenarnya tak pantas dan tak bijak pula bila diriku, seeongok pohon tua yang berteman setia dengan senja masih berani menyebut soal masa depan sebab barangkali bagi diriku satu-satunya masa depan yang tergolek pasti di depan mata adalah kematian.

Aku tau sampai kapanpun aku takkan pernah bisa dan takkan pernah mampu untuk menghapus  atau bahkan sekedar melupakan sedikit saja dari beberapa keping potongan mozaik memori masa silam ku yang pernah membuatku begitu marah dan putus asa hingga sempat berniat untuk mengakhiri saja kehidupanku yang terlalu rumit ini.

Entahlah, kerap kali aku bertanya tanya pada batinku. Apa aku harus menumpahkan semua sumpah serapah pada dzat mulia yang telah menciptakan ingatan  atau barangkali ada baiknya aku sujud syukur sebab daya ingatanku yang kuat akan kenangan yang tidak biasa itu selalu menghantuiku, mengingatkan diri ini tentang dosa dosa masa lalu ku yang belum tuntas ku bayar. Ya, aku memang berdosa, ku akui bahwa diriku telah berdosa, sungguh sangat berdosa.

Setidaknya dosa dosa itulah yang sampai saat ini telah memaksaku untuk tetap hidup dan menjalani penyiksaan batin tak terperihkan sebab itulah cara terakhirku untuk dapat menebus harga mati dari dosa besar itu. Ironis memang

Takkan dapat aku pungkiri, tak jua kan kubiarkan hati ini berdusta lagi dan melarikan diri. Sekarang aku pasrah, biarlah, biarlah ku katakan saja bahwa rasa bersalah itu telah mengakar kuat di setiap sudut hatiku , aku sadar betul bila  rasa bersalah itu akan kubawa sampai di tempat pembaringan terakhir ku. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun