“ Om, Kenarinya Fanny lepasin yach…”
kata keponakan terkecilku sembari menenteng sarang burung kenari, kado ulang tahunnya yang saya beri sewaktu ia masih kelas Nol kecil ..
“Lho apa fanny ndak eman-eman kalo kenari Fanny terbang” Tanya ku
Keponakanku itu menggeleng, sesaat kemudian tangan mungilnya menghamburkan burung kenari itu, dan membiarkannya terbang. Sementara mata saya menyapu, menatap kemana arah burung kuning kehijauan itu menghilang.
Belum sempat otak saya berpikir mengenai alasan si kecil itu membuang miliknya yang setahu saya sangat di senanginya itu, bibir kecilnya menyeletuk
“Kata Ustadzah Enny, nggak baik menyiksa hewan, Om.Fanny lepasin deh jadinya.. takut kalo Allah marah sama Fanny kalena Fanny udah menyiksa burung”
Saya terperanjat mendengar kalimat yang keluar dari mulut kecilnya. Tergelitik oleh ucapan Fanny yang belum genap 7 tahun, serta lidahnya saja masih belum cukup luwes mengucapkan huruf “r” secara baik dan benar. Bocah mungil cantik yang 4 tahun lalu sering saya cubiti pipinya sewaktu tidur, ternyata sudah mampu berpikir merdeka dan bebas dibandingkan saya, yang 24 tahun lebih katakan dibanding si mungil itu.
Si kecil Fanny yang belum mengerti apa itu logaritma, problem solving, Formula e=mc2 nya eyang Einstein, hukum trias politica, maupun soal Past Tense, Present Continuous Tense, apalagi penggunaan Objectives Pronouns, seolah menuntun saya pada satu titik nilai. Bahwa berpikir bebas dan merdeka bukan monopoli mereka yang pernah mampir di bangku universitas terkemuka.. juga bukan dari usia mana ia berhak berpikir merdeka.. serta dari kelas sosial mana orang mampu berpikir mulia.
Berpikir Merdeka dan Bebas memang tidak bisa dialihbahasakan hanya dalam satu kacamata bahasa belaka, pun juga tak semudah arti yang dijabarkan didalam literature tulisan psikologi, maka pantas jika berpikir bebas dan merdeka tidak bisa terkooptasi dalam pengertian yang kaku. Sehingga wajar bila jiwa yang merdeka dan bebas tidak dimiliki oleh semua orang.
Bagi gadis kecil itu melepaskan kenari kesayangannya mungkin sebatas aktualisasi dari keberhasilan menyerap nilai-nilai yang diajarkan ustadzahnya. Selebihnya mungkin karena rasa takut pada Tuhannya karena fanny kecil merasa telah merenggut hak makhluk lain untuk berkembang.
Pengalaman dengan keponakan kecilku seperti tersiram guyuran segar inspirasi, yang beberapa waktu lalu saya rasakan kelu, karena inspirasi macet. Jari-jari yang biasanya ringan menari diatas keyboard laptop warisan leluhur juga ikut-ikutan ngambek. Tetapi celoteh dan tindakan Fanny atas kenari itu memberikan dorongan internal yang ekstra untuk melicinkan kawanan jempolku kembali guna merangkai kata.
Di Depan Laptop, berbagai pertanyaan muncul, kenapa acap kali jiwa-jiwa bebas seperti Fanny pada akhirnya harus hilang tatkala memasuki usia-usia sekolah kelak.. apakah bangku sekolah dan ijazah beserta ornament-ornamen pendidikan sudah kian parah menjelma iblis yang paling ampuh membunuh jiwa-jiwa merdeka mereka. Apakah jiwa-jiwa bebas dan merdeka seperti Fanny pada akhirnya bisa juga ditemukan kembali di Universitas-universitas Mentereng, macam di Jakarta, Jogja, Bandung maupun Bogor kelak. Dan puluhan pertanyaan yang nongol di otak bertubi2 , kontras dengan kemarin-kemarin yang sempat ngumpet entah kemana.
Fanny hanya gambaran kecil dari pikiran yang bebas dan merdeka, bebas dan merdeka yang tidak ngelantur dan nabrak aturan main yang berlaku. Ketakutan Fanny mungkin ketakutan anak-anak, tapi esensi yang terkandung didalamnya adalah penghormatan pada makhluk ciptaan Tuhan, agar Tuhan juga memuliakan Fanny.
Ketakutan Fanny mungkin bisa kita sebut kekonyolan, tetapi disatu sisi itu adalah tamparan ketololan kita yang kerap mengganggap diri sebagai orang dewasa, namun Mbayinya melebihi anak setan. ketakutan fanny sekaligus juga cambuk keangkuhan kita yang kadang pelit untuk sekedar berbagi dengan lapang hati, demi yang kebahagiaan yang lain.
Disamping apa yang dilakukan bayi baru gede itu, juga seolah menjewer nilai kemanusiaan saya, “apa hak saya membunuh masa depan makhluk lain. Takaran apa yang membuat saya sok pelit untuk sekedar berbagi kehidupan dengan mereka yang berbeda dengan saya, dan model kepantasan apa yang bisa saya tarik untuk membuat saya ponggah untuk sekedar membagi harapan pada yang lain, hanya karena saya lebih unggul, lebih mulia atau bahkan lebih intelek dari makhluk Tuhan selain saya???.”
Fanny juga serasa mengejek keegoisan sembahyang saya sebagai hamba, mungkin kening saya boleh jadi menyentuh lantai tatkala bersujud, tapi belum tentu hati, profesi, intelektual dan segenap tetek bengek yang melekat ikut sujud bersama kening saya. Boleh jadi sujud saya tak lain hanya untuk ngapusi teman-teman saya, bahkan mungkin untuk ngapusi Sang Khaliq. Karena hati dan pikiran saya ternyata tetep saja menjaga kesombongan diri, sehingga menutup realita bahwa memberi peluang dan kesempatan berkembang bagi yang lain adalah salah tangga dari kemuliaan manusia.
Termenung cukup lama saya di depan laptop. Kelu dan malu rasanya saya mereview tulisan-tulisanku yang dengan bangganya menyebut kata “aku lulusan universitas anu, pekerja ini di instansi inu, jabatan unu dan sederet embel-embel ini itu yang sejatinya sangat Fana dan teramat mudah u ntuk mengelincirkan seorang saya lepas dari koridor kemanusiaan dan kemuliaan saya sebagai manusia.
Pekalongan..18'03'11