Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis

17 April dan Masa Trihari Suci Umat Katolik

22 Maret 2019   06:34 Diperbarui: 22 Maret 2019   06:57 57 2
Tanggal 17 April merupakan momen di mana seluruh perhelatan politik selama ini akan berakhir.

Penetapan 17 April sebagai hari H Pesta Demokrasi Pemilu, sampai saat ini menuai kritik khususnya dari umat Katolik.

Hari di mana mesti terjadinya pemilu, ternyata bersaman dengan masa Trihari Suci umat Katolik Indonesia sebagai masa tenang untuk memasuki Perayaan Paskah Umat Katolik.

Jatuhnya tempo pemilu pada Rabu 17 April 2019, di satu sisi, oleh Umat Katolik, dirasakan sebagai suatu bentuk ketidakadilan.

Mengapa disebut tidak adil? Disebut tidak adil karena seluruh umat Katolik sebagai Warga Negara Indonesia semestinya berada dalam situasi tenang untuk menyiapkan bathin guna memasuki Perayaan Paskah Suci.

Dengan adanya Pemilu pada 17 April, tidak dapat disangkal bahwa persiapan selama Trihari Suci (Senin-Rabu), Umat Katolik akan 'diganggu' dengan suatu konsentrasi yang lain, yang tidak ada kaitannya dengan Trihari Suci menjelang Paskah.  

Sebagai Calon Pemimpin Gereja Katolik, tentu kita menghargai prosedur negara tetapi kalau kebijakan seperti ini kalau terus dipertahankan, kelak akan menimbulkan suatu konsekuensi lain yakni umat Katolik akan merasa tidak dihargai karena mencampuradukkan event nasional Negara dengan Perayaan Iman.

Penting untuk diperhatikan, mengingat bahwa Negara Indonesia adalah Negara dengan paham keberagaman yang diakomodir dengan dalam Sila-Sila Pancasila.

Selain itu, penghayatan tentang NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, rasanya bertentangan dengan kebijakan 17 April, mengingat bahwa keberagaman selalu berarti tidak mencampuradukkan urusan iman dan urusan negara.

Kenyataan seperti ini perlu disuarakan dan atas nama Pancasila sebagai Dasar Negara perlu didengarkan sebagai bahan pertimbangan karena soal 17 April yang bertepatan dengan Trihari Suci, bukanlah soal tentang perorangan, bukanlah soal tentang lembaga melainkan yang terutama adalah soal tentang iman yang pada titik permenungan transendentalnya, perlu diatur jaraknya dari segala perhelatan duniawi dan perhelatan politik.

Sebagai suatu catatan kritis, walaupun kebijakan seperti ini telah ditetapkan lama sebelumnya, tetapi atas kebijakan seperti ini, para beriman Katolik patut merefleksikan bahwa kenyataan seperti ini bisa merupakan akibat dari ke-tidak-ada-an figur Katolik dalam menyuarakan aspirasi kekatolikan terkait dengan momen persis Hari Raya para beriman Katolik dalam penetapan event-event nasional.

Sebagai harapan, sekiranya para pemangku kepentingan patut mempertimbangkan ulang kebijakan ini.

Menurut hemat saya, pertimbangan ulang yang bermuara pada perubahan tanggal pemilu bukan pada 17 April, bukan pada Trihari Suci, bukan pada Hari Raya Paskah, bukanlah suatu rongrongan terhadap wibawa lembaga yang berhak memutuskan, melainkan atas cara itu, justru semangat kerukunan antar umat beragama sebagai salah satu unsur kehidupan yang paling diinginkan oleh Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, justru makin ditegakkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun