Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Dunia Kampus (Part 2)

9 Januari 2011   21:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:46 192 0
Hari terus berlari, minggu bergulir dan bulan pun terus berganti. Tidak cukup setahun aku sudah begitu lekat dengan langkah-langkah seseorang aktivis kemahasiswaan. Kegiatan demi kegiatan aku ikuti, sebagai peserta hingga sebagai panitia. Aku pun semakin giat mencari literatur yang mampu menunjang kegiatan-kegiatanku. Membaca buku dan berdiskusi.

Seiring langkahku yang terus mengayuh, semakin dalam aku selami organisasi kemahasiswaan itu. Namun makin aku hanyut dan tenggelam, makin aku dapati penyimpangan-penyimpangan. Banyak hal yang berbenturan dengan ideologi yang mereka ukir di setiap sel-sel otakku semenjak aku dinyatakan sebagai mahasiswa baru. Mungkinkah karena aku yang terlalu termakan retorika hingga masuk dan terjun ke dunia ini hanya karena ikut-ikutan? Hanya sebagai bentuk aktualisasi diri agar bisa menjadi senior yang berbicara di depan mahasiswa baru yang belum mengerti banyak?

Gerakan mahasiswa layaknya pertarungan dalam kekuasaan negara yang penuh dengan kepentingan. Kepentingan-kepentingan pribadi untuk mencapai ambisi masing-masing. Saat pemilihan ketua lembaga misalnya, semua membawa kepentingan dan isu masing-masing. Kekuatan pikiran digunakan untuk memenangkan calon tertentu agar bisa mendapatkan “sesuatu”. Apakah ada perjuangan yang murni? Entahlah aku tak bisa menjawabnya.

Kebesaran organisasi kemahasiswaan hanyalah masa lalu. Hanyalah dongeng senior. Mahasiswa kini hanya bisa terpukau tanpa bisa memukau. Hanya mengamat tanpa bisa berbuat. Hanya mampu menatap namun enggan melangkah dengan mantap. Terpenjara oleh sejarah. Merasa besar untuk hal yang tidak mereka benah. Hingga akhirnya kehilangan arah.

Organisasi itu sangat rapuh. Bagaimana cara mahasiswa mengemban tugas untuk memperbaiki sistem keorganisasian masyarakat yang katanya sangat rapuh sedangkan sistem organisasinya sendiri jauh lebih rapuh?

Namun semua tetap aku jalani bahkan ikut latah dan menjadi bagian. Makin lama semuanya makin memuakkan. Ada yang mengetuk-ngetuk hati nurani. Bergejolak. Bergolak.

Ini adalah gerakan moral yang murni atas dasar keinginan nurani yang terpanggil. Setiap mahasiswa berhak mengenyam dan merasakannya. Termasuk mereka yang berstatus mahasiswa baru.

Setidaknya ada yang terjun atau sengaja di hanyutkan dalam laju gerakan mahasiswa. Tak peduli, apakah suatu hari nanti mereka menyesal ketika menyadari kerapuhan organisasi ini. Tak peduli, apakah suatu hari nanti mereka kecewa ketika mendapati keadaan yang tak seideal dalam bayangan. Tak peduli, apakah mereka merasa terlambat untuk mundur dan mengambil jalur yang lain.

Harusnya ada yang memulainya. Harusnya ada yang membuka pintunya. Harusnya ada yang memudahkan jalannya agar mereka, bibit-bibit baru, tumbuh dan akan mengubah segalanya menjadi lebih baik.
Tetapi ketika prosesi penyambutan mahasiswa baru dicekal, akankah hadir wajah baru? Akankah ada yang akan memahami arti kebersamaan? Akankah ada regenerasi? Akankah ada yang memaknai arti perubahan?


Masih adakah yang akan bertanggung jawab?
Pengkaderan adalah harga mati!


Meskipun dosen pernah mengenyam masa menjadi mahasiswa, tetapi mereka tetap tidak berhak untuk membimbing mahasiswa baru dalam memasuki dunia kemahasiswaan sesungguhnya. Kita beda masa wahai para birokrasi. Kita berbeda masalah dan kita pun berbeda cara untuk menyelesaikan semuanya. Sudah seharusnya suatu proses dan metode penerimaan mahasiswa baru dilakukan oleh mahasiswa, untuk mahasiswa dan kepada mahasiswa. Eksistensi prosesi penerimaan mahasiswa baru oleh mahasiswa harus tetap dipertahankan. Aku sadar, bukan hanya sekedar ajang balas dendam apalagi ajang untuk pamer retorika. Ini adalah sebuah panggilan moral. Prosesi penerimaan mahasiswa baru harus tetap dilaksanakan.
Situasi makin hangat. Aku yakin aku sadar. Aku pun ikut-ikutan aktif pada sebuah demo besar-besaran untuk mengadakan kegiatan tersebut. Sekali lagi aku sadar. Aku berteriak lantang. Berorasi. Terlihat begitu kritis. Dan….


Aku kembali ke ruang waktuku dan menyimpan semua nostalgia itu, di sebuah kotak di sel otakku. Kupicingkan mata melihat sebuah pemandangan dari kejauhan. Beberapa aktivis mahasiswa itu berorasi dengan argumentasi yang sangat meyakinkan di depan mahasiswa-mahasiswa baru. Memperlihatkan kharisma yang memesona dan berucap dengan retorika yang begitu indah. Mahasiswa-mahasiswa yang dulu entah kemana.

“Satu kata untuk penindasan, LAWAN!” teriak salah satu di antaranya sambil mengepalkan tangan dan menaikkannya ke udara, lalu di lanjutkan orasi lainnya.

Tutup telinga kalian, wahai adik-adik mahasiswa baru. Tak semua yang kalian dengar itu benar. Aku membatin.

Aktivis-aktivis itu memang banci tampil. Mereka selalu ingin terlihat cerdas. Intelek. Berani. Hebat. Di ruang diskusi mereka selalu tampak meraung-raung padahal obrolan mereka tak lebih dari sekedar debat kusir. Dengan penuh kenikmatan mereka menyeruput kopi lalu menghisap rokok dalam-dalam kemudian menyebarkan polusinya ke udara sembari menyampaikan idealisme-idealisme yang hanya sampai di bibir saja, minus implementasi. Lidahnya menari-nari mengkritisi kaum hedon, menghujat para sapi kapitalis padahal mungkin mereka bagian dari itu. Dan mungkin termasuk aku.

Tak beberapa hari setelah peristiwa demonstrasi di halaman rektorat hari itu, surat keputusan bahwa aku dan beberapa teman lain diskorsing. Kemana mereka saat keputusan itu dikeluarkan? Dimana lidah-lidah tajam itu? Mengapa mereka tidak mengiris para birokrat yang mengeluarkan surat itu? Mengapa mereka tiba-tiba menjadi ompong? Tak ada lagi gemeretak gigi, kehilangan taring kah? Semangat yang membara saat ini, di depan mahasiswa baru yang belum tahu apa-apa, raib kemana saat kami meminta uluran tangan? Ciutkah? Musnahkah? Apakah mereka tak lagi melihat? Butakah? Atau telinganya sudah tak berfungsi lagi? Tulikah?

Mereka tampak begitu takut mengalami hal yang sama seperti yang kami alami. Tapi mereka juga tak punya nyali untuk menolong kami.

Kalian pikir, aku terkesan sinis dan mungkin sangat sarkastis? Aku rasa tidak.
Kami siap jadi korban, kami tak mempermasalahkan itu. Bukankah sebuah perubahan memang memerlukan pengorbanan? Tetapi jatuhnya korban ini, mengapa tak membuat para kaum yang katanya intelektual itu jadi melek? Mengapa mereka tak juga membenahi semuanya?


Angan yang kemarin membesarkan jiwa
Angan yang hadir dalam dialetika keremajaan
Angan yang membuatku terus berkarya
Angan yang tercipta dari keluguan dan kepolosan
Hanya tinggal idealisme-idealisme apologi


Mungkin ini hanya sebuah angan utopis
Yang menciptakan kebahagian semu yang meringis
Yang dipenuhi kata-kata retorika opurtunis
Dengan janji futuristik yang optimis
Yang mengotori telinga dan merusak sel otak dengan sadis


masih Bersambung.........:):)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun