Suatu masalah yang belum banyak dikaji mengenai para perantau Minang ini adalah mengenai perubahan sistem nilai serta kehidupan sosial mereka. Secara umum terdapat kesan bahwa para perantau Minang masih tetap menganut agama Islam dengan taat, akan tetapi dalam hubungan sosialnya sudah mulai kurang mempergunakan organisasi adat tradisional seperti buah paruik, kaum atau suku, dan lebih banyak berhimpun dalam satuan nagariasal. Salah satu himpunan warga nagari yang paling terkenal dan terorganisasi dengan baik adalah “Sulit Air Sepakat” atau SAS.
Adalah menarik perhatian, bahwa pada umumnya para perantau Minang ini mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta kebudayaan daerah rantaunya, yang antara lain terlihat pada hampir tidak pernahnya terjadi konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan rumahnya. Mungkin sekali hal ini disebabkan oleh ajaran adat Minangkabau yang berbunyi: dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang’.
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.
merantau membuat saya mengerti akan susah nya meraih apa yang kita inginkan dengan mudah,semua itu harus dibutuhkan sebuah perjuangan,contohnya seperti saya ini yang merantau ke jakarta untuk menuntut ilmu disalah satu perguruan tinggi swasta bertempatkan di Depok yaitu UNIVERSITAS GUNADARMA.
Saya berdarah Minang kelahiran payakumbuh dan setela 2,5 tahun saya merantau di jakarta,kini saya merasakan bahwa merantau adalah hal yang sangat baik bagi saya karena saya bisa dewasa dengan dirantau ini dan saya bisa bersosialisasi dengan semua orang yang saya jumpai