Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Di Sela-sela Candu

3 Januari 2012   20:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:22 54 0
Apakah arti sebuah momen?

Orang-orang berkumpul. Melingkar mereka. Tertawa sesekali sambil menyiapkan sesuatu. Pembagian tugas dilakukan. Kamu berjalan di belakang, kami berusaha mengalihkan perhatian, sementara kame, kama dan kamo berperan sebagai aktor pendukung. Semua tersusun begitu rapi dan terencana, lalu mereka berpencar, sesuai tugasnya, sampai kemudian waktu memanggil mereka. Ini momennya katanya. Setiap peran kemudian terhubung dengan cepatnya, seperti satu sama lain mempunyai kemampuan membaca pikiran saja. Dan, "SURPRISE!!" teriak mereka. Semua persiapan yang tadi disimpan dengan hati tulus nan menggebu-gebu karena menahan nafsu, dilimpahkan semuanya. Dimulai dari lemparan-lemparan kecil hingga pukulan-pukulan mematikan (secara harafiah). Sementara si orang yang-kita-anggap-saja-korban, hanya bisa tertawa, berusaha menyesuaikan suhu, larut dalam suasana dan terkadang menyesali diri, entah kenapa saya bisa tertipu, pikirnya, dan kemudian tertawa lagi. Hingga pada akhirnya, semuanya berkumpul, berdoa bersama dan berharap-harapan, semoga lebih baik, semoga lebih tampan, semoga panjang usia dan kesemogaan yang lain terus disiramkan. Lilin yang tadinya dinyalakan, ditiup kembali. Kue yang tadinya cantik, dimakan bersama-sama hingga tak berbentuk lagi. Sementara di kejauhan, si angin malam hanya melihat, tak bicara, menikmati saja setiap cerita.

Apakah arti sebuah momen?



Ayah dan ibu berbondong-bondong masuk, Tulang juga, bersama Inang tua dan tante, di belakangnya masih ada kakak dan abang pertama, kedua, ketiga sampai ke-berapa-pun-jadilah. Adik-adik kecil dan manis berjalanan beriringan, saling memegang tangan seperti si komo yang menyeberang jalan. Ada juga teman dan temin, yang saling berbagi, entah itu cerita ataupun tawa, bahkan gundah gulana juga bisa. Semuanya, bersama yang lain juga, berduyun-duyun masuk ke dalam sebuah gedung, cukup besar, tapi sayang tak cukup besar kali ini. Suasana riuh sekali, sampai gedung tak sanggup menampung, bukan bermaksud sombong katanya, tapi memang bukan untuk sejauh ini dia diciptakan. Di dalam gedung, pria dan wanita terbaik di kelasnya menyambut, dekorasi-dekorasi terbaik dipasang, menantang orang-orang yang masuk untuk menyamakan suhu. Rok panjang, pendek dan ini-rok-atau-hotpant juga turut meramaikan suasana. Ini hari besar katanya, ini hari besar!! Ayo bersorak-soraklah!! Bersorak-soraklah!! Nyanyi-nyanyian dikumandangkan. Tari-tarian dipertontonkan. Drama kolosal katanya, juga tak kalah menggoda.  Ada yang menangis haru, juga tertawa. Semua naik, semua naik. Begitu larut dalam suasana. Seorang anak kecil kemudian bertanya pada Ibunya, tentang apa yang sedang mereka lakukan. Tuhan lahir, nak, Tuhan lahir, jawabnya. Sementara di pojok dinding, sang cicak hanya melihat, tak bicara, menikmati saja setiap cerita.

Apakah arti setiap momen?



Penjaja alas terus saja menggoda, agar mau dibeli barangnya, demi kenyamanan pantat katanya. Penjaja Makanan terus saja merangkai mie-langsung-seduh-nya agar menarik setiap mata. Penjaja kacang pun tak mau kalah, entah kemanapun dia terus bicara. Ada panggung di sana, di kejauhan. Cahayanya terang benderang, mempermalukan bintang-bintang di langit, yang terpaksa sembunyi di balik awan tebal yang gagah. Sementara di depan panggung, lautan manusia bersatu padu dengan irama setiap lagu yang membahana, yang membelah cakrawala, yang memporak-porandakan malam, yang pernah sunyi. Begitu banyaknya, ribuan orang berkumpul, ya Tuhan, mungkin ratus ribuan, banyak sekali. Bagaikan semut yang memakan mangsanya, semuanya berhimpit-himpitan, waktu terus menyalak, berganti dengan galak, namun tetap tak menghentikan kerumunan jiwa-jiwa yang mencoba bergabung. Sebagian membawa pasangan, sebagian lagi membawa keturunan, sebagian lagi cukup beruntung ditemani orang-orang terdekatnya. Peluh yang dihabiskan disini mungkin cukup untuk mengairi kekeringan, ya mungkin. Euforia mencapai puncaknya ketika panggung mengeluarkan perintah, untuk saling menyebutkan angka, Hitung mundur! Ayo Hitung mundur! ajaknya. Semuanya ikut, semuanya menyahut, membeo saja namun tetap membahana. Lima,Empat, Tiga, Dua, Satu. Seketika kembang api meluncur ke udara, meledak penuh gemilang, seakan tak memberi ampun pada sang bintang yang dari tadi sudah tak berdaya. Ledakan demi ledakan bergantian. Tak ada kesempatan untuk hening, tak ada kesempatan untuk menarik nafas, tak ada kesempatan untuk memperhatikan dompet yang penuh janji-janji masa depan. Semuanya melompat girang, liar tak terkendali. Hidup baru! Ini hidup baru! Sementara rembulan hanya melihat, tak bicara, menikmati saja setiap cerita.

Apakah arti setiap peristiwa?
Yang membuatmu terus menunggu dan yang menjadi candu bagi tiap emosi?

Apakah artinya emosi?
Yang selalu dapat membuatmu terlena, demi kenyangnya jiwa?

Apakah artinya jiwa?
Yang katanya membuatmu menjadi manusia?

Siapa yang mau mati?
Mungkin untuk itulah kita mencari Tuhan
Ribuan tahun menimbun harapan
Oleh karena laparnya jiwa
Oleh karena nihilnya pengharapan

Siapa yang mau mati?
Mungkin untuk itulah kita membuat cerita
Agar jiwa kita tetap tertanam, pada jiwa-jiwa lain yang akan ada
Agar jiwa kita tetap berteriak walau badan sudah dikandung tanah

Ah begitu ringkihnya manusia!

- Frans Mateus Situmorang - 4 Desember 2012 - di sela-sela candu -

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun