Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

ATHEIS INDONESIA ... INKONSTITUSIONALKAH?

2 Oktober 2011   04:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25 858 0
Pada saat membaca tajuk-tajuk yang ada dalam rubrik Hukum, saya tertarik dengan sebuah tulisan bertajuk "ATHEIS DI INDONESIA, TERNYATA MASIH ADA" (http://hukum.kompasiana.com/2011/09/27/atheis-di-indonesia-ternyata-masih-ada/#3637516). Semula saya memperkirakan isi tulisan tersebut tentunya sebuah ekspresi keterkejutan si penulis atas realitas adanya anggota masyarakat Indonesia yang memilih Atheis sebagai cara pandang keberadaan dirinya di dunia, dan yang menggugah keingintahuan saya adalah bagaimanakah si penulis menemukan kenyataan ini.

Ternyata tulisan yang diposting oleh Bapak Mobit Warsono Atmojo berawal dari temuan beliau di kolom Suara Pembaca Koran Tempo atas protes yang disuarakan oleh salah seorang anggota Komunitas Atheis Indonesia terhadap pernyataan Sdr. DR. Din Syamsudin yang menanggapi aksi pengeboman di sebuah Gereja di kota Solo. Saat saya membaca seksama pernyataan dari DR. Din Syamsudin yang mana yang menimbulkan protes, saya kemudian menyadari bahwa kerapkali dalam interaksi sosial kita tidak menyadari bahwa apa yang telah kita ucapkan (yang mungkin bermaksud utk mengutuk suatu tindakan keji) secara tidak sengaja telah melukai atau menyinggung kelompok masyarakat tertentu. Menilai ungkapan DR. Din Syamsudin yang diquote oleh Bapak Mobit, saya berpendapat bahwa si pemrotes berada pada tindakan yang benar, yaitu meluruskan ungkapan yang disampaikan oleh DR. Din Syamsudin yang bersifat apriori dan secara ceroboh menggeneralisir dan mengidentikkan suatu tindakan keji dengan suatu kelompok masyarakat tertentu. Demikian pun saya menilai wajar tuntutan dari si pemrotes terhadap DR. Din Syamsudin, dan menurut saya, untuk seorang intelektual sekaliber DR. Din Syamsudin tentunya tidak merasa direndahkan dengan protes tersebut dan secara bijak mengakui bahwa telah salah berucap pada saat itu. Sebab saya yakin, ungkapan yang kemudian menjadi satu permasalahan bagi kelompok masyarakat yang bergabung dalam Komunitas Atheis Indonesia disampaikan oleh DR. Din Syamsudin dalam kondisi emosional sehingga secara tidak menyadari bahwa yang diungkapkannya berpotensi melukai perasaan anggota masyarakat lain.

Sampai pada pemikiran ini, saya mencoba menemukan main-issue yang ingin disampaikan oleh Bapak Mobit dalam tulisannya tersebut. Agak terkejut ketika saya menyadari bahwa dari rasa terkejut yang disampaikan oleh Bapak Mobit ternyata mengarah pada pertanyaan layak tidaknya seorang yang mengaku Atheis hidup di negeri dengan dasar falsafah Pancasila. Bahkan lebih jauh lagi, tersirat dalam tulisan yang beliau posting suatu rasa khawatir bahwa Komunitas Atheis Indonesia memiliki potensi yang membahayakan keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa.

Pernyataan bahwa kehadiran seorang yang berani mengakui dirinya seorang Atheis dinilai sebagai suatu kegagalan proses berbangsa dan bernegara, menjadi suatu pernyataan yang membuat saya mulai merenungkan apakah benar kehadiran kaum Atheis di negeri ini adalah suatu kegagalan proses berbangsa dan bernegara?

Berangkat dari Sila Pertama Pancasila yang menyatakan KETUHANAN YANG MAHAESA ... apakah sila itu bermakna bahwa semua orang yang mengaku bertanah air Indonesia harus memiliki agama? Lalu apa makna agama bagi masyarakat Indonesia? Apakah kehadiran masyarakat Atheis di negeri ini menjadi aib bagi bangsa ini?

AGAMA DAN TUHAN

Agama ... sejatinya adalah proses pencarian manusia atas asal muasal keberadaannya di dunia dan hubungannya dengan peran apa yang harus dijalankan oleh seorang manusia dalam proses mengadanya di dunia ini. Memang sebuah pernyataan yang bersifat filosofis, tetapi fakta sejarah kelahiran agama-agama besar di dunia sepanjang peradaban umat manusia memang mengarah pada penemuan jati diri dan pengidentifikasian peran manusia dalam menjalani hidup di dunia nyata. Sampai pada pemahaman ini ... saya berpikir ... jika demikian, sejatinya agama bisa muncul dalam pelbagai nama dan pelbagai ritual ... seturut tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pemeluk atau penganut agama tersebut.

Tercatat dalam sejarah bahwa pernah muncul beragam kepercayaan dan agama yang jika ditelisik menurut peradaban manusianya akan mengarah pada kenyataan bahwa agama bukan sesuatu yang mati, tetapi terus hidup seturut perkembangan hidup pemeluknya. Kisah-kisah manusia dahulu selalu memberikan sesaji (mulai dari hasil bumi hingga pada penumbalan manusia) kepada gunung-gunung berapi dan kekuatan alam yang tidak mampu diatasi oleh manusia pada jamannya adalah bentuk ritual kepercayaan manusia terhadap keberadaan dirinya dan hubungannya dengan kekuatan alam yang ada.

Sebagai sebuah entitas yang organis, maka agama dan aliran kepercayaan sejatinya adalah proses pelembagaan pemahaman manusia atas asal muasal keberadaannya di dunia dan melalui proses pelembagaan tersebut, manusia dapat menemukan peran penting yang harus manusia lakukan sebagai sebuah tanggungjawab historis atas keberadaannya di dunia. Pada titik ini ... apakah agama harus seragam mengakui adanya satu zat tunggal yang mengatur keberadaan mahluk hidup dan benda-benda alam yang ada di dunia?

Kembali lagi kepada sejarah perkembangan agama2 yang pernah ada dan masih ada saat ini ... manusia pernah mempercayai bahwa zat pengatur kehidupan ada dalam fenomena alam, seperti hujan, kemarau, banjir, dlsbnya. Tidaklah aneh jika kemudian kita mendapati dari temuan arkeologi artefak-artefak ataupun peninggalan berupa lukisan-lukisan gua yang menggambarkan pemujaan manusia pada dewa hujan, dewa cahaya, dewa angin, dan lain penyebutan utk fenomena alam yang manusia anggap sebagai penentu keberlangsungan hidupnya.

Manusia pernah pula mempercayai bahwa kekuatan benda-benda alam merupakan manifestasi atau perwujudan dari zat pengatur kehidupan. Fakta ini dapat kita jumpai pula dari peninggalan arkeologi berupa kuil-kuil pemujaan kepada gunung berapi, lautan dan sungai, juga hutan dan pohon-pohon besar. Penamaannya pun beragam dari Dewa Gunung, Dewa Matahari, Dewa Bulan, Dewa Pohon, Dewa Laut, dan lain-lainnya lagi.

Dari penelusuran ini, manusia pernah mengalami satu masa dimana manusia mempercayai pada beragam zat penentu kehidupan yang jamak. Jadi jika kita setia menelisik pada perjalanan peradaban manusia dalam proses memahami keberadaan dan peran penting yang menjadi tanggungjawab keberadaannya di dunia, dapat lah kita simpulkan bahwa kepercayaan pada zat tunggal penentu segala macam bentuk kehidupan dan keberadaan benda-benda di dunia ini bukanlah menjadi satu-satunya pengakuan yang pernah ada. Lalu kapan kah manusia mengakui hanya ada satu zat tunggal yang mengatur segala-galanya itu?

Mungkin dengan mempelajari sejarah bangsa Israel dapatlah kita menemukan asal muasal manusia mengakui keberadaan zat tunggal yang menguasai segalanya. Sejarah bangsa Israel dengan kepercayaan terhadap zat tunggal tadi dapat dijumpai dalam masa Kitab Zabur menjadi pedoman bangsa Israel dalam memandang dunia dan keberadaan manusia di dunia. Itu saja nampaknya hanya dianut oleh satu keluarga besar (wangsa) yang ditokohi oleh Abraham --dalam tradisi masyarakat Nasrani- atau Ibrahim --dalam tradisi masyarakat Muslim. Pada masanya, masyarakat penganut Kitab Zabur juga bersinggungan dengan komunitas-komunitas lain yang mempercayai lebih dari satu zat penentu kehidupan. Begitupun pada turunannya kemudian pada masa kitab Taurat - Injil - hingga turunnya Al-Quran di tengah-tengah umat manusia.

Berbeda dari yang ada di daerah Timur Tengah, di daratan Asia, tepatnya India, lahir pula satu aliran kepercayaan yang mempercayai bahwa sejatinya manusia dan alam adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Keterpisahan terjadi karena memang harus ada karma yang mutlak dipenuhi sebelum kemudian manusia menyatu kembali dengan alam. Ajaran ini dikemukakan oleh Sidharta Gautama, seorang pangeran yang kemudian lebih memilih jalan hidup sebagai seorang pemikir dan pelaku tapa brata, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sang Budha. Dalam ajaran ini, manusia dapat mencapai tahap tertinggi dari kehidupan sehingga jiwa dan jasadnya dapat menyatu dengan Sang hidup ... istilah yang digunakannya adalah Moksha, yaitu (kurang lebih saya pahami sebagai) bersatunya alam dan kehidupan dengan diri manusia.

Menarik! Tentu saja ... mempelajari kelahiran agama-agama yang ada didunia dan mendekatkannya dengan tingkat peradaban manusia pada jaman di masa agama-agama itu awal mula diajarkan/dikenalkan/diturunkan. Sampai disini ... jadi esensi agama sebagai sebuah alat (berupa lembaga dan pokok-pokok aturan yang ada didalamnya) untuk membantu manusia menemukan kesejatian diri (asal muasal dan peran penting yang wajib dituntaskannya dalam proses mengada di dunia) dapat ditemukan dalam agama-agama yang pernah dan masih hidup dan berkembang saat ini.

Sampai disini ... bagaimana kaitannya dengan masyarakat Atheis? Apakah agama secara otomatis mensyaratkan kehadiran Tuhan?

Menarik pula mencermati bagaimana manusia kemudian mengkonsepkan Tuhan. Tidak dapat ditolak kenyataan bahwa pembahasaan Sang Pemilik dan Pengatur kehidupan sebagai Tuhan sudah tentu berawal dari gagasan seorang atau beberapa orang yang disampaikan (umumnya diawali) secara lisan kepada orang lain yang kemudian menyetujui dan secara sukarela menganut/mengikuti gagasan/ide tentang Tuhan. Penamaan Tuhan pun bisa beragam mulai dari God-god, Tuhan, Sang Hyang Widhi, sampai pada Allah. Keseragamannya terletak pada pemahaman bahwa entitas yang dilabeli Tuhan ini memiliki sifat adidaya (Maha), pemilik dan pengatur kehidupan, sebab utama yang tidak disebabkan (Causa Prima).

Dari cara pandang yang lain ... bagaimana jika ada manusia yang tidak mempercayai konsep-konsep ini? konsep agama dan konsep tuhan?

Jika kita mempercayai bahwa sejarah peradaban manusia adalah proses dialektis yang tidak pernah berhenti bergerak seturut perkembangan pemahaman manusia sesuai perkembangan peradabannya, maka saya yakin bahwa ada satu masa di masa yang sangat lalu manusia tidak memiliki pemahaman apapun tentang konsep agama dan konsep tuhan (karena memang belum ada yang mengkonsepkannya baik secara lisan maupun tulisan). Artinya bolehlah saya mengatakan bahwa ada satu masa manusia pernah tidak mempercayai agama dan Tuhan.

Ini artinya saya mau mengatakan bahwa ketidak-percayaan manusia pada keberadaan Tuhan lebih dulu ada sebelum munculnya atau lahirnya kepercayaan kepada Tuhan. Tentu saja pendapat ini boleh dibantah karena saya mengandalkan alur berpikir dialektis dan mengkaitkan dengan realitas temuan arkeologi yang ada (dan pernah saya baca). Jadi saya berpendapat bahwa ketidakpercayaan manusia modern saat ini terhadap keberadaan Tuhan adalah model "kepercayaan" yang lebih tua dari pada kepercayaan manusia kepada Tuhan.

Lalu ... bagaimana kaitannya dengan kehadiran atau keberadaan sekelompok manusia yang tidak percaya pada keberadaan Tuhan di bumi Indonesia?

INDONESIA DAN ALIRAN KEPERCAYAAN (TERMASUK AGAMA)

Sejarah agama-agama yang sekarang hidup di Indonesia sejatinya adalah proses inkulturasi (atau akulturasi?) budaya pemahaman keberadaan manusia dengan alam sekitarnya --yang mula-mula hidup dan dihidupi oleh manusia-manusia yang saat ini bernaung dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia- denganbudaya pemahaman keberadaan manusia dengan alam sekitarnya dari para pendatang. Jika dirunut dari sejarah nusantara, aliran kepercayaan Hindu adalah aliran kepercayaan tertua yang pertama kali dianut oleh sebagian besar masyarakat nusantara sebelum deklarasi Agustus 1945. Kepercayaan Hindu ini sendiri tidak lahir di bumi Nusantara, tetapi dibawa oleh para penganutnya pada masa perdagangan internasional klasik terjadi di bumi nusantara.

Menyusul kemudian aliran kepercayaan Budha. Justru di bumi Nusantara ini terjadi asimilasi antara kepercayaan Hindu dan Budha. Secara sederhana dapat saya katakan bahwa pertemuan epos Mahabarata dengan epos Ramayana hanya ditemukan dalam khasanah epos Mahabarata dan Ramayana yang hidup di bumi nusantara. Pada masanya, kerajaan-kerajaan penganut dua aliran kepercayaan tersebut pernah menjadi kekuasaan yang besar pengaruhnya dan memiiki dampak besar pada perkembangan aliran kepercayaan pada kerajaan-kerajaan disekitarnya yang berhasil ditaklukkan maupun yang menjalin hubungan kerjasama pendidikan dan perdagangan.

Pada awal abad ke 13 atau ke 14, pengaruh ajaran agama Islam masuk ke bumi Nusantara dengan bukti kemashuran Kerajaan Samudra Pasai yang lokasinya pada masa itu di kota Sabang (saat ini ada dalam wilayah hukum propinsi Daerah Istimewa Aceh). Pengaruh yang berasal dari hubungan perdagangan dengan pedagang dari Gujarat kemudian berkembang mempengaruhi prilaku hidup masyarakat Swarnadwipa hingga Yawadwipa. Di tanah Jawa sendiri Islam berkembang setelah keruntuhan Majapahit dengan berdirinya kesultanan Demak.

Pada abad ke 15 melalui proyek kolonialisasi Portugis, ajaran agama Kristen dan Katholik pun masuk ke bumi nusantara melalui kerajaan-kerajaan yang pernah ada di daerah Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan). Berbeda dengan tiga agama besar yang masuk melalui proses hubungan dagang dan pendidikan, dua agama terakhir masuk dengan jalan keras yaitu melalui proses penaklukan dan pengkolonisasian daerah-daerah yang dianeksasi.

Jadi agama-agama besar yang ada di Indonesia sepenuhnya adalah agama impor ... yaitu agama yang ada bukan karena proses perkembangan pemahaman manusia atas keberadaan diri dan alam sekitarnya, tetapi karena keterpengaruhan dengan dunia luar. Kepercayaan asali yang sejatinya hidup di bumi nusantara adalah aliran kepercayaan Animisme dan Dinamisme.

Merujuk pada latar sejarah kehadiran agama-agama di Indonesia, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Bapak Soekarno pada saat menuangkan gagasannya tentang Pancasila dengan silanya yang pertama berbicara tentang Ketuhanan Yang Mahaesa tidak dimaksudkan untuk menisbikan atau mengingkari adanya kelompok masyarakat yang memilih untuk tidak mempercayai keberadaan Tuhan (Atheis) maupun kelompok masyarakat yang memilih untuk tidak mempercayai Agama (Agnostik). Artinya saya hendak mengatakan bahwa keberadaan masyarakat Atheis dan Agnostik di Indonesia masih diakomodasi oleh dasar falsafah Pancasila yang telah menjadi konsensus nasional.

SEKEDAR ANJURAN

Seringkali kita gagap manakala mengetahui bahwa ada begitu banyak perbedaan yang ada dan hidup di sekitar kita. Kadangkala, karena kegagapan dan keterkejutan, kita menanggapinya secara reaktif dan curiga serta merasa terancam dengan realitas perbedaan yang nyata ada. Namun hendaknya kita juga perlu menyadari bahwa perbedaan yang ada sejatinya merupakan kekayaan yang kita miliki sebagai sebuah komunitas besar bernama bangsa Indonesia yang jika secara arif kita sikapi, perbedaan yang ada bukan menjadi sebuah ancaman, tetapi menjadi sebuah peluang bagi proses pendewasaan perikehidupan berbangsa dan bernegara. Sejarah selalu membuktikan bahwa keruntuhan sebuah peradaban adalah terutama karena kegagalan masyarakat ... yang hidup dalam peradaban tersebut... dalam menyikapi perbedaan yang ada, sementara kejayaan sebuah peradaban selalu diinisiasi dari kemampuan masyarakat yang hidup dalam peradaban tersebut mampu menyikapi setiap perbedaan secara bijak. [FW]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun