Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Mengaduk Bubur: Logika Orang yang Tidak Suka Sama Orang yang Makan Bubur Kalo Ga Diaduk Padahal Sama Saja Enaknya

11 Oktober 2024   18:37 Diperbarui: 11 Oktober 2024   20:59 54 1
Mengaduk Logika: Dilema Kosmik yang Tersembunyi di Balik konflik
KETIKA IBU MERTUA INGIN MENGUASAI RUMAH TANGGA PUTRANYA

By Fredy Sukiman

BAB 1

"Riska! Riska!" teriak Bu Dewi dari teras rumah Riska. Tangannya menyingsing lengan daster lusuh yang dipakainya.

Riska yang sedang dandan karena habis mandi pun tergopoh ke depan rumah mendengar keributan yang dibuat mertuanya itu. Tangan kanannya memutar handle pintu, sedangkan tangan kirinya masih memegang krim yang sedang ia pakai. Saking paniknya sampai lupa untuk menaruhnya lebih dulu.

"Kenapa, Bu?" tanya Riska dengan wajah panik.

Melihat penampilan Riska justru membuat  Bu Dewi makin emosi. Ditambah menantunya itu memegang skincare yang memang sedang ia aplikasikan pada kulit wajahnya.

"Kamu itu mikir, Riska. Suami kerja banting tulang panas panasan nyari duit kok kamu enteng bener kerjanya ngabisin duit," sungut Bu Dewi sambil menunjuk nunjuk muka Riska.

Riska yang tidak tau apa-apa dan memang merasa tidak melakukan kesalahan tentu kaget pagi-pagi sudah di serang ibu mertua. Dahinya mengernyit mencoba memahami apa yang di bicarakan ibu mertuanya itu.

"Malah bengong!" sentak Bu Dewi. Tangannya menepuk lengan kiri Riska, membuat krim wajah dipegangnya terjatuh.

Prang

Seketika Riska tersentak dengan mulut terbuka. Krim wajah yang belum lama dibelinya berceceran di lantai teras rumahnya. Sudah lama ia menabung hanya untuk membeli krim itu.

Riska menatap ibu mertuanya dengan sorot mata tajam. Wajahnya sudah merah padam dengan gigi bergemeletuk. Jika tak ingat orang yang sepagi ini membuat onar ibu mertuanya sendiri, mungkin ia sudah mengamuk.

Bu Dewi meneguk liurnya dengan susah payah, salah tingkah melihat menantunya itu menatapnya dengan garang. Ia memalingkan wajahnya dan mencembikkan bibir. Jemarinya saling bertautan, meremas satu sama lain. Gugup bercampur takut, tapi sebisa mungkin disembunyikan. Gengsi kalau sampai ia kalah dengan mantunya.

Riska sendiri berkali-kali meraup rakus oksigen disekitarnya. Menghembuskan secara perlahan. Dadanya sungguh sudah bergemuruh, ingin rasanya segera memuntahkan semua amarah yang berkecamuk.

Ia akhirnya memejamkan mata. Beristigfar dalam hati meminta sabar seluas samudra untuk menghadapi ibu mertuanya yang selalu mencari gara-gara.

"Ibu, ada apa pagi-pagi udah berisik di sini?" tanyanya ketus, setelah menghembuskan napas kasar. Inginnya bicara manis, tapi apa mau dikata rasa kesal itu masih berjejalan di dalam hati.

Yang ditanya diam saja, justru melengos dengan tangan dilipat di depan dada. Membuat Riska makin geram. Disabar-sabarin tapi malah ngelunjak.

"Nggak jadi. Ibu, mau pulang!" ucap Bu Dewi dengan entengnya. Melenggang begitu saja dari teras Riska. Setelah memakai sendalnya berjalan terburu-buru menyincing dasternya. Pergi begitu saja tanpa rasa bersalah sedikit pun telah membuat keributan di rumah sang anak. Bahkan merusak barang menantunya.

Riska mematung, tangannya berkacak pinggang, dengan mata melotot dan mulut terbuka. Menatap kepergian mertuanya dengan perasaan kesal, marah, juga kaget. Pandangannya beralih pada skin care yang berceceran di lantai, tempatnya sudah pecah. Seketika mata terasa panas, dan pandangan mulai kabur. Bulir-bulir bening itu sudah memenuhi kelopak matanya. Sekali kedip saja akan jadi anak sungai di pipi mulusnya.

Bahunya luruh melihat pemandangan di depan matanya. Riska berjongkok, mengambil pecahan wadah krim yang berserakan. Takut mengenai kaki Alika-putrinya, anak itu sedikit ceroboh jika keluar masuk pintu, kalau tidak tersandung ya jatuh. Anehnya dia tersandung kakinya sendiri. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Riska membuang wadah itu di tempat sampah yang ada di ujung teras.

"Huft!" Riska menghembuskan napas kasar, lalu menepuk-nepuk kedua telapak tangannya.

"Kalau bukan Ibu, sudah aku mintai ganti rugi!" gumam Riska kesal menatap pecahan wadah krim di tempat sampah. Ia lalu masuk ke dalam rumah mengambil sapu, tisu, juga alat pel.

"Heran, orang kok tiap hari ada aja yang dibikin ribut. Enggak bosen apa nyari gara-gara mulu," sungut Riska, tangan kanannya membersihkan sisa krim di lantai menggunakan tisu.

"Sudah pindah rumah pun tiap hari masih diteror. Giliran jadi satu dibilang numpang terus nggak mau modal. Ada saja yang dibikin iri, dikira aku morotin anaknya kali bisa beli ini itu. Anaknya nggak punya dihujat, giliran ada rejeki iri, maunya apa coba." Riska terus saja menumpahkan kekesalannya. Mulutnya ngomel tapi mata menangis.

"Boleh kali tukar tambah mertua!" kekehnya sambil mengusap sudut mata.

Setelah bersih ia lalu menyapunya, takut ada beling halus yang masih tertinggal. Dan terakhir mengepelnya lagi.

"Sepagi ini udah ngepel teras dua kali, bikin kerjaan aja!" gerutunya lagi.

Jaka-suami Riska bekerja sebagai buruh bangunan, pendapatannya kadang tidak tentu. Riska di rumah merajut dompet juga tas, terkadang gantungan kunci. Uang hasil merajutnya ia sisihkan. Ia juga menulis novel online, walau pendapatannya masih belum seberapa. Namun orang berpandangan ia hanya malas-malasan di rumah menghabiskan uang suami.

Riska memiliki kulit yang putih bersih walau tanpa perawatan mahal. Ia rajin luluran dengan bahan alami yang dibuatnya sendiri. Lebih suka makan sayur dan buah yang jelas bagus untuk kulit. Berbeda dengan sang suami yang berkulit cokelat kusam. Meski sudah mandi dan digosok sampai lecet, tatap saja kusam. Untungnya Alika mewarisi gen kulit ibunya, putih bersih. Sedangkan dari ayahnya mewarisi hidung mancungnya.

***

"Jaka!" teriak Bu Dewi memanggil anaknya di tempat kerjaan. Kebetulan dia sedang menggarap bangunan ruko di pinggir jalan desa. Tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Jaka yang sedang mengaduk semen, menghentikan aktifitasnya. Menoleh ke belakang, melihat Ibunya jalan tergopoh-gopoh dengan muka cemberut. Bahkan jarak tempatnya

berdiri dengan sang Ibu masih sekitar 200meter, tapi Ibunya sudah teriak-teriak. Tidak malu di lihat orang yang lalu lalang di jalan.

Jaka menarik napas kasar. Feelingnya tidak enak, pasti masalah lagi batinnya. "Ngapain nyusulin Jaka kesini sih, Bu?" tanyanya sedikit ketus setelah jarak mereka hanya sekitar lima meter.

"Kamu nggak seneng Ibu ke sini?" maki Bu Dewi.

"Bukan gitu, Bu. Aku sedang kerja, nggak enak sama yang lain. Nanti ditegur pak mandor, kalau sampai aku dipecat anak istri aku mau dikasih makan apa," jelas Jaka sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bakalan panjang urusannya jika Ibunya sudah merepet.

"Bilangin Si Riska, jadi istri jangan cuma bisa dandan aja kerjanya. Pagi-pagi bukanya bebenah rumah malah dandan!" Sungut Bu Dewi sambil berkacang pinggang.

Jaka mengusap wajahnya kasar, pusing dengan kelakuan Ibunya. Jika diladeni akan tambah panjang, tapi kalau dibiarkan makin seenaknya. Ia melirik Bang Ari-mandornya. Wajah Bang Ari sudah berubah masam melihat keributan yang dibuat oleh Ibunya, mereka kini jadi tontonan orang lewat.

"Riska biasanya pagi-pagi sudah selesai bebenah, Bu. Dia kan bangun sebelum subuh," ujar Jaka membela istrinya, dan yang diucapkan memang fakta.

"Bela teruusss. Dibilangin orang tua kok ngeyel. Kamu itu jadi suami jangan mau dibodohi, kerja banting tulang sampe badan keling kayak gitu kok duitnya cuma buat beli skincare."

"Itu duit Riska sendiri, Bu. Duit Jaka buat makan."

"Alahhh, nggak percaya Ibu. Dasar menantu tidak tau diri!"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun