Anyaman yang indah, membentuk dinding dengan atap di atasnya. Deretan anyaman bambu berdiri tegak menghiasi kacamataku. Deretan rumah bambu itu lebih tepat bila disebut desakan rumah bambu. Penuh sesak, layaknya urbanista berdesakan di bus kota. Jauh dari kata layak untuk disebut tempat tinggal. Di antara desakan-desakan rumah itu ramai pula penghuni-penghuninya mengambil gambar masing-masing di depan tempat tinggalnya, berharap hati para penguasa tergerak melihatnya sehingga wacana penggusuran tetap berstatus wacana. Bagi yang telah mendapat giliran ataupun yang sedang menunggu giliran, saling bercengkerama di teras rumah berbagi cerita.
Sorotan mata di bantaran Cisadane itu berkata:
“Kami sudah lelah, adakah yang bisa membantu kami?
Mereka menyeret kami, meneriakkan kata PERGI.
Kemana?? Tanya kami.
Tak ada jawaban.
Kami bersedia pergi, tapi tolong tunjukkan; jangan biarkan kami terkungkung dalam keabu-abuan.
Kami tak mau jadi pengacau.
Kami tak mau menyusahkan.
Tapi kami tak punya apa-apa lagi selain di sini.
Kami tak punya siapa-siapa lagi.
Tolong, bantu kami!”
KEMBALI KE ARTIKEL